Nasional
Pahlawankah Dia?
"Soeharto punya dua wajah."
Hari-hari ini khalayak dan partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat terbelah dalam menilai sosok Soeharto, penguasa Orde Baru, yang meninggal dua hari lalu. Sebagian mengelu-elukannya sebagai figur yang pernah berjasa besar, tak sedikit pula mencelanya.
Pemujaan terutama datang dari kalangan Partai Golkar yang sejak semula mengusulkan agar pemerintah mengampuni kesalahan bekas Ketua Dewan Pembina Golkar itu. Senin lalu, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Priyo Budi Santoso, bahkan mengusulkan agar pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional buat Soeharto. Ia akan mengusulkan dan meminta izin kepada ketua umum Jusuf Kalla agar partainya memprakarsai hal ini.
Usul itu langsung ditentang oleh partai-partai lain. Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa di parlemen, Effendy Choirie, mengatakan Soeharto tidak layak mendapat gelar itu. Menurut dia, justru karena kesalahan yang dilakukannya semasa memerintah, negara ini menanggung banyak utang. "Setiap tahun negara harus membayar utang Rp 130 triliun," ujar Effendy kemarin.
Para politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan juga cenderung menolak usul tersebut dengan berbagai alasan.
Polemik itu menggambarkan dua sisi yang berbeda dari sosok Soeharto, seperti dilukiskan oleh pengamat politik Indonesia asal Amerika Serikat, William Liddle. "Soeharto punya dua wajah," ujar profesor ilmu politik Ohio State University ini dua hari lalu.
Sebagai seorang diktator yang berkuasa 32 tahun, wajah Soeharto berlumur aneka cela dan catatan buram. Berdiri dengan latar aksi pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh "antek" Partai Komunis Indonesia, kekuasaan Orde Baru dan stabilitas politik dibayar dengan bertaburnya pelanggaran hak asasi manusia.
Profesor Liddle menyebutkan sisi lain Soeharto dalam wajahnya sebagai Bapak Pembangunan. Ekonomi tumbuh dalam skala cukup menakjubkan. Nilai tukar terjaga. Beras sebagai pangan pokok rakyat sukses dibuat murah dan melimpah. Begitu pula dengan minyak.
Tapi, di balik itu, korupsi merebak di mana-mana. Porsi kue pembangunan terlampau besar dikuasai segelintir kerabat dan kroni Soeharto sendiri. Lalu apa artinya sukses pembangunan?
Dan kini, setelah Soeharto meninggal, pemerintah masih harus membereskan berbagai persoalan hukum yang menyangkut almarhum, keluarga, juga kroni-kroninya. TOMI ARYANTO
Rabu, 30 Januari 2008