Bersihar Lubis, WARTAWAN DAN PENULIS, TINGGAL DI DEPOK
Presiden RI kedua, Soeharto, telah tiada. Jenderal besar itu berpulang ke rahmatullah pada Ahad, 27 Januari 2008, karena sakit--gagal multiorgan--di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Innalillahiwainnailaihirajiun. Demikianlah. Ujung riwayat saban tokoh, kadang getir. Mulanya meraih empati dan pesona sebagai pejuang yang heroik, lalu mendaki tangga kekuasaan hingga ke pucuk. Kemudian mengabdi kepada bangsa, negara, dan rakyat. Di babak akhir, muncul antiklimaks, seperti drama tragedi Yunani, Oedipus, karya Sophocles.
Berpuluh tahun lalu, Ruslan Abdulgani menyebutkan bahwa Bung Karno adalah tokoh yang besar. Perjuangan, penderitaan, jasa, dan kesalahannya sama-sama besarnya. Barangkali demikian juga dengan Pak Harto. Awalnya dielu-elukan, kemudian dikritik. Moga menjadi hikmah yang menyeluruh bagi kita.
Nurcholish "Cak Nur" Madjid dalam buku Indonesia Kita (Desember 2003) mengajak kita sudi bersikap asketis, yakni self denial (ingkar diri sendiri) dan tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek serta menunda kesenangan (to defer the gratification).
Cak Nur menatap kebahagiaan yang lebih besar di masa depan, yang tidak seinstan jika diraih hari ini. Bukan cuma surga yang jauh dan abadi, tapi masa depan anak bangsa. Cak Nur beramsal tentang asketisisme: "Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daun pisang lebar dan membuat anak-anaknya tidak kebagian sinar surya. Sementara itu, bambu rela telanjang asal anaknya, rebung, berpakaian lengkap."
Sang rebung adalah ahli waris yang sah dari Indonesia. Seorang presiden dan wakilnya, para menteri, anggota parlemen, pebisnis, dan semua anak bangsa niscaya berorientasi pada kebahagiaan kolektif generasi rebung itu. Hemat energi dan antikorupsi bukan slogan, melainkan sistem dan bukti konkret. Usul kenaikan gaji dan fasilitas niscaya aib, ketika banyak rakyat masih dililit kemiskinan.
Partai yang sukses dalam pemilihan umum dan tokoh yang unggul dalam pemilihan presiden serta pemilihan kepala daerah sehingga duduk di parlemen dan eksekutif tidak tergesa-gesa menikmati reward dalam jangka pendek. Tapi tampillah bagai bambu yang melindungi para rebung dan bukan pisang berdaun lebar yang egois.
Badan usaha milik negara kerap dijuluki sebagai sapi perah bagi sebagian politikus dan elite. Tak mudah membuktikannya, karena secara hukum harus ada bukti hitam di atas putih. Namun, secara sosiologis hal itu kerap bergema, apalagi jabatan di BUMN kerap diduduki oleh kalangan orang partai atau yang dekat dengan kekuasaan sejak era Orde Baru hingga sekarang.
Di masa lalu bahkan BUMN dikenai sumbangan sekian persen dari keuntungan untuk yayasan yang dipimpin oleh Pak Harto. Dan sekarang berbuntut gugatan perdata pemerintah RI melalui kuasanya, Kejaksaan Agung. Syahdan, sebagian dari dana yang diakumulasi di yayasan itu mengalir ke beberapa pebinis yang dekat dengan Pak Harto. Dugaan abused of power pun terdengar, seperti juga dalam kasus monopoli cengkeh.
Kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri dan dana haji di Departemen Agama juga membuktikan paradigma yang tidak asketis, termasuk juga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia serta aliran dana dari Bank Indonesia dan yayasannya. Padahal sang rebung bukanlah putra-putri secara biologis ataupun kroni ekonomi dan politik, melainkan segenap anak negeri dari Sabang hingga Merauke. Meski harus dicatat juga bahwa melalui Yayasan Supersemar dan yayasan lainnya, seperti juga dilakukan oleh Pak Rokhmin, tidak sedikit yang menikmati, termasuk pesantren dan berbagai rumah ibadah di Tanah Air.
Titik perubahan
Toh, Orde Baru pernah meraih swasembada pangan. Posyandu, gizi anak balita, dan makanan sehat bagi kaum ibu pernah sukses. Busung lapar tak terdengar. Di bidang ekonomi, Indonesia menjadi macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi mengagumkan. Bahkan lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 adalah monumen politik. Pak Harto tidak dimundurkan oleh sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tak mungkin, karena gedung DPR/MPR di Senayan sedang diduduki oleh demonstran mahasiswa.
Kala itu Pak Harto buntu. Ia gagal membentuk Komite Reformasi dan Kabinet Reshuffle. Bahkan Cak Nur tak bersedia duduk di komite itu, walau ditawari. Ia malah meminta Pak Harto mundur, seperti tuntutan mahasiswa. Rupiah terpuruk 17 ribu per dolar Amerika juga ikut merepresi Soeharto agar mundur. "Kalau Cak Nur yang moderat saja tak mau, tak ada pilihan lain kecuali saya mundur," kata Pak Harto kepada Quraish Shihab. Dia pun mundur berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 dan B.J. Habibie naik menjadi presiden.
Andai kata Pak Harto tak mundur, dia masih terus menjadi presiden pada 2003. Apalagi TNI masih mendukungnya. Efek dominonya, Habibie tak naik. Pemilu 1999 pun urung sehingga tampilnya Gus Dur, Mega, dan Yudhoyono sebagai presiden tak terjadi. Sejarah memang bukan andai kata, melainkan realitas. Jika yang mengubah Indonesia adalah segenap anak bangsa, tapi tidak fair jika menegasikan faktor lengsernya Pak Harto yang membuka peluang reformasi di Indonesia, bolehkah disebutkan bahwa lengsernya Soeharto sebagai perilaku asketis, bak bambu kepada rebung? Bukan pohon pisang berdaun lebar yang egois? Masih debatable, bergantung pada sudut pandangnya.
Sayang, asketisisme itu kasip disadari Pak Harto setelah 32 tahun berkuasa. Orang-orang di sekitarnya pun tak berani menampik, malah ikut menikmatinya. Tentu tidak adil jika kesalahan Orde Baru hanya dimonopoli oleh Pak Harto. Berbagai kebijakan Orde Baru, baik pemasungan demokrasi, penindasan hak asasi manusia, maupun kroniisme dan sebagainya, juga disokong orang-orang di sekitarnya. Itulah bengkalai sejarah, yang tetap jadi pekerjaan rumah.
Akhirulkalam, ungkapan yang pernah dipopulerkan oleh Sri Ediswasono, menantu Bung Hatta, tentang seorang pemimpin ada baiknya dikutipkan. "Bila ia matahari, menyinari semua. Bila ia angin, mengelus-elus semua. Bila ia air mengaliri semua. Bila ia bumi rela menjadi pijakan publik." Mirip sosialisme bambu ala Cak Nur. Bukan kapitalisme pohon pisang yang berdaun lebar.