JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam persidangan kemarin meminta jaksa pengacara negara menentukan ahli waris yang akan menggantikan Soeharto sebagai tergugat. Langkah ini perlu dilakukan setelah penguasa Orde Baru itu meninggal. "Agar persidangan kembali berjalan," kata Wahjono, ketua majelis hakim. "Kami minta secepatnya."
Tim Kejaksaan Agung yang mewakili negara telah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar berupa ganti rugi materiil US$ 425 juta dan Rp 185 miliar serta imateriil Rp 10 triliun. Gugatan ini dilayangkan oleh negara karena telah terjadi penyalahgunaan dana pemerintah di masa pemerintah Soeharto.
Meninggalnya Soeharto, Ahad lalu, membuat posisi tergugat menjadi kosong. Karena itu, Wahjono mengatakan posisi Soeharto sebagai tergugat harus diisi oleh ahli warisnya. Dasar hukumnya adalah Pasal 1194 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, putusan Mahkamah Agung Nomor 53 K/sip/1967, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 429 K/sip/1971. "Di situ disebut, apabila tergugat meninggal dunia, posisinya sebagai tergugat bisa digantikan oleh ahli warisnya," kata Wahjono.
Kepada tim kuasa hukum Soeharto, majelis meminta bantuan moril untuk menanyakan kepada Keluarga Cendana (keluarga Soeharto) siapa yang akan menggantikan pihak tergugat I (Soeharto). "Jika tidak, pihak jaksa secepatnya mengurus ahli warisnya," katanya. "Rekomendasi cukup dikeluarkan dari kelurahan dan kecamatan."
Mengomentari permintaan hakim, anggota tim jaksa pengacara negara, Johannes Tanak, mengatakan keenam anak Soeharto adalah yang paling berhak duduk sebagai tergugat. Jaksa, kata dia, akan menyampaikan bukti kepada hakim soal siapa saja ahli waris Soeharto. "Yang menetapkan ahli waris itu adalah pengadilan agama," katanya.
Kuasa hukum Soeharto, Juan Felix Tampubolon, menentang pernyataan majelis. Juan mengatakan keluarga Soeharto belum membicarakan soal ahli waris. "Lagi pula keluarga bisa saja menolak dijadikan ahli waris yang didudukkan sebagai tergugat," ujarnya. Sementara itu, O.C. Kaligis, yang juga kuasa hukum Soeharto, menegaskan bahwa seharusnya kasus ini ditutup saja karena kasus pidananya sudah dihentikan.
Dihubungi secara terpisah, juru bicara presiden Andi Mallarangeng mengatakan pemerintah tidak berniat menghentikan perkara perdata itu. "Prinsipnya, apa yang menjadi hak negara harus kembali ke negara," katanya. SANDY INDRA PRATAMA | FANNY FEBIANA