R. William Liddle, 70 tahun, sudah meneliti perkembangan politik Indonesia sejak 1962. Pria yang akrab disapa Bill ini ikut melayat ke kediaman mantan presiden Soeharto (almarhum) pada ahad lalu. Dan kemarin Bill meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Dari Columbus untuk Indonesia di Museum Nasional, Jakarta Pusat.
Wartawan Tempo, Anton Aprianto, berkesempatan mewawancarainya lewat telepon seputar peran Soeharto di masa lalu. Berikut ini petikannya.
Saat melayat Soeharto, apa yang Anda lihat?
Saya melayat Minggu malam. Saya melihat animo masyarakat sangat tinggi untuk datang ke Cendana.
Bagaimana Anda memahami hal itu?
Sebagian masih menilai kehidupan pada zaman Soeharto berkuasa lebih baik dibanding sekarang. Buktinya, dulu tidak ada kelangkaan kedelai. Di satu sisi, antusiasme itu juga didorong rasa iba terhadap keluarganya. Ada gambaran kehidupan keluarga yang hendak ditonjolkan oleh media, misalnya Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) yang selalu setia mendampingi ayahnya. Ini juga mendorong mereka untuk ikut berduka.
Sejak kapan Anda terkesan akan Soeharto?
Pada 1965, setelah gerakan G-30-S/PKI meletus dan dia menjadi presiden, dia mampu mengkonsolidasi secara masif Tentara Nasional Indonesia yang sebelumnya terfragmentasi. Ini luar biasa. Hal itu yang mendorong saya mengamati karakteristik kepemimpinannya.
Adakah penelitian spesifik Anda mengenai hal itu?
Tidak juga, semua buku saya adalah tentang Indonesia secara umum. Kenapa kental dengan Soeharto? Karena selama 32 tahun dialah presidennya. Jadi, kalau pada 1965 sampai 1990 meneliti Indonesia, secara otomatis meneliti dia.
Sejauh mana ketertarikan Anda akan gaya kepemimpinan Soeharto?
Soeharto mampu menguasai TNI dengan baik. Dengan dukungan inilah, dia menjadi seorang diktator. Orang-orang yang menjadi ancaman digeser, yang setia dan menguntungkan diberi kekuasaan.
Bukankah ada peran Golongan Karya juga? Pendapat Anda?
Golkar hanya dijadikan alat melanggengkan kekuasaan. Dia digunakan untuk menguasai legislatif. Dalam memperlakukan partai juga muncul kediktatorannya, yakni yang mengancam disingkirkan dan yang mendukung dipelihara.
Bagaimana Anda melihat perhatian Soeharto dalam pembangunan ekonomi?
Cukup konsisten. Pada 1970-1980-an, dia mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan rakyat. Pertumbuhan ekonomi terjadi setiap tahun. Dan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (kekuasaannya), pertumbuhan mencapai di atas 7 persen. Luar biasa, karena dia bukan ahli ekonomi, tapi mampu memadukan pakar ekonomi untuk membangun Indonesia.
Bukankah Soeharto membangun ekonomi Indonesia dengan utang?
Kalau itu bukan bagian yang terlalu menonjol sehingga memicu krisis ekonomi 1998. (Krisis) ini karena dia tidak memperhatikan KKN, memanjakan konglomerat dan bisnis keluarganya. Investor luar tidak mau datang ke Indonesia karena terkenal dengan korupsinya.
Apa strategi lainnya hingga Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun?
Soeharto juga mampu merangkul organisasi massa Islam tradisional ataupun radikal. Pendekatannya sangat canggih, sehingga seorang Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pada akhir 1980-an mau bekerja sama dengan dia.
Tampaknya Anda lebih suka melihat sisi kelebihan Soeharto?
Tidak, saya juga mencermati kasus pelanggaran hak asasi manusia. Soeharto tidak bisa menjadikan negara hukum. Inilah kelemahan dia. Orang-orang yang diduga terlibat Gerakan 30 September diperlakukan tidak laik, ditangkap, dan dibunuh. Dia juga memperlakukan Islam dengan represif. Anda ingat kasus pembantaian Tanjung Priok 1984? Hukum kan tidak ditegakkan.
Secara utuh, bagaimana Anda menggambarkan sosok Soeharto?
Dia seorang diktator, tapi juga Bapak Pembangunan. Ibarat dua sisi mata uang. Soeharto punya dua wajah.
Kalau harus ditimbang, lebih menonjol sisi baik atau yang buruk?
Saya lebih cenderung pada kelebihan dia. Dia punya kebaikan cukup besar ketimbang keburukannya. Perlu diketahui, keburukan Soeharto, terutama dalam kacamata hukum, bukan semata-mata kesalahan dia. Soeharto, pada 1980, memang cenderung meninabobokan konglomerat yang dekat dengannya, memperluas bisnis keluarga, dan sikap KKN-nya kental.
Apa yang membuat sisi baiknya lebih besar?
Disadari atau tidak, jika mau dibandingkan, masyarakat Indonesia menilai kesejahteraan masyarakat era Soeharto lebih baik dibanding era presiden setelah dia. Stabilitas keamanan, politik, dan sosial pun lebih baik saat dia memimpin.
Bukankah semua itu ditopang oleh sikap diktatornya?
Itulah Soeharto. Tapi masyarakat Indonesia tetap menilai Soeharto yang meletakkan fondasi masyarakat modern.
Apa pandangan internasional terhadap kepemimpinan Soeharto?
Dia dianggap antinegara hukum. (Tapi) saat ini pun komitmen penegakan hukum di Indonesia banyak dipertanyakan, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memulai dengan progresif.
Di ASEAN tampaknya Soeharto disegani?
Betul. Dia beda dengan Soekarno yang cenderung konfrontatif terhadap negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Soeharto meletakkan fondasi kerja sama regional yang baik. Dia juga menelurkan pikiran-pikiran yang cemerlang tentang pembangunan regional. Dan itu kadang diadopsi negara lain. Tak mengherankan kalau Singapura dan Malaysia punya utang jasa sama dia.
Dengan semua itu, menurut Anda, bagaimana sebaiknya menyikapi kasus hukum Soeharto?
Lanjutkan, ini kan lebih menyangkut kasus perdatanya. Buktikan itu dulu, karena bisa berdampak pada citra penegakan hukum Indonesia. Pemerintah harus punya komitmen kuat untuk ini.
Soeharto kini sudah meninggal. Apa kesimpulan akhir Anda?
Dia tetap Bapak Pembangunan.