Jalan-jalan di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Senin lalu, seperti berubah jadi pasar bunga dadakan. Beragam ukuran papan (stick) dan karangan bunga bertebaran di mana-mana. Semerbak wangi aneka jenis bunga pun memenuhi udara, meski pesannya sama: turut berduka.
Di Jalan Cendana, persis di depan rumah nomor 6-8, tempat tinggal Keluarga Soeharto, terpampang papan bunga duka dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Turut Berduka Cita, Presiden RI Beserta Ibu", demikian tertulis pada stick bunga berukuran 2 x 1,5 meter itu.
Tak hanya Jalan Cendana sepanjang sekitar 600 meter yang penuh dengan karangan bunga. Di trotoar dan bahu Jalan Tanjung dan Jalan Teuku Umar juga berderet karangan bunga. Hitung-hitungan Tempo, tak kurang dari 300 karangan bunga mengepung rumah episentrum kekuasaan Orde Baru itu.
Bagi para pedagang bunga, meninggalnya Soeharto rupanya membawa keberuntungan. "Alhamdulillah, kami terkena imbasnya," ujar Muhammad Taufik, Pembina Paguyuban Pedagang Pasar Bunga Rawabelong, sembari tersenyum.
Bukan, bukan maksud Taufik mensyukuri ajal yang menjemput Soeharto. Tapi, sebagai tukang bunga, Taufik mengakui, "Omzet kami (antara lain) memang dari orang meninggal."
Pedagang bunga di Pasar Cikini juga meraup berkah. "Semalam mendapat pesanan lima stick," ujar Yusuf, pedagang bunga. Si pemesan pun meminta dibuatkan model papan bunga yang yahud. Harganya rata-rata Rp 750 ribu per stick. Padahal sehari-hari Yusuf paling banter hanya menjual dua stick bunga biasa seharga Rp 300 ribuan.
Menurut para pedagang bunga, meninggalnya Soeharto telah mendongkrak keuntungan mereka hampir tiga kali lipat dari hari biasa. Itu semata-mata karena melonjaknya permintaan. Soalnya, pedagang bunga tak mau memakai jurus aji mumpung. "Kami sepakat tak menaikkan harga, apalagi ini untuk mantan presiden," kata Taufik. REZA MAULANA