maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Belum Memiliki Akun Daftar di Sini
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
JAKARTA - Adhyaksa Dault menemui Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota Jakarta, kemarin. Meski Adhyaksa dua pekan lalu telah menyatakan siap maju dalam bursa Gubernur DKI 2017, kedatangannya kali ini bukan untuk urusan politik.
Adhyaksa mengatakan bahwa dirinya datang sebagai Ketua Kwartir Nasional Pramuka. Pertemuan itu, kata dia, untuk membicarakan renovasi Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka Cibubur. Dia mengatakan pembangunan itu terkait dengan rencana penyelenggaraan Jambore Nasional tahun depan. "Sekitar 50 ribu anak akan berkemah di sana," kata Adhyaksa.
Tak cukup mengecam, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia semestinya turun tangan membongkar tindakan keji di Lumajang, Jawa Timur. Penyiksaan dan pembunuhan yang diduga berkaitan dengan penambangan pasir di wilayah ini bukan tindak kriminal biasa, melainkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejadian pada 26 September 2015 itu sungguh mengerikan. Pagi itu puluhan orang menggeruduk rumah Tosan, 51 tahun, di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Lumajang. Datang dengan kendaraan bermotor, mereka membawa pentungan kayu, pacul, celurit, dan batu. Gerombolan ini langsung menghajar Tosan. Ia bahkan ditelentangkan di tengah lapangan, lalu dilindas dengan sepeda motor berkali-kali. Mereka baru berhenti dan meninggalkan Tosan setelah seseorang datang melerai.
Ito Prajna-Nugroho, peneliti di Lembaga Studi Terapan Filsafat dan alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
"Tidak ada negara di luar penegaraan. Adanya negara ialah karena dan selama manusia menegara. Menegara berarti bercakap-cakap. Percakapan itu mempersatukan. Andaikata menegara berhenti, maka lenyap juga negara. Karena menegara itu perbuatan manusia, jadi sebagai realisasi juga mengandung unsur kegagalan." Demikian kata-kata filsuf Indonesia, Driyarkara, dalam tulisannya di majalah kebudayaan Basis, Tahun VI, April 1957, berjudul "Filsafat Kehidupan Negara".
Ditulis dua belas tahun setelah kemerdekaan Indonesia, karya Driyarkara itu seperti telah jauh-jauh hari mengantisipasi peliknya problematika kehidupan sosial-politik Indonesia di bawah panji Republik. Benturan antar-aliran politik, korupsi, nepotisme, fanatisme ideologis, radikalisme agama, brutalnya perebutan kekuasaan, semua itu terang-terangan mempecundangi demokrasi dan menggerogoti fondasi kepentingan publik (res publica) yang menjadi dasar negara republik. Puncak kemelut itu tentu saja prahara sosial-politik pada akhir September 1965 hingga 1966, berupa "pembersihan" besar-besaran terhadap komunisme oleh golongan anti-komunis yang sejak beberapa tahun sebelumnya telah dibuat resah dan takut oleh politik agitasi PKI.
Ada yang membanding-bandingkan kinerja Jokowi dengan SBY,yakni soal pembangunan jalan di era SBY dan era Jokowi. Bukannya baru-baru ini Jokowi datang ke Lampung untuk tinjau jalanan yang diadukan sangat rusak itu? #jokowi #pembangunanjalan #sby #perbandingan
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.