Memulihkan Diri dari Learning Loss
Pandemi Covid-19 membuat siswa kehilangan 5-6 bulan pembelajaran dalam setahun. Perlu penyesuaian kurikulum untuk pulih.
Sejak masa pandemi lalu, kita sering mendengar istilah learning loss atau menurunnya pengetahuan dan keterampilan siswa secara akademis. Artikel kami sebelumnya membahas potensi pemulihan dari learning loss tersebut.
Baca: Evaluasi Learning Loss Pasca-Pandemi
Menariknya, beberapa sekolah serta siswa bisa pulih dari learning loss lebih cepat dibanding yang lain. Apa saja faktor-faktor yang mempercepat pemulihan tersebut?
1. Penyesuaian Kurikulum
Literatur menunjukkan bahwa kurikulum di negara berkembang cenderung memiliki target pembelajaran yang ambisius. Indonesia, contohnya, memiliki target kurikulum yang tidak hanya banyak, tapi juga cenderung lebih tinggi dibanding target-target internasional.
Dalam kurikulum 2013, menghitung penjumlahan bilangan hingga 99 merupakan kompetensi yang harus dikuasai siswa kelas I. Namun, menurut Global Proficiency Framework Sustainable Development Goals (GPF SDG), kemampuan ini seharusnya dikuasai oleh siswa kelas II. GPF SDG menggambarkan tingkat kemahiran minimum membaca dan matematika di tingkat global yang diharapkan dikuasai siswa kelas I-IX.
Contoh lainnya, menentukan hubungan antar-unit pengukuran terstandardisasi (misalnya, kg, g, m, dan cm) adalah kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa kelas III dalam kurikulum 2013. Tapi hal ini diharapkan dikuasai oleh siswa kelas VI dalam GPF SDG.
Studi kami menunjukkan bahwa siswa yang gurunya melakukan penyesuaian kurikulum selama masa pandemi mengalami pemulihan hasil belajar empat bulan lebih cepat dibanding siswa yang gurunya tidak melakukan penyesuaian kurikulum.
Penyesuaian kurikulum yang dilakukan guru umumnya berfokus pada kemampuan dasar literasi dan numerasi. Kemampuan dasar ini adalah prasyarat siswa untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang lebih kompleks di jenjang berikutnya. Misalnya, untuk kemampuan literasi, guru berfokus mengajarkan anak tentang bunyi huruf, pengenalan huruf, suku kata, dan kata sebagai modal awal siswa untuk bisa lancar membaca.
Adaptasi pembelajaran ini dilakukan oleh guru, baik secara mandiri maupun mengacu pada kurikulum darurat, yaitu kurikulum 2013 yang disederhanakan, yang sudah disediakan oleh pemerintah. Idealnya, target kurikulum memang ditentukan berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan kognitif dan kemampuan belajar siswa, sehingga siswa bisa mendapat pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Siswa saat menjalani Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) di SD Negeri Cipayung 03, Jakarta, 2021. TEMPO/Subekti
2. Melakukan Adaptasi Pembelajaran
Selain penyesuaian kurikulum, pembelajaran berdiferensiasi juga terbukti mempercepat pemulihan pembelajaran yang setara dengan 2-3 bulan. Pembelajaran berdiferensiasi memberikan kesempatan bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa yang berbeda-beda berdasarkan asesmen diagnostik. Asesmen diagnostik adalah asesmen awal yang dilakukan guru untuk mengidentifikasi kompetensi, kekuatan, dan kelemahan peserta didik.
Sebagai contoh, di salah satu sekolah yang kami observasi, guru mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan dasar literasinya. Guru menggunakan kartu gambar dan huruf (gambar apel serta huruf A) untuk anak-anak yang belum mengenal huruf. Sementara itu, untuk anak-anak yang sudah mengenal kata, guru memberi mereka potongan kata agar anak bisa menyusun kalimat. Terakhir, untuk anak-anak yang sudah mampu membaca, guru menggunakan buku cerita bergambar dan meminta anak menjawab pertanyaan dari cerita tersebut.
Pembelajaran berdiferensiasi bukan untuk membedakan siswa, tapi memberikan peluang bagi guru untuk menyesuaikan instruksi pembelajaran, tugas, serta media belajar. Pendekatan ini memungkinkan siswa mendapat kesempatan belajar yang sama untuk terus berkembang sesuai dengan potensinya.
3. Partisipasi Aktif Guru
Kami juga menemukan bahwa guru yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengembangan kompetensi selama masa pandemi memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat (setara dengan tiga bulan) dibanding guru yang tidak mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi.
Sayangnya, studi kami yang lain menemukan bahwa partisipasi guru di kegiatan kelompok kerja guru (KKG), yaitu kelompok kegiatan profesional bagi guru SD/MI yang masih berada dalam satu gugus/kecamatan, cenderung menurun selama masa pandemi akibat pembatasan wilayah dan penutupan sekolah.
Karena itu, penting bagi pemangku kepentingan, baik di daerah maupun nasional, untuk bisa memastikan semua guru, khususnya yang selama ini memiliki kesempatan lebih terbatas, mengembangkan kapasitas profesionalnya, baik secara tatap muka di KKG maupun kegiatan pelatihan daring.
Siswa baru hadir di hari pertama tahun ajaran baru di SD Negeri Anyelir 1, Kota Depok, 17 Juli 2023. Tempo/Gunawan Wicaksono
4. Dukungan Pemangku Kepentingan
Selain faktor guru, kepemimpinan kepala sekolah serta dukungan pemerintah menjadi faktor kunci pemulihan pembelajaran.
Kepala sekolah yang aktif melakukan pendampingan secara berkala kepada guru cenderung memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat setara dengan lima bulan pembelajaran. Demikian juga kepala sekolah yang selama masa pandemi memiliki program khusus untuk memulihkan proses pembelajaran, pemulihan pembelajarannya menjadi tiga bulan lebih cepat.
Di sisi lain, bantuan dari pemerintah, baik secara materiil maupun dukungan teknis, untuk menunjang pembelajaran jarak jauh penting dalam mendorong kepala sekolah dan guru menjalankan tugasnya di sekolah. Sekolah yang selama masa pandemi mendapat bantuan pemerintah dalam bentuk kuota Internet, komputer, atau insentif uang untuk melakukan pembelajaran luring di titik kumpul memiliki siswa dengan pemulihan pembelajaran yang lebih cepat tiga bulan dibanding yang tidak.
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, contohnya, guru-guru di salah satu SD mengaku mendapat bantuan berupa kuota Internet dan insentif transportasi untuk melakukan pembelajaran luring di titik kumpul. Bantuan ini memudahkan mereka dalam melaksanakan kelas daring ataupun tatap muka. Selain itu, bantuan tersebut membantu siswa mengakses materi pelajaran dan sumber bacaan tambahan dengan lebih mudah serta belajar secara mandiri.
Namun guru SD lain di daerah yang sama mengatakan tak menerima bantuan kuota sama sekali dan hanya terhenti pada tahap registrasi nomor telepon. Hal ini sangat menyulitkan mereka dalam mendistribusikan materi, sehingga banyak siswa kehilangan akses pembelajaran selama masa pandemi.
Temuan studi kami ini menegaskan bahwa percepatan pemulihan dari learning loss bukanlah hal mustahil. Namun percepatan ini membutuhkan penyesuaian serta perubahan sistem yang melibatkan guru, kepala sekolah, serta pemangku kepentingan untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal bagi siswa.
---
Artikel ini ditulis oleh George Sukoco, Anisah Zulfa, dan Rasita Purba dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi); serta Senza Arsendy, mahasiswa doktoral The University of Melbourne. Terbit pertama kali di The Conversation.