JAKARTA – Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Hermawan Saputra, menilai penerapan corona likelilhood metric (CLM) kurang efektif untuk menekan laju penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Sebab, pemerintah DKI Jakarta tidak memberikan sanksi bagi masyarakat yang bepergian tanpa mengisi aplikasi itu.
“Selama ini bukan peraturan (harus mengisi CLM) yang diwajibkan, ya tidak akan berdampak apa-apa,” kata Hermawan kepada Tempo, kemarin. Program CLM, ia melanjutkan, bersifat untuk mengukur kesadaran masyarakat terhadap Covid-19, tapi tak sesuai untuk mengevaluasi kepatuhan masyarakat terhadap aturan atau protokol pencegahan penyebaran corona.
Pemerintah DKI Jakarta meluncurkan CLM. Program itu bisa dicoba melalui aplikasi Jaki (Jakarta Kini) di AppStore atau PlayStore. Masyarakat yang mengisi tes di program itu bisa mengetahui potensi risiko terhadap penularan Covid-19.
Hermawan mengatakan psikologis masyarakat di Indonesia cenderung melihat risiko penularan Covid-19 dari tetangga terdekat. Misalnya, jika tetangga itu ke luar rumah menuju tempat yang memiliki potensi penularan tinggi tapi selamat, penduduk tetap ingin ke luar rumah.
Menurut Hermawan, pemerintah DKI sebaiknya kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat jika ingin memperlambat laju penyebaran Covid-19. “Bukan PSBB transisi karena PSBB transisi ini diterapkan lebih karena motif ekonomi,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Baswedan memutuskan memperpanjang kembali PSBB transisi selama 14 hari hingga 30 Juli mendatang. Langkah ini diambil karena kasus penularan corona di Ibu Kota masih tinggi, dengan angka reproduksi efektif virus di atas 1 dan rasio positif 5,9 persen.
"Amat berisiko jika melonggarkan fase satu transisi dan masuk ke fase dua transisi. Kami kembali memutuskan memperpanjang fase satu selama dua pekan ke depan sebelum beralih ke fase kedua," kata Anies saat konferensi pers secara online, Kamis pekan lalu.
Inisiator Koalisi Relawan Lapor Covid-19, Irma Hidayana, menuturkan hal serupa. Program CLM tidak terlalu efektif untuk menekan penyebaran corona. Apalagi, Irma melanjutkan, pengisian data di CLM itu berdasarkan self assessment. Akibatnya, subyektivitas dari pengisi data di program itu tidak bisa mencerminkan kondisi kesehatan sesungguhnya.
Program CLM, kata Irma, bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat. Melalui program itu, penduduk bisa lebih memahami kondisi kesehatannya jika ingin bepergian.
Menurut Irma, cara ampuh untuk menekan laju penyebaran Covid-19 di Jakarta ialah kembali menerapkan PSBB ketat. Dengan cara itu, pergerakan masyarakat, khususnya orang tanpa gejala, untuk ke luar rumah sangat terbatas dan penularan corona bisa ditekan. “Micro lockdown atau limitasi ketat itu lebih efektif,” katanya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta, Arifin, menuturkan sejauh ini Pamong Praja belum diinstruksikan untuk mengawasi penggunaan CLM di stasiun dan terminal. “CLM ini bukan menjadi kewajiban (syarat) untuk keluar-masuk Jakarta,” ujarnya.
Vice President Public Relations PT Kereta Api Indonesia (KAI) Joni Martinus mengatakan yang berwenang memeriksa penggunaan CLM penumpang kereta ialah pemerintah DKI, bukan PT KAI. Perusahaan negara itu hanya mengimbau penumpang kereta dari dan menuju Jakarta agar mengisi CLM demi kenyamanan penumpang. “Sejauh ini, dari pemantauan kami, juga belum ada pemeriksaan penggunaan CLM di stasiun-stasiun Jakarta,” tuturnya.
GANGSAR PARIKESIT
Meteran Corona Dinilai Tak Efektif Tekan Wabah