JAKARTA – Semua pengurus rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) di Ibu Kota telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sejak Juli 2020. Pembentukan satgas ini bersamaan dengan dijalankannya program Kampung Siaga untuk menekan penyebaran wabah. "Pintu masuk ke (wilayah) masing-masing RW dibatasi, kemudian disiapkan juga hand sanitizer, wastafel, ada patroli, ada pembersihan, disinfektan,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, kemarin.
Karena itu, ketika pemerintah pusat menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro, pemerintah Jakarta tidak perlu mengubah banyak kebijakan. Sebab, PPKM mikro ini sejalan dengan program yang sudah lebih dulu diterapkan di Jakarta. Satgas di tingkat RT dan RW bertugas memastikan masyarakat telah mematuhi protokol kesehatan.
Satgas, kata Riza, juga dituntut untuk sigap memberikan laporan jika ada warga yang terjangkit Covid-19. "Kami membentuk yang kami sebut sebagai Kampung Siaga, Kampung Aman, Kampung Tangguh," kata Riza. Buku panduan Kampung Siaga juga sudah dibuat dan dibagikan kepada semua satgas.
Pemerintah pusat menerapkan PPKM berskala mikro mulai 9 hingga 22 Februari 2021. Kebijakan ini adalah perpanjangan PPKM jilid 1 dan 2 yang sudah berjalan sejak 11 Januari lalu di Jawa dan Bali.
PPKM mikro ini menjadi strategi baru pemerintah untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Aturan PPKM skala mikro tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian Nomor 3 Tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Dalam aturan tersebut, pemerintah membagi tindakan pengendalian wabah berdasarkan empat zona, yakni zona hijau, kuning, oranye, dan merah.
Mural tentang Covid-19 di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta, 23 Januari 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Sejalan dengan aturan yang dikeluarkan Kemendagri tersebut, Gubernur Anies Baswedan juga menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 107 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro, yang ditandatangani pada 8 Februari lalu.
Dalam aturan itu, selain diatur ihwal penerapan skala mikro, kegiatan operasional mal hingga aturan dine-in di restoran dilonggarkan. Bentuk kelonggaran yang diberikan, misalnya, kegiatan di rumah makan, restoran, pusat belanja, hingga pedagang kaki lima diizinkan hingga pukul 21.00 WIB. Jumlah pengunjung tempat-tempat tersebut juga ditambah dari 25 menjadi 50 persen dari kapasitas. Rumah ibadah pun diizinkan menampung 50 persen anggota jemaah dari kapasitas normal. Namun kegiatan pada area publik yang berpotensi menimbulkan kerumunan tetap dilarang.
Berdasarkan data website Covid-19 milik pemerintah Jakarta, hingga 4 Februari 2021 terdapat 82 RW yang berstatus zona merah. Tempat-tempat itu tersebar di enam wilayah Jakarta, yaitu 41 RW di Jakarta Selatan, 16 RW di Jakarta Pusat, 13 RW di Jakarta Barat, 6 RW di Jakarta Timur, 4 RW di Jakarta Utara, dan 2 RW di Kepulauan Seribu. Adapun zona merah ditetapkan apabila terdapat lebih dari 10 rumah dengan kasus konfirmasi positif dalam satu RT selama tujuh hari terakhir.
Dalam penerapan PPKM mikro di Jakarta, Tempo mengamati RW 02 Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pengurus lingkungan setempat membentuk pos satgas di depan kantor RW. Akses masuk ke wilayah itu ditutup menggunakan portal agar mempermudah pengawasan penerapan protokol kesehatan. "Kami kembali pengetatan, selain karena ikut aturan pemerintah, juga karena kemarin baru ada kasus," ujar Rahmat, salah seorang anggota satgas tingkat RW.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, menilai PPKM mikro sebagai kebijakan yang tidak jelas. Aturan ini semestinya dilakukan pada awal masa pandemi, bukan dalam situasi penularan yang sedang tinggi seperti sekarang. Karena itu, dia pesimistis PPKM mikro dapat mengendalikan pagebluk.
"Lebih baik pemerintah pastikan untuk mengendalikan kerumunan dan tingkatkan tracing, kalau mau menekan penularan," ujarnya. Dengan langkah itu, pemerintah bisa mencegah orang yang positif menyebarkan virus ke banyak orang. "Sekarang positivity rate itu 20 persen. Itu artinya masih banyak orang yang positif tidak terlacak."
Selain itu, kata Syahrizal, data epidemiologi yang dimiliki pemerintah pusat masih tidak sinkron dengan pemerintah daerah. Padahal pandemi ini sudah mau berjalan setahun. "Koordinasi saja sampai sekarang tidak bagus, apa yang mau diharapkan?" ujarnya.
INGE KLARA | IMAM HAMDI