JAKARTA – Menyusul Partai Golkar, Partai NasDem akhirnya berbalik sikap dalam soal rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Padahal, sebelumnya, dua partai pendukung Presiden Joko Widodo itu paling keras bersuara agar jadwal pemilihan kepala daerah dinormalkan sesuai dengan periode lima tahunan. Artinya, Golkar dan NasDem semula melawan sikap Jokowi yang ingin pilkada serentak tetap digelar pada 2024 sesuai dengan isi undang-undang pilkada itu.
Awalnya pula, sikap politik Golkar dan NasDem ini berseberangan dengan pandangan partai koalisi pemerintah lainnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerindra menolak pilkada digelar pada 2022 dan 2023. Meski tak masuk koalisi pemerintah, Partai Amanat Nasional sejak awal menolak revisi tersebut. Praktis, tinggal Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang menghendaki revisi aturan tersebut.
Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai NasDem, Charles Meikyansyah, mengatakan perubahan sikap ini didasari pertimbangan kepentingan bangsa dan negara yang tengah berupaya menangani pandemi Covid-19 serta memulihkan perekonomian negara. “Selain itu, keputusan ini muncul untuk menjaga kesolidan di antara partai pendukung pemerintah,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Charles menuturkan pihaknya sudah menyerap aspirasi publik dan melakukan telaah kritis atas wacana revisi UU Pemilu. Ia mencontohkan pihaknya melakukan focus group discussion (FGD) pada Kamis pekan lalu di kompleks parlemen guna membahas wacana revisi UU Pemilu bersama pelaksana tugas Ketua KPU Ilham Saputra, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan. “Kami konsisten melakukan kajian untuk revisi UU Pemilu ini. Keputusan ini diambil untuk kepentingan bangsa dan agar aturan (UU Pemilu dan UU Pilkada) ini dijalankan dulu saja,” kata dia.
Warga saat mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) 008, Gambir, Jakarta, 17 April 2019. TEMPO/Subekti
Sehari setelah FGD itu, petinggi partai NasDem mengadakan pertemuan di rumah dinas Lestari Moerdijat, politikus NasDem yang juga Wakil Ketua MPR. Selain tuan rumah, turut hadir dalam pertemuan itu Ketua Umum NasDem Surya Paloh, Sekretaris Jenderal NasDem Johnny G. Plate, Ketua Fraksi NasDem DPR Ahmad Ali, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Siswono Yudo Husodo, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Enggartiasto Lukita, serta Charles Meikyansyah.
Charles menjelaskan, dalam pertemuan itu, Surya Paloh meminta laporan perihal wacana revisi UU Pemilu. Setelah mendengarkan laporan dari kader-kadernya, Surya mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa partainya mendukung untuk tidak merevisi UU Pemilu, berubah dari sikap sebelumnya yang masih mendukung revisi UU Pemilu.
Sumber Tempo mengungkapkan pertemuan Surya Paloh dengan sejumlah petinggi NasDem di rumah dinas Lestari Moerdijat itu digelar karena sebelumnya bos Media Group tersebut telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Dalam pertemuan itu, Jokowi melobi Surya Paloh agar mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 dengan alasan pemerintah sedang berfokus menangani Covid-19. “Pertemuan inilah yang mengubah sikap NasDem terhadap rencana revisi undang-undang pilkada dan pemilu,” kata dia.
Ketika ditanyai apakah keputusan Surya Paloh mengubah sikap NasDem lantaran terjadi komunikasi dengan Presiden Joko Widodo, Charles tidak membantah dan tidak mengiyakan. Ia hanya menyampaikan bahwa komunikasi antara ketua umumnya dan Presiden merupakan hal yang lumrah dan pasti dilakukan. “Untuk hal sepenting ini, saya pikir wajar dan mungkin ada dialog serta komunikasi di antara keduanya atas dasar kepentingan bangsa dan negara,” ujar dia.
Memasuki masa sidang pada 11 Januari lalu, DPR antara lain membahas rencana revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Di tengah pembahasan awal itu, beredar draf Rancangan Undang-Undang RUU Pemilu tertanggal 26 November 2020. Draf RUU ini akan menggabungkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu pasalnya, tepatnya pada Ketentuan Peralihan, mengatur bahwa pilkada akan dilakukan pada 2022 dan 2023, bukan serentak pada 2024 seperti yang tercantum dalam UU Pilkada.
Adapun Presiden Joko Widodo menghendaki pilkada tetap digelar pada 2024 atau tetap seperti UU Pilkada, bukan seperti draf dalam rencana revisi UU Pemilu yang akan mengadakan pilkada pada 2022 dan 2023. Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan stabilitas politik dan keamanan menjadi pertimbangan Presiden Joko Widodo. “Jadi, Presiden ingin pemilihan kepala daerah tetap digelar pada 2024.”
Presiden Joko Widodo juga bergantian berkomunikasi dengan partai koalisinya mengenai rencana normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 dalam beberapa pekan terakhir. Kepada para ketua umum dan pentolan partai, Presiden menyampaikan kehendaknya agar pilkada tetap digelar pada 2024.
Petugas KPPS memberikan tinta kepada warga yang telah memberikan hak suaranya di TPS 56, Mekarjaya, Depok, Jawa Barat, 9 Desember 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Jokowi juga pernah meriung bersama 18 mantan juru bicara dan pemengaruh (influencer) tim pemenangannya dalam pemilihan presiden 2019 di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 28 Januari lalu. Ditemani suguhan bakso dan pempek, Jokowi dan tetamunya berdiskusi sekitar dua jam membahas berbagai hal, termasuk wacana revisi UU Pemilu. Sehari setelah itu, Partai Golkar, yang semula ingin penormalan jadwal pilkada, akhirnya berubah sikap mendukung keinginan Jokowi agar pilkada serentak digelar pada 2024.
Politikus PKB, Luqman Hakim, mengatakan partainya mengusulkan agar pembahasan dihentikan. Luqman menyatakan pembahasan revisi UU Pemilu harus dilakukan bersama dengan pemerintah. Sedangkan pemerintah saat ini sedang berfokus menangani pandemi Covid-19. Alasan berikutnya, mereka menilai perbaikan UU Pemilu harus dilakukan dengan matang serta membutuhkan keterlibatan aktif semua elemen masyarakat sipil. Namun situasi pandemi menjadi hambatan serius pelibatan partisipasi publik itu.
Ia menyampaikan bahwa PKB tidak menolak adanya kebutuhan merevisi UU Pemilu dan Pilkada lantaran mereka juga sudah melakukan kajian mendalam dengan berbagai kelompok masyarakat sipil. PKB berpandangan perlu ada sembilan substansi yang harus diperbaiki dalam UU Pemilu, di antaranya adalah mengatur agar petugas di lapangan tidak kelelahan, pencegahan politik uang, dan aturan pemilu yang belum cukup kuat memberikan afirmasi kepada perempuan.
PKB juga ingin pemilu sistem proporsional terbuka dievaluasi. “Jika pada saatnya nanti pemerintah dan DPR memiliki kesempatan cukup untuk membahas revisi UU Pemilu dan Pilkada, pasti aspirasi rakyat akan menjadi pertimbangan fraksi kami,” kata Luqman kepada Tempo, kemarin. Luqman, yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR yang membahas rencana revisi ini, menjelaskan bahwa Komisi II DPR akan segera mengambil keputusan mengenai pembahasan revisi UU Pemilu.
Berkaitan dengan rencana revisi ini, lembaga Indikator Politik Indonesia melakukan survei. Hasilnya, sebagian besar responden setuju pilkada digelar pada 2022 dan 2023 ketimbang dilakukan pada 2024. Sebanyak 54,8 persen responden setuju pemilihan kepala daerah yang habis masa tugas tahun 2022 digelar sebelum masa tugas para kepala daerah itu berakhir pada tahun yang sama.
Kemudian sebanyak 53,7 persen responden setuju pilkada digelar pada 2023 sesuai dengan jadwal habisnya masa jabatan kepala daerah yang terpilih pada 2018. “Meskipun partai-partai koalisi Presiden Jokowi cenderung setuju pilkada serentak 2024, kalau ditanyakan kepada pemilihnya, mereka punya aspirasi berbeda,” kata Burhanuddin, Senin lalu.
DIKO OKTARA | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROBBY IRFANY