JAKARTA — Kematian Herman, pria berusia 38 tahun asal Balikpapan Utara, Kalimantan Timur, menambah panjang daftar korban kekerasan selama dalam masa tahanan. Herman ditangkap polisi dengan tuduhan mencuri telepon seluler. Selang sehari setelah ditangkap, polisi memberi kabar kepada keluarga bahwa Herman meninggal setelah buang air dan muntah-muntah sehabis makan.
Dari catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), lembaga kajian independen dan advokasi reformasi peradilan Indonesia, kejadian ini bermula pada 2 Desember tahun lalu. Saat itu, tiga orang tak dikenal datang ke rumah Herman sekitar pukul 21.00 Wita. Ketiga orang itu menangkap Herman tanpa menunjukkan tanda pengenal dan surat penangkapan—belakangan baru diketahui bahwa mereka adalah polisi.
Keluarga kebingungan mencari Herman. Setelah mencari ke sana-kemari, akhirnya Herman ditemukan ditahan di Polres Balikpapan. Menurut petugas jaga saat itu, Herman ditangkap karena kasus pencurian ponsel pada Februari 2020. Dua ponsel menjadi barang bukti.
Keesokan harinya, keluarga mendapat kabar bahwa Herman meninggal saat diperiksa di kantor Polres Balikpapan. Kepolisian berdalih Herman tewas setelah bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air dan muntah-muntah. Herman pun meninggal saat dibawa ke rumah sakit. "Keluarga Herman mengaku sempat dihalang-halangi bertemu jenazah sebelum dimakamkan," kata peneliti ICJR, Iftitahsari, kemarin.
Begitu keluarga berhasil mendapat jenazah Herman, terungkaplah sejumlah kejanggalan. Tubuh Herman dibungkus plastik dan kain kafan. Saat dibuka, telinga kiri Herman terlihat nyaris putus dan masih mengeluarkan darah. Menurut keluarga korban, luka gores, sayatan, dan patah tulang juga tersebar di seluruh tubuh Herman.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono (kanan) di Polda Metro Jaya, Jakarta, Agustus 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dua bulan setelah kematian Herman, tak ada tindak lanjut dari protes keras yang disampaikan keluarga kepada Propam Polda Kalimantan Timur. Keluarga secara resmi melaporkan kasus kematian Herman ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Timur pada 4 Februari lalu. Kemarin, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengumumkan bahwa enam anggota Polresta Balikpapan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kematian Herman.
Kekerasan dalam tahanan bukan kali ini saja terjadi. Berdasarkan laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), setidaknya ada 36 kasus kriminalisasi dan kekerasan terjadi pada 2018. Setahun kemudian, angkanya bertambah menjadi 47 kasus dengan total korban sebanyak 1.019 orang.
Penelusuran Tempo dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan, sejak 2011 hingga 2019, ada 445 kasus dugaan penyiksaan tahanan polisi dengan 693 korban. Sebanyak 87 korban di antaranya meninggal. Para korban tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Temuan paling banyak berada di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan.
Deli, petani Serikat Mandiri Batanghari (SMB) Jambi, salah satunya, menjadi korban kesewenang-wenangan aparat sejak ditangkap pada 18 Juli 2019. Penangkapan dirinya bersama 58 petani lain merupakan buntut dari konflik antara petani SMB dan PT Wira Karya Sakti.
Tanpa surat panggilan yang sah, Deli mengaku dianiaya di depan anak-anaknya sebelum digiring ke kantor polisi. Suaminya, yang merupakan ketua serikat, juga babak belur sebelum dilempar ke mobil. Saat ditangkap, ibu kandung dan putrinya yang berusia 5 tahun ikut dibawa. "Saya diminta mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan. Karena khawatir anak saya melihat saya dianiaya lagi, akhirnya saya mengaku," kata Deli.
Saat ditangkap, Deli dituduh merusak dan menyerang dengan golok di kantor distrik VIII Wira Karya Sakti. Namun Deli didakwa terlibat kasus perusakan tenda Wira Karya Sakti yang terjadi pada Juni 2018. ”Ada penangkapan terhadap saksi kunci saya, sehingga saksi saya tidak bisa hadir. Saksi saya ditahan di Polda Jambi saat saya disidang. Jadi, saya tidak bisa menghadirkan saksi meringankan," ujar Deli.
Pada tahun yang sama, Surya Anta, aktivis juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, dikriminalkan dengan tuduhan makar. Ia dituding mengibarkan bendera bintang kejora saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Agustus 2019. Polisi menyebutkan perbuatan Surya dan lima orang lainnya memicu peristiwa kerusuhan di sejumlah daerah di Papua.
Saat ditahan, Surya bercerita bahwa para tahanan diperlakukan tak manusiawi. Ia, misalnya, menjadi satu-satunya tahanan yang dikurung dalam kamar isolasi saat awal ditahan. Selama pemeriksaan, Surya digiring agar mengaku sebagai aktor intelektual dari upaya makar. Dia juga dibujuk untuk menempuh jalan pintas agar proses cepat selesai. "Kami kesulitan menemui pengacara. Ternyata tahanan lain juga begitu. Polisi dan jaksa mengarahkan agar tidak menggunakan bantuan hukum," kata Surya.
Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Salemba, Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, 2013. Dok Tempo/Dian Triyuli Handoko
Surya ditahan di Rumah Tahanan Salemba. Dia dikurung bersama 400 tahanan lain dalam satu sel dengan hanya dua toilet. Tak banyak tempat untuk sekadar menyelonjorkan kaki. Untuk tidur, para tahanan harus bergantian. "Kalau sakit, apa pun penyakitnya, obatnya sama," ujar dia.
Selain jumlah penghuninya melebihi kapasitas (overcapacity), Surya menuturkan, penjara tak lepas dari kesenjangan sosial. Mereka yang berduit, kata Surya, bisa memilih blok O yang elite dengan tempat tidur. Namun mereka yang miskin harus pasrah mendapat ruang di blok tipe 7. Mereka yang berada di blok ini berkeleleran tidur di tangga, kencing di botol, dan berebut nasi cadong. Untuk mendapatkan uang, para tahanan berbisnis apa saja, dari menjadi tukang pijat, bisnis jual-beli telepon genggam, hingga bisnis narkoba.
Dian Purnomo, tahanan kasus konflik Waduk Sepat, Surabaya, mengatakan perputaran uang dalam penjara sangat besar. Ketika baru masuk, misalnya, tahanan bisa menolak dicukur gundul asalkan membayar Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta. Ketika dijenguk pun, tahanan harus merogoh kocek untuk diberikan kepada petugas. “Ditawari, kalau mau turun ke blok, bayar Rp 500 ribu. Saya kira lebih longgar, ternyata sama saja enggak ada tempat untuk tidur. Saat masuk itu bayar lagi. Kalau mau tidur empat keramik itu bayar Rp 200 ribu. Kalau di kamar Rp 800 ribu. Ada yang sampai Rp 4 juta dan Rp 10 juta, tergantung fasilitasnya,” kata Dian.
Dian dihukum selama tiga bulan penjara dengan tuduhan merusak properti PT Ciputra Surya, perusahaan yang disebut-sebut ingin mengambil alih Waduk Sepat. Menurut Dian, dakwaan jaksa itu mengada-ada. Buktinya, tak ada satu pun saksi yang hadir mengatakan bahwa Dian melakukan perusakan.
Setelah hakim membacakan vonis, Dian tak segera dibebaskan. Baru tiga hari seusai sidang pembacaan vonis, ia bisa kembali ke rumahnya. “Saya cuma tiga hari di rumah. Lalu ditahan lagi karena jaksa banding,” ujar dia. Hingga kini, Dian masih dalam proses pengajuan kasasi.
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak belum bisa dimintai konfirmasi. Nomor teleponnya tak bisa dihubungi hingga berita ini ditulis. Adapun Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono irit berkomentar. “Dicek dulu kebenarannya, ya,” kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI