JAKARTA – Pengusaha memberikan respons positif atas keputusan pemerintah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro sejak 9 Februari hingga 22 Februari mendatang. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, optimistis PPKM mikro, yang merupakan perpanjangan PPKM jilid I dan II, bisa meningkatkan produktivitas dibandingkan sebelumnya.
"Kami sangat mengapresiasi pemerintah telah menelaah kebijakan PPKM yang ada dan memberikan ruang gerak yang lebih tinggi kepada pelaku usaha untuk meningkatkan produktivitas, khususnya untuk usaha yang sebelumnya tidak bisa maksimal beroperasi," ujar Shinta kepada Tempo, kemarin.
Meski begitu, kata Shinta, kondisi ini masih tidak ideal untuk pelaku usaha karena masih ada batasan-batasan operasi dan kebijakan kerja dari rumah (work from home). Dia berujar, sasaran utama kebijakan ini seharusnya adalah pengetatan pelaksanaan protokol kesehatan masyarakat, bukan pengekangan pada kegiatan usaha.
Shinta belum melihat akan ada perbedaan yang signifikan antara pembatasan sebelumnya dan yang sedang berjalan saat ini, khususnya hal yang berkaitan dengan kepercayaan konsumsi masyarakat di pasar dalam negeri. Hal ini terjadi karena sentimen konsumsi masyarakat pada dasarnya saling mempengaruhi, sehingga perilaku konsumsi pasar menjadi lebih seragam, baik di daerah yang dibatasi maupun tidak.
"Perbedaan terbesar mungkin hanya ketika ekspor, karena jelas perusahaan-perusahaan yang operasinya di luar zona PPKM bisa lebih leluasa menggenjot kinerja ekspor," ujar Shinta.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengatakan ketentuan yang diatur dalam PPKM berbasis mikro lebih baik bagi pusat belanja karena boleh beroperasi kembali hingga 21.00 WIB dan kapasitas restoran untuk melayani makan di tempat (dine-in) juga dikembalikan menjadi maksimal 50 persen. Sebelumnya, kata Alphonzus, tingkat kunjungan sempat anjlok menjadi 20-30 persen saat PPKM versi yang lalu.
"Perpanjangan jam operasional tersebut diharapkan dapat mengembalikan tingkat kunjungan kembali ke 30-40 persen," ujarnya.
Alphonzus memperkirakan tingkat kunjungan 30-40 persen ini akan datar saja sampai pertengahan 2021. Hal ini diprediksi karena tingkat kunjungan ke pusat belanja baru akan mulai bergerak pulih saat vaksinasi untuk masyarakat umum dilaksanakan, yang akan dimulai pada triwulan kedua tahun ini. "Tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan baru akan mulai bergerak menuju pulih pada awal triwulan III atau awal semester II tahun ini," kata dia.
Alphonzus berpendapat, permasalahan yang terjadi selama ini disebabkan oleh penegakan dan pemberlakuan protokol kesehatan yang sangat lemah. Menurut dia, pembatasan tidak akan efektif jika tidak disertai dengan penegakan protokol kesehatan. "Dengan diberlakukannya PPKM berbasis mikro, maka diharapkan kelemahan selama ini, yaitu perihal penegakan, dapat segera teratasi dan konsisten," ujar dia.
Pedagang makanan saat penerapan Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro di Kramat Jati, Jakarta, 9 Februari 2021. TEMPO/Subekti
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menuturkan pandemi yang berkepanjangan ini telah menekan industri retail modern sehingga memberikan pertumbuhan "negatif" sepanjang 2020. Data Bank Indonesia menunjukkan indeks penjualan riil (IPR) pada Desember terkontraksi 13,4 persen secara tahunan.
Efisiensi pengelolaan biaya serta pemakaian dana cadangan (reverse fund), yang umumnya hanya untuk mendukung kinerja masa enam bulan, sudah digunakan sampai akhir 2020. Saat ini, kata Roy, uang modal kerja (working capital) untuk ekspansi gerai semakin tipis.
Karena itu, "Kami berharap tidak ada lagi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersifat uji coba, seperti lockdown partial, yang tidak efektif," ucapnya.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar bahwa PPKM kali ini membuat dunia usaha sedikit bernapas lega karena jam dan kapasitas operasional ditambah. Namun ia masih mempertanyakan apakah angka kasus akan turun signifikan dengan adanya pembatasan mikro tersebut. Pasalnya, kata dia, pada PPKM sebelumnya saja, kenaikan rata-rata jumlah kasus harian mencapai 12 ribu.
"Ini yang jadi kontradiksi sehingga masyarakat masih menahan belanja ke luar rumah karena mobilitas masih rendah," ujar dia. Daripada melakukan kebijakan uji coba seperti itu, pemerintah lebih baik berfokus pada 3T, yaitu tes yang lebih banyak, tracing, dan treatment, termasuk peningkatan fasilitas kesehatan
Menurut Bhima, ada hal yang tidak disadari pemerintah untuk membuat masyarakat tetap berada di rumah selama masa pembatasan. Pemerintah, kata dia, perlu menambah stimulus ekonomi untuk meningkatkan perlindungan sosial. Tanpa bantuan sosial, ia melanjutkan, masyarakat akan tetap melanggar protokol kesehatan untuk mencari penghasilan di luar rumah. "Ini logika yang tidak dipahami sebelum menjalani aturan pembatasan sosial," kata dia.
LARISSA HUDA