JAKARTA – Presiden Joko Widodo meminta pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dilakukan dengan hati-hati. Presiden berharap kedua proses tersebut dilakukan berdasarkan data ilmiah sesuai dengan standar kesehatan. Tujuannya agar pemerintah tak terkesan tergesa-gesa dan mengabaikan kaidah ilmiah dalam pengadaan vaksin. "Jangan nanti timbul persepsi pemerintah terburu-buru," kata Jokowi—sapaan Joko Widodo—dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, kemarin.
Sebelumnya, sejumlah pihak meragukan kelayakan vaksin Covid-19 yang akan dipilih pemerintah. Salah satunya vaksin bikinan Sinovac dan Biofarma yang sedang diuji klinis di Bandung. Sejumlah pihak menganggap pemerintah terlalu meremehkan tahap uji klinis lantaran sudah menjadwalkan program vaksinasi.
Menurut Presiden Jokowi, aspek keamanan dan efektivitas vaksin Covid-19 menjadi perhatian utama masyarakat saat ini. Walhasil, pemerintah harus bekerja agar vaksin yang akan disuntikkan ke masyarakat sudah melalui uji klinis yang benar. "Karena, kalau ada satu saja yang bermasalah, nanti bisa menjadikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya vaksinasi ini," kata Jokowi.
Meski begitu, Presiden ingin vaksinasi berjalan dengan cepat. Maklum, semua negara di dunia sedang berlomba mendapatkan vaksin yang tepat untuk keluar dari kondisi pandemi.
Selain itu, Presiden meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dilibatkan dalam sosialisasi vaksin Covid-19. Presiden Jokowi ingin MUI, NU, dan Muhammadiyah ikut menjelaskan manfaat sekaligus menjelaskan kepada umat Islam tentang kehalalan vaksin.
Pada Jumat pekan lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebutkan MUI sudah dilibatkan dalam proses pengadaan vaksin. Dari perencanaan, pertimbangan kehalalan vaksin, hingga proses audit di pabrik.
Ma'ruf mengatakan jika ternyata dinyatakan tidak halal, pemerintah tetap akan menggunakan vaksin tersebut. "Vaksin tetap bisa digunakan walau tidak halal saat darurat. Tapi harus ada ketetapan dari MUI," kata Ma'ruf.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, hingga kemarin, pemerintah provinsi belum mendapatkan kepastian pelaksanaan vaksinasi. Musababnya, Ridwan Kamil masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat. "Karena pembeliannya bukan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) kami, kami tidak tahu barangnya datang," kata Ridwan Kamil dalam jumpa pers, kemarin.
Menurut mantan Wali Kota Bandung itu, pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta pemerintah provinsi bersiap jika vaksin Covid-19 sudah datang. Sebab itu, Ridwan Kamil sudah menunjuk Depok sebagai kota pertama di Jawa Barat yang akan melakukan proses vaksinasi. "Ahad lalu, kami sudah melakukan simulasi vaksinasi, pengetesan di Depok," kata dia.
Dari uji coba tersebut, pemerintah daerah mengantongi sejumlah potensi kekurangan saat pelaksanaan vaksinasi. Sebab itu, pemerintah daerah akan menyiapkan beragam solusi.
Sejak pekan, lalu Pemerintah Kota Depok mempersiapkan teknis pelaksanaan vaksinasi. Sesuai dengan rencana awal, sebanyak 290 ribu warga Depok akan menerima suntikan vaksin. Atau jika dipersentasekan, sekitar 20 persen dari total penduduk Depok, yakni 1,4 juta jiwa.
Adapun menurut data Satuan Tugas Covid-19, kemarin, Kota Depok kembali berstatus zona merah. Total, terdapat 6.585 kasus Covid-19 di Depok sejak Maret lalu. Di antaranya tercatat 1.333 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Menurut Ridwan Kamil, Kota Depok memang sudah beberapa kali berganti dari zona merah ke jingga dan sebaliknya. Lantaran alasan itulah Ridwan Kamil memilih Kota Petir julukan Depok sebagai daerah pertama program vaksinasi di Jawa Barat.
Meski begitu, Ridwan Kamil sudah mengantongi sejumlah informasi musabab kembalinya zona status merah Kota Depok. "Karena pergerakan orang dan kluster keluarga serta perkantoran itu masih meningkat," katanya.
AHMAD FIKRI | DEWI NURITA | INDRA WIJAYA