JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Soeparno, mengatakan akan mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2021. Dia optimistis pembahasan amendemen aturan itu bakal rampung dalam setahun. "Kalau awal tahun depan sudah bisa mengawali pembahasan, saya kira akhir 2021 UU Migas yang baru sudah bisa disahkan," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Eddy memastikan revisi UU Migas akan memperbarui pasal-pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Agung. Salah satunya adalah menentukan badan hukum yang berwenang mengeluarkan perizinan di sektor hulu migas. Saat membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas pada November 2012, Mahkamah Agung mengamanatkan pembentukan badan usaha untuk melakukan kontrak kerja sama. Saat ini tugas tersebut diserahkan kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas sebagai lembaga ad hoc.
Menurut Eddy, pengaturan badan hukum permanen penting untuk memberikan kepastian hukum kepada investor. Kebijakan yang berubah-ubah membuat investasi di sektor hulu migas tak menarik. Sejumlah investor pun memilih angkat kaki, seperti Royal Dutch Shell PLc yang bakal meninggalkan Blok Masela serta PT Chevron Pacific Indonesia di proyek Indonesia Deep Water Development (IDD).
Eddy menyatakan terdapat sejumlah opsi selain membentuk badan baru. Peluang penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai regulator, seperti diatur dalam UU Migas terdahulu, juga terbuka. "Tapi fungsi pemain dan regulator harus dipisahkan, sehingga kemungkinan besar nanti dibahas dalam konteks sebuah badan hukum yang akan didirikan independen tapi bertanggung jawab ke Menteri ESDM," ujarnya.
Agenda pembahasan mengenai badan hukum pengganti SKK Migas ini tetap dijadwalkan, meski dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan aturan. Pasal 40 mengatur kegiatan usaha hulu migas dilakukan berdasarkan perizinan berusaha, menggantikan rezim kontrak yang saat ini berlaku. Eddy tak bersedia berkomentar banyak ihwal aturan ini. "Kita tunggu dulu nanti rancangan peraturan pemerintahnya seperti apa," katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyatakan pembentukan badan hukum pengganti lembaga ad hoc sangat mendesak. "Tentu saja jika rezim yang digunakan tetap kontrak," tuturnya. Sesuai dengan mandat Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus mengusahakan mekanisme kontrak melalui badan hukum milik negara.
Merujuk pada keputusan tersebut, Komaidi menilai pemerintah tak seharusnya beralih ke rezim izin. Sistem izin pun akan mengurangi kontrol pemerintah terhadap penguasaan sumber daya negara. Pelaku usaha juga akan dibuat bingung, terlebih karena tak ada peraturan mengenai peralihan yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Selain soal pengganti SKK Migas, Komaidi mengatakan, UU Migas yang baru harus menampung perbaikan dari beragam aturan yang telah batal. "Sekitar 30 persen aturan dalam UU Migas sekarang itu sudah dibatalkan ketentuannya," kata dia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional, Moshe Rizal Husin, situasi yang tidak pasti seperti sekarang semakin mengurangi daya tarik Indonesia di mata investor. Pengusaha, kata dia, menanti perubahan rezim hulu migas. Jika rezim kontrak diganti izin, pelaku usaha meminta konsistensi aturan. "Track record pemerintah Indonesia terkenal tidak konsisten," ujarnya. Dia mencontohkan penerapan skema bagi hasil gross split yang awalnya dibuat untuk menggantikan cost recovery tapi kini digunakan bersamaan.
VINDRY FLORENTIN