maaf email atau password anda salah


Kritik Bukanlah Ujaran Kebencian

Pasal ujaran kebencian tak hanya dipakai polisi untuk membungkam kebebasan berpendapat, tapi juga digunakan untuk menutupi boroknya sendiri.

arsip tempo : 172662016724.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172662016724.

PASAL ujaran kebencian tak layak diterapkan kepada demonstran mahasiswa di Aceh atas ujaran mereka kepada polisi. Proses hukum terhadap mereka mengada-ada karena polisi mempidanakan mahasiswa yang membentangkan spanduk bertulisan "polisi pembunuh" dan "polisi biadab" saat menggelar demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Mulanya mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Lhokseumawe itu menggelar aksi pada Kamis, 29 Agustus 2024. Mahasiswa meminta negara menaikkan upah buruh, mengatasi kemiskinan dan korupsi, serta memperbaiki pendidikan. Situasi tak terkendali karena polisi menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa. Sebanyak 16 mahasiswa digelandang ke kantor polisi, dengan enam di antaranya ditetapkan sebagai tersangka karena membentangkan spanduk yang sebenarnya berisi kritik terhadap polisi.

Polisi menjerat keenam mahasiswa itu dengan menggunakan Pasal 156 dan 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tuduhan ini jelas berlebihan lantaran menggerus hak fundamental dalam berekspresi dan menyatakan pendapat. Ujaran tentang kebrutalan polisi bukanlah kebencian, melainkan kritik untuk perbaikan. Toh, masih kerapnya polisi melakukan kekerasan terhadap masyarakat, termasuk saat membubarkan demonstrasi mahasiswa di Aceh pada hari itu, merupakan fakta yang seterang cahaya.

Penerapan pasal ini juga dibuat-buat karena kedua pasal itu mengatur larangan ujaran kebencian terhadap ras, kelompok etnis, dan agama serta penyebarluasan kebencian terhadap satu golongan penduduk atau masyarakat. Polisi tak bisa dikategorikan secara sederhana sebagai golongan masyarakat, melainkan alat negara.

Dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Strategi dan Rencana Aksi Ujaran Kebencian menyebutkan unsur golongan hendaknya diatur secara limitatif untuk mewakili kelompok orang berdasarkan afiliasi politik, warga negara, status gender, dan orientasi seksual. Penerapan pasal ujaran kebencian pun harus dipahami sebagai delik materiil yang tidak bisa berdiri sendiri. Tuduhan itu hanya bisa dipakai jika ucapan seseorang memiliki akibat yang membuat orang lain tergerak melakukan kriminalitas dan kejahatan kemanusiaan terhadap kelompok tertentu. Propaganda anti-Semit yang mendorong praktik genosida di era Nazi merupakan salah satu contohnya.

Panduan teknis penerapan pasal ini pernah dirintis Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti lewat Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Namun pedoman itu mencampuradukkan delik ujaran kebencian dengan penghinaan, pencemaran nama, perbuatan tidak menyenangkan, dan penghasutan. Terlepas dari adanya kritik, surat edaran itu menekankan bahwa pemidanaan sebagai ultimum remedium alias jalan terakhir. Dengan demikian, polisi harus mengedepankan penyelesaian nonyustisia jika menangani perkara ini.

Dalam penanganan demonstrasi mahasiswa di Aceh, penggunaan pasal ujaran kebencian jelas ngawur. Pasal itu tak hanya dipakai untuk membungkam kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, tapi juga digunakan polisi untuk menutupi boroknya sendiri. Polisi malah menunjukkan wajahnya yang antikritik.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan