Kegandrungan polisi memakai pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi sinyal buruk bagi masa depan demokrasi di negeri ini. Apalagi, belakangan ini, polisi terkesan kian represif dan serampangan dalam menggunakan pasal karet itu.
Polisi baru-baru ini menangkap dan menjadikan tersangka 11 penentang Undang-Undang Cipta Kerja. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Kesebelas orang itu dituduh mengumbar kebencian dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Polisi tak menjelaskan dengan gamblang apa hubungan menolak omnibus law dengan isu SARA. Sebagian yang ditangkap memang pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang kerap mengusung isu politik sektarian. Tapi ada juga pengurus serikat pekerja yang diciduk gara-gara menentang UU Cipta Kerja melalui status akun WhatsApp-nya.
Polisi menuding ujaran para tersangka di dunia maya itu telah memicu kerusuhan dalam unjuk rasa penolakan omnibus law di sejumlah daerah. Tapi lagi-lagi polisi tak menjelaskan hubungan sebab-akibatnya. Katakanlah benar ada yang melontarkan provokasi di muka umum, seperti dimaksudkan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tapi polisi tak bisa begitu saja menjadikan mereka tersangka. Sebab, pada 2009, Mahkamah Konstitusi telah mengubah pasal penghasutan itu dari delik formal menjadi delik materiil. Artinya, seseorang yang menghasut baru bisa dipidana bila ucapannya terbukti berdampak pada terjadinya kerusuhan ataupun perbuatan anarki.
Faktanya, kerusuhan di sejumlah kota meletus setelah polisi membubarkan paksa para penentang omnibus law dengan meriam air dan tembakan gas air mata. Di Jakarta, berdasarkan penelusuran Tempo, ciri-ciri kelompok perusuh malah berbeda dari para pengunjuk rasa. Anehnya, polisi tak sigap mengungkap siapa perusuh di alam nyata itu.
Penangkapan para penentang omnibus law justru menegaskan betapa berbahayanya pasal karet UU ITE di tangan aparat yang kian represif. Berdasarkan catatan SAFEnet lembaga yang mengadvokasi kebebasan berekspresi di Internet dalam rentang waktu 2011-2019, aparat telah 381 kali memakai pasal karet UU ITE untuk menjerat individu dan institusi.
Yang lebih mencemaskan, dalam mencari bukti pelanggaran UU ITE, belakangan ini polisi tak hanya menyisir media sosial, tapi juga menyasar akun pribadi serta grup percakapan tertutup, seperti WhatsApp. Pada titik ini, polisi jelas telah kebablasan. Di alam demokrasi, tak sepantasnya polisi memata-matai warga negara hingga wilayah privasinya.
Bila tindakan aparat itu tak dihentikan, bukan hanya kemerdekaan berpikir dan berekspresi warga negara yang terancam. Masa depan demokrasi kita pun dalam bahaya.
Editorial
Represi di Ruang Pribadi
Kegandrungan polisi memakai pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi sinyal buruk bagi masa depan demokrasi di negeri ini. Apalagi, belakangan ini, polisi terkesan kian represif dan serampangan dalam menggunakan pasal karet itu.
Edisi, 19 Oktober 2020

Reporter: Tempo
