BANGKOK —Ratusan pengunjuk rasa anti-pemerintah Thailand kemarin kembali berdemonstrasi di Ibu Kota Bangkok. Protes juga digelar di 19 provinsi lainnya dan di sejumlah negara, seperti Taiwan, Denmark, Swedia, Prancis, Amerika Serikat, serta Kanada.
Mereka tidak mengindahkan larangan protes yang dikeluarkan pemerintah Thailand pada Kamis lalu. Demonstran bahkan tetap menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, pemilihan baru, amendemen konstitusi, dan pembatasan kekuasaan raja.
Demonstrasi terus berlanjut meskipun puluhan pengunjuk rasa dan pemimpin mereka ditangkap. Penutupan sebagian besar sistem kereta metro Bangkok selama akhir pekan ini juga tidak mampu menahan para demonstran untuk berdiam diri di rumah.
Para pengunjuk rasa bergerak cepat dari satu titik ke titik lain, mengunggah situs berbeda untuk kemungkinan demonstrasi di media sosial.
“Kami akan tinggal sampai selesai atau pindah ke lokasi lain dengan aktivis lain,” kata Dee, 25 tahun, seorang pengunjuk rasa di Asok, salah satu persimpangan tersibuk di Bangkok.
Ratusan orang juga berkumpul di Monumen Kemenangan, hampir lima kilometer dari persimpangan Asok.
Para pengunjuk rasa di Asok memasang pemberitahuan dengan tulisan tangan di stasiun yang ditutup, "Apakah menjilat sepatu bot diktator rasanya enak?", sementara lainnya menggunakan bahasa yang lebih kasar.
Beberapa polisi berkumpul di sisi lain persimpangan, tapi tidak segera turun tangan.
“Kami berkomitmen menjaga perdamaian dan ketertiban. Untuk melakukannya, kami terikat oleh hukum, standar internasional, dan hak asasi manusia," ujar juru bicara kepolisian, Kissana Phathanacharoen, dalam jumpa pers.
Namun Mary Lawlor, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pembela hak asasi manusia, mengungkapkan kekhawatiran atas situasi di Thailand.
“Saya khawatir ihwal laporan pekan ini dari Thailand tentang penangkapan, penahanan, dan penggunaan tuduhan kriminal terhadap pembela hak asasi manusia. Mereka menggunakan hak berkumpul secara damai untuk mengekspresikan pandangan mereka,” demikian cuitan Lawlor di Twitter, kemarin.
Para pengunjuk rasa mengatakan Prayuth merekayasa pemilu tahun lalu untuk mempertahankan kekuasaan yang direbutnya dalam kudeta 2014. Tuduhan ini dibantah oleh Prayuth.
Mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang pemerintahnya dilengserkan oleh junta pimpinan Prayuth Chan-ocha, menyindir sang jenderal dalam pesan di Twitter pada Sabtu malam.
Yingluck bertanya apakah Prayuth ingat ketika pengunjuk rasa menuntut pengunduran dirinya enam tahun lalu.
"Hari ini kejadian yang sama telah terjadi pada Anda, ketika lebih dari 100 ribu siswa dan rakyat Thailand menuntut Anda mengundurkan diri. Saya harap Anda segera memutuskan untuk memilih strategi guna membawa negara menuju perdamaian dan kemakmuran."
Demonstrasi juga menjadi lebih terbuka mengkritik monarki Raja Maha Vajiralongkorn. Melanggar tabu lama, demonstran menuntut pembatasan kekuasaan Vajiralongkorn, meskipun ada potensi hukuman penjara hingga 15 tahun bagi siapa pun yang menghina raja.
Raja Vajiralongkorn telah dikritik publik karena menghabiskan sebagian besar waktunya di Jerman. Padahal rakyat Thailand saat ini menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Istana Kerajaan tidak mengomentari protes itu, tapi raja yang sedang pulang ke Bangkok mengatakan Thailand membutuhkan orang-orang yang mencintai negara dan monarki.
Selama demonstrasi oleh puluhan ribu orang di berbagai titik di seluruh Bangkok pada Sabtu lalu, pengunjuk rasa mengecat bendera di jalan dengan tulisan "Republik Thailand" di atasnya.
Thailand juga memblokir akses ke situs petisi online Change.org setelah muncul sebuah petisi yang menyerukan agar Raja Maha Vajiralongkorn dinyatakan sebagai orang yang tidak diinginkan atau persona non-grata di Jerman.
Melansir CNN pada Sabtu lalu, petisi daring tersebut menarik hampir 130 ribu tanda tangan sebelum situs itu diblokir. Hingga kemarin, petisi yang masih dapat dibaca di luar Thailand itu berhasil mendapatkan hampir 140 ribu tanda tangan dari target 150 ribu, menurut Change.org.
L REUTERS | BANGKOK POST | YAHOO NEWS | SITA PLANASARI AQUADINI