Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Wacana reformasi sistem keuangan yang berkembang belakangan ini mulai mengerucut pada isu perluasan mandat dan pengembalian fungsi pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia (BI). Rencana ini patut diwaspadai karena dapat mengamputasi independensinya.
Independensi BI dijamin oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Dalam melaksanakan tugas stabilisasi nilai rupiah, BI dinyatakan terbebas dan wajib menolak campur tangan dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun. Dengan mandat tersebut, sejak 2000, BI menerapkan penargetan inflasi dengan suku bunga acuan sebagai instrumennya.
Lewat penargetan inflasi, perubahan suku bunga acuan diproyeksikan bertransmisi ke suku bunga perbankan. Pemangkasan suku bunga acuan akan menurunkan suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan perbankan. Fungsi intermediasi ini akan menggerakkan aktivitas ekonomi.
Jadi, penargetan inflasi bekerja secara langsung terhadap stabilisasi, tapi berefek tidak langsung terhadap pertumbuhan. Kebijakan BI yang terkesan pro-stabilitas alih-alih pro-pertumbuhan inilah yang agaknya mulai mendapat tantangan.
Postulat terkendalinya pergerakan inflasi menjadi prakondisi bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi juga tidak terbukti. Laju inflasi yang stabil pada kisaran 3-4 persen dalam beberapa tahun terakhir semestinya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kencang lagi, alih-alih stagnan di angka 5 persen.
Perubahan suku bunga acuan juga tidak diimbangi dengan perubahan suku bunga perbankan. Sikap perbankan yang tidak responsif ini boleh jadi lantaran mereka tidak langsung berada di bawah pengawasan BI, melainkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ringkasnya, tujuan tunggal yang diamanatkan kepada BI tidak sebanding dengan independensinya. Karena itu, perluasan mandat dan pengembalian fungsi pengawasan perbankan kepada BI diklaim oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wahana agar kebijakan BI dapat berperan lebih besar dalam pembangunan.
Tuntutan agar BI berperan lebih optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan bahkan penciptaan kesempatan kerja secara empiris juga terdukung. Perbandingan dengan banyak negara menunjukkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran menjadi bagian yang diperhatikan oleh kebijakan bank sentral.
Memasukkan kedua mandat tersebut ke dalam Undang-Undang Bank Sentral masih terbuka. Namun masalah hakikinya adalah potensi imbal korban antara stabilitas dan pertumbuhan. Inflasi tekanan biaya (cost-push inflation) adalah bukti stabilitas harga dan pertumbuhan sulit dicapai berbarengan.
Kesulitan kian tinggi saat tekanan biaya berasal dari inflasi terimpor. Porsi inflasi terimpor relatif berat karena berhubungan dengan minyak dan gas, bahan baku, serta barang modal yang dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan. Tujuan stabilisasi bisa keteteran saat berhadapan dengan faktor eksogen yang berada di luar kendali BI.
Konsekuensinya, stabilitas inflasi yang dikelola BI bisa bias. Proposisi kurva Phillips perihal keterkaitan antara inflasi dan angka pengangguran untuk kasus Indonesia semakin lemah. Setali tiga uang, hukum Okun yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja bisa jauh dari jangkauan.
Jika kendala di atas bisa ditanggulangi, masalah juga belum selesai. Perluasan mandat BI sebagai agen pertumbuhan menghendaki BI ikut menentukan target pertumbuhan. Akibatnya, kebijakan BI tetap harus memperhitungkan karakter kebijakan fiskal agar target inflasi dan pertumbuhan bisa tercapai.
Kemungkinan serupa juga bakal terjadi di ranah makroprudensial. Kebijakan makroprudensial tipikal berciri kontra-siklikal. Kebijakan makroprudensial niscaya tidak efektif tatkala harus digandeng dengan kebijakan fiskal yang pro-siklikal. Kalaupun efektif, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak berkelanjutan.
Dengan begitu, kebijakan fiskal secara tidak langsung sudah mengintervensi kebijakan moneter. Artinya, kebijakan BI menjadi representasi dari kebijkan fiskal. Dengan kata lain, pemerintah sebagai otoritas fiskal bisa mencampuri kebijakan BI sehingga keputusan politik secara nyata sudah memasuki BI.
Pada akhirnya, independensi BI, baik secara institusi maupun profesionalitas, perlahan-lahan tergerus. Pengembalian fungsi pengawasan perbankan dan perluasan mandat kepada BI tetap harus diwaspadai. Jangan sampai keduanya menjadi "jalan memutar" atau "jalur alternatif" untuk mengamputasi independensi BI.