Edisi Senin, 22 April 2013
Editorial
Politikus Senayan semestinya ikut bertanggung jawab atas kisruh ujian nasional. Penganggaran yang mencurigakan, bahkan sempat diblokir oleh Menteri Keuangan, membuat pelaksanaan ujian berantakan. Anggaran negara tak bisa dikelola secara efektif dan efisien bila anggota Dewan Perwakilan Rakyat justru terkesan menyokong pemborosan.
Kesan itu sulit dihindari setelah Kementerian Keuangan mengungkapkan alasan pemblokiran anggaran Rp 62,06 triliun yang diajukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya anggaran Rp 11,01 triliun untuk gaji pegawai yang tidak ditahan. Anggaran ujian nasional termasuk yang sempat ditahan sehingga persiapannya mepet. Pemenang tender pencetakan dan distribusi naskah ujian hanya memiliki waktu sebulan untuk mengerjakan proyek berskala luas ini.
Baca Selengkapnya
Berita Lainnya
Olah Raga
Selangkah Lagi Barca Juara
Nasional
Biaya Masuk DPR Sampai Rp 6 Miliar
Budaya
Limbah Kertas di Ruang Seni
Olah Raga
Berita Lainnya
Nasional
Berita Lainnya
Internasional
Berita Lainnya
Nusa
KUPANG -- Kekacauan ujian nasional kembali terjadi. Ujian untuk sekolah menengah pertama di Nusa Tenggara Timur terancam ditunda. Belum semua paket soal ujian nasional terdistribusikan ke kabupaten/kota di wilayah tersebut. Di beberapa daerah di Jawa Barat juga terjadi kesalahan pengiriman paket soal.
Baca Selengkapnya
Berita Lainnya
Makassar
Berita Lainnya
Berita Utama-Jateng
Berita Lainnya
Opini
Minxin Pei,
GURU BESAR PEMERINTAHAN PADA CLAREMONT MCKENNA COLLEGE DI CLAREMONT, CALIFORNIA, SENIOR FELLOW PADA GERMAN MARSHALL FUND OF THE UNITED STATES
HAMPIR di mana-mana elite-elite yang memerintah-baik di negara demokrasi maupun di negara otoriter-yakin bahwa rekayasa yang dikemas dengan pintar bisa menginspirasi rakyat dan melegitimasi kekuasaan. Sudah tentu ada perbedaan-perbedaan yang krusial. Di negara-negara demokrasi yang berfungsi, pemimpin-pemimpin yang memerintah bisa diminta mempertanggungjawabkan janji-janji yang mereka berikan: pers bisa meneropong kebijakan-kebijakan yang mereka lakukan serta partai-partai oposisi bisa menunjukkan di mana partai yang berkuasa itu berbohong dan menipu. Dengan demikian, para pejabat yang duduk dalam pemerintahan sering kali terpaksa melaksanakan janji-janji yang mereka berikan.
Penguasa-penguasa yang otokratik, sebaliknya, tidak menghadapi tekanan-tekanan semacam itu. Sensor pers, ditindasnya oposisi, dan tidak adanya oposisi yang terorganisasi memberi peluang kepada mereka yang memerintah memberi janji-janji tanpa konsekuensi politik apa pun bila mereka tidak memenuhi janji-janji itu. Alhasil, yang terjadi adalah berkuasanya pemerintah pengumbar slogan, oleh pengumbar slogan, dan untuk pengumbar slogan.
GURU BESAR PEMERINTAHAN PADA CLAREMONT MCKENNA COLLEGE DI CLAREMONT, CALIFORNIA, SENIOR FELLOW PADA GERMAN MARSHALL FUND OF THE UNITED STATES
Baca Selengkapnya
Berita Lainnya
Ekonomi dan Bisnis
Mobil Toyota Innova hitam bernomor polisi B-1824-BZM itu penuh sesak. Tiga bantal berwarna putih bertumpuk di kursi bagian depan. Di bagian tengah, melintang sebuah karpet merah bercorak bunga yang tergulung rapi. Ada pula tas beludru hitam di kursi tengah, bersanding dengan dua tas belanja berukuran besar dan dua pasang jas.
Baca Selengkapnya
Berita Lainnya
Metro
Klinik Hukum Perempuan
Video
Cawe-Cawe Jokowi Jelang Pilpres 2024, Benarkah Demi Kepentingan Negara?
Pada Senin, 29 Mei 2023. Jokowi mengatakan jika dirinya akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024 mendatang guna kepentingan bangsa. Bukan kali pertama Jokowi mengatakan hal ini pada selasa 2 Mei 2023, presiden Jokowi juga pernah mengucap kata cawe-cawe saat mengadakan pertemuan di Istana Negara dengan 6 ketua umum partai politik pendukungnya, kecuali Nasdem.
Apakah cawe-cawe ini untuk kepentingan negara atau justru kepentingannya sendiri?
Apakah cawe-cawe ini untuk kepentingan negara atau justru kepentingannya sendiri?