maaf email atau password anda salah


Berjuang Bersama Melawan Propaganda

Aksi protes #KawalPutusanMK diwarnai propaganda elite untuk memecah dukungan. Seluruh elemen masyarakat perlu waspada.

arsip tempo : 172663468384.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172663468384.

PERJUANGAN mengawal putusan Mahkamah Konstitusi, yang di media sosial ditandai dengan tagar #KawalPutusanMK, bukan hanya soal turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tapi juga soal melawan propaganda elite. 

Pada Rabu, 21 Agustus 2024, suara warganet sebetulnya langsung terkonsolidasi mengkritik upaya Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengakali putusan MK mengenai ambang batas partai politik dan batas usia pencalonan kepala daerah melalui rencana pengesahan revisi UU Pilkada. Warganet kemudian membagikan lambang burung garuda berwarna biru di media sosial beserta tulisan “peringatan darurat” untuk menunjukkan urgensi persoalan ini.

Seruan peringatan darurat memang perlu karena DPR kita punya sejarah meresmikan banyak aturan kontroversial secara cepat sebelum masyarakat sipil sempat mengkonsolidasikan kekuatan. Pada hari yang sama, sejumlah tagar menolak upaya elite—seperti #KawalPutusanMK, #tolakpolitikdinasti, #TolakPilkadaAkal2an, #demokrasidihabisi, dan #peringatandarurat—langsung menjadi viral, utamanya di platform X serta Instagram. 

Berdasarkan pantauan Monash Data & Democracy Research Hub, pada Rabu-Ahad, 21-25 Agustus 2024, terdapat total 9,63 juta cuitan di X yang menggunakan tagar-tagar tersebut. Jika cuitan yang sifatnya mengamplifikasi (retweet) kami hilangkan, masih ada 2,39 juta percakapan yang dibagikan oleh sekitar 170 ribu pengguna. 

Adapun setelah Indonesia, pengguna X yang paling banyak mencuit berasal dari Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris. Di Instagram, unggahan foto “peringatan darurat” di beberapa akun pesohor dibagikan hingga jutaan kali. 

Data tersebut menunjukkan betapa kuatnya perhatian dan kekhawatiran warganet akan isu ini. Tidak mengherankan pada keesokan harinya, Kamis, 22 Agustus 2024, berbagai elemen masyarakat di pelbagai kota turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang upaya elite politik mengakali aturan pilkada. Pesan mereka jelas dan satu suara: tidak ada lagi toleransi bagi nepotisme serta dinasti politik di negeri ini. Warga sudah jengah terhadap akal-akalan elite politik memainkan hukum dan perundang-undangan agar calon mereka bisa menang. 

Protes politik kali ini berbeda dengan dua protes politik terbesar pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni penolakan UU Cipta Kerja dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam kedua gerakan tersebut, masyarakat yang terlibat dominan dari kampus, aktivis masyarakat sipil, dan buruh. Namun kali ini, protes akal-akalan pilkada melibatkan berbagai kalangan masyarakat, utamanya mereka yang selama ini tidak langsung bersinggungan dengan gerakan.

Data yang kami kumpulkan di X menunjukkan bahwa pengguna perempuan (58 persen) lebih aktif bersuara ketimbang pengguna laki-laki (42 persen). Bahkan di puncak percakapan, pada Kamis sore hingga petang, pengguna perempuan dua kali lebih aktif mencuit dibanding pengguna laki-laki. Berdasarkan keterangan profesi yang tertulis di akun X, seniman adalah profesi nomor satu yang terbanyak mencuit (47 ribu akun), menyusul pelajar (15 ribu akun), profesional (15 ribu), praktisi kesehatan (5,8 ribu), dan peneliti (4,6 ribu).

Komposisi gender yang terlibat dalam percakapan “kawal putusan MK” di X (21-25 Agustus 2024). Perempuan mencuit hampir dua kali lipat lebih banyak dibanding laki-laki. (Monash Data & Democracy Research Hub)


Meski yang paling aktif mencuit adalah akun-akun X milik organisasi media nasional, sebenarnya jumlah akun jurnalis yang aktif terlibat meramaikan percakapan hanya 4.500 akun. Cuitan yang terbanyak dibagikan adalah tentang penjelasan soal putusan MK, tips kesiapan unjuk rasa, dan orasi Reza Rahadian. 

Observasi saya di Instagram menunjukkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini pasif, akhirnya mengambil bagian dalam membagikan unggahan #peringatandarurat dan #kawalputusanMK. Mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang peduli terhadap isu ini, tapi terikat dengan pekerjaan domestik menjaga anak; aparatur negara; penerima beasiswa pemerintah; pekerja swasta yang tidak bisa meninggalkan kantor; hingga musikus yang sedang melakukan konser. 

Keterlibatan berbagai elemen masyarakat dalam protes politik kali ini sebenarnya tidak mengherankan. Pada pilpres 2024, kami memantau polarisasi yang terjadi di X, Facebook, dan Instagram, serta sebenarnya analisis kami menunjukkan bahwa masyarakat lebih terpolarisasi dibanding pada pilpres 2019 (Tempo, 12 Februari 2024).

Komposisi profesi pengguna yang terlibat dalam percakapan “kawal putusan MK” di X pada 21-25 Agustus 2024. (Monash Data & Democracy Research Hub)
 

Sementara pada 2019 polarisasi agama mendominasi, dalam pilpres 2024 yang mendominasi adalah polarisasi politik. Lebih tepatnya, masyarakat terpecah antara mendukung dan menolak politik dinasti. Namun polarisasi ini tidak seterang polarisasi agama yang biasanya cukup dikenal dengan istilah “kafir”, “penista agama”, dan “cebong vs kampret”. 

Polarisasi politik, utamanya berkaitan dengan putusan MK yang memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden, lebih subtil untuk dikenali di percakapan media sosial karena berisi argumen-argumen penolakan terhadap putusan MK ihwal syarat calon presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Seseorang perlu membaca lebih banyak untuk bisa berargumen dan menulis di media sosial tentang dinasti politik

Bibit-bibit penolakan masyarakat terhadap akan-akalan penguasa dalam memuluskan praktik nepotismenya sebenarnya sudah ada. Bibit-bibit tersebut lalu tumbuh besar seiring dengan bertambah buruknya kondisi perekonomian, inkompetensi pemerintah, dan kebijakan-kebijakan tidak pro-rakyat yang terang benderang dipertontonkan penguasa. Penolakan ini juga tereskalasi menjadi kemuakan massal melihat perilaku Kaesang Pangarep dan Erina Gudono yang pelesiran di Amerika Serikat. 

Propaganda di Media Sosial

Pada dua protes politik terhadap UU Cipta Kerja dan UU KPK, propaganda pemerintah bertujuan membuat masyarakat ragu akan permasalahan yang terjadi serta teralihkannya perhatian. Kala itu, pada protes UU Cipta Kerja, pemerintah mengkambinghitamkan demonstran yang termakan disinformasi dan bertindak anarkistis. Padahal kenyataannya, pemerintahlah yang menyebarkan disinformasi tentang aturan ini. Dalam UU KPK terjadi perang tagar dan pembunuhan karakter KPK sebagai sarang Taliban serta adanya teror terhadap aktivis antikorupsi. 

Upaya pengalihan isu dan pembungkaman narasi kembali terlihat dalam aksi protes #KawalPutusanMK. Salah satunya adalah upaya membuat viral percakapan dengan topik yang tidak relevan, seperti “pilih damai bareng Prabowo” dan “lebih sejuk lebih nyaman”, di platform X. Narasi itu nyatanya hanya bertahan pada Kamis sore hingga malam dengan jumlah 28 ribu cuitan. Cuitan ini ramai dengan konten-konten yang dihasilkan oleh alat kecerdasan buatan (AI), baik teks maupun gambarnya.  

Di platform video pendek TikTok, muncul narasi yang juga menggunakan gambar burung garuda meniru gambar “peringatan darurat”, tapi dengan kalimat “Indonesia baik-baik saja” sebagai antitesis keadaan darurat. Yang mengherankan, konten-konten ihwal protes politik di TikTok tidak seramai di platform lain. Perlu upaya lebih untuk mencari tagar dan kata kunci terkait agar video-video aksi bisa masuk ke for your page (FYP) pengguna.

Mengingat Indonesia adalah pengguna TikTok terbesar di dunia, adanya keragaman demografi masyarakat yang ikut mencuit dalam aksi protes ini, dan masifnya unggahan di Instagram, sangat mengherankan justru TikTok sepi akan narasi-narasi serupa. Padahal platform ini sangat andal di pilpres 2024 dalam mendukung kampanye Prabowo sebagai sosok yang “gemoy”. 

Aksi protes, apalagi untuk melawan penguasa, tentu tidak akan dibiarkan begitu saja. Selain berjuang bersama untuk mengawal keputusan MK dan akal-akalan aturan pilkada, semua elemen masyarakat mesti sadar bahwa setiap saat bisa muncul propaganda untuk memecah dukungan. Hal yang tidak kalah bahaya adalah propaganda untuk menyebarkan keraguan atas apa yang sudah kita yakini. 

Saat ini warganet masih memiliki kesadaran tinggi untuk segera menangkis upaya membungkam pendapat atau menunggangi narasi di media sosial. Namun, seperti yang Bung Hatta pernah katakan, perjuangan kita lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Tetaplah sadar dan terbangun.

Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan