Pesta Demokrasi tanpa Kompetisi
Kemunculan calon tunggal dalam pilkada 2024 bakal makin banyak. Perlu ada efek jera bagi partai politik.
PEMILIHAN kepala daerah serentak (pilkada 2024) tinggal hitungan bulan. Digelar pada 27 November, pesta demokrasi tingkat lokal ini sudah memanas jauh sebelum masa pendaftaran kandidat gubernur, wali kota, ataupun bupati mulai besok hingga 29 Agustus nanti. Sejumlah bakal calon sudah mencuri start dengan bermanuver menggalang dukungan partai dan relawan.
Salah satunya adalah Ika Puspitasari atau dikenal dengan Ning Ita, bakal calon Wali Kota Mojokerto, Jawa Tengah. Wali Kota Mojokerto periode 2018-2023 tersebut sudah menyapu bersih dukungan partai politik. Perempuan 45 tahun itu adalah adik Mustofa Kemal Pasa, bekas Bupati Mojokerto yang belakangan menjadi terpidana dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari sembilan partai pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mojokerto, delapan di antaranya mendukung Ning Ita. Hanya Partai Kebangkitan Bangsa, pemilik 4 kursi di DPRD, yang belum menyatakan dukungan ke Ketua Pengurus Cabang Muslimat Nahdlatul Ulama Kota Mojokerto tersebut.
Dengan hanya menyisakan PKB, Ning Ita berpeluang besar menjadi calon tunggal pada pilkada Kota Mojokerto 2024. PKB hanya memiliki dua pilihan: mendukung Ning Ita atau abstain dalam pemilihan Wali Kota Mojokerto.
PKB tak bisa mengusung calon lain karena tak memenuhi syarat ambang batas untuk mengajukan kandidat. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengatur ambang batas pencalonan partai politik untuk mengusung kandidat bagi partai atau gabungan partai adalah minimal 20 persen dari kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu DPRD sebelumnya. Artinya, untuk mengusung calon Wali Kota Mojokerto, dibutuhkan sedikitnya 10 kursi DPRD. Sedangkan PKB hanya memiliki 4 kursi.
Peluang munculnya calon perseorangan untuk melawan Ning Ita juga tertutup. Selain belum ada yang mendeklarasikan diri, syarat menjadi calon perseorangan tak mudah. Menurut UU Pilkada, calon perorangan harus mengantongi 6,5-10 persen dukungan dari total daftar pemilih tetap (DPT). Komisi Pemilihan Umum mencatat DPT Kota Mojokerto mencapai 104.629 pemilih.
Daerah yang juga berpeluang menggelar pemilihan dengan calon tunggal adalah Kabupaten Jepara. Adalah Witiarso Utomo—biasa disapa Mas Wiwit—yang berpeluang menjadi calon tunggal. Sejauh ini dia sudah mendapat dukungan tujuh partai yang memiliki kursi di DPRD Jepara. Pengusaha Jepara ini berambisi menyapu bersih dukungan partai politik dengan getol melobi partai-partai yang tersisa di parlemen, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan PKB, untuk membangun koalisi tunggal.
Pilkada serentak 2024 akan digelar di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Seperti sebelumnya, pilkada kali ini akan menjadi ajang kontestasi untuk orang kuat di tingkat lokal, calon inkumben, kandidat dari politik dinasti, wajah-wajah baru, dan calon perseorangan. Melihat trennya, jumlah calon tunggal pada pilkada 2024 berpeluang meningkat. Pertama kali muncul pada 2015 di tiga daerah, jumlah calon tunggal terus meningkat setiap perhelatan pilkada.
Data Badan Pengawas Pemilu menyebutkan pada pilkada 2017 calon tunggal ada di sembilan daerah dan pada pilkada 2018 ada di 16 daerah. Pada pilkada empat tahun lalu, ada 25 daerah dengan calon tunggal. Dari jumlah itu, semuanya menang. Sebagian besar mengantongi 60 persen suara melawan kotak kosong. Menurut Undang-Undang Pilkada, calon tunggal dinyatakan menang jika bisa meraih lebih dari 50 persen total suara.
Saat ini publik sebetulnya punya harapan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024. Lewat putusan MK ini, partai politik atau koalisi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD provinsi dapat mendaftarkan calon kepala daerah. Namun kita harus tetap waspada karena Badan Legislasi DPR sempat berupaya merevisi UU Pilkada.
Fenomena Calon Tunggal di Pilkada
Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah adalah anomali dari pesta demokrasi. Menurut teori demokrasi minimalis (Robert Dahl, 1971), pemilihan umum merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi rakyat untuk menentukan pilihan, liberalisasi hak-hak sipil, dan politik warga negara.
Demokrasi juga menggariskan bahwa pemilu adalah kesempatan bagi partai oposisi dan rakyat untuk menjalankan mekanisme checks and balances terhadap penguasa. Calon tunggal jelas merupakan penyimpangan dari teori ini karena dalam pemilihan tak ada kompetisi atau kontestasi. Dengan koalisi besar atau semua partai bersatu mendukung calon tunggal, sulit untuk berharap akan ada penyeimbang pemerintahan.
Calon tunggal juga berkelindan dengan politik dinasti. Dari 25 calon tunggal yang menang pada pilkada 2020, delapan di antaranya adalah kandidat dinasti politik. Salah satunya adalah Hanindhito Himawan Pramana, putra Pramono Anung, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang saat ini menjabat Sekretaris Kabinet Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Hanindhito menyapu bersih dukungan partai politik. Sejumlah tokoh di Kediri sudah berniat maju menjadi pesaing politikus PDI Perjuangan tersebut, tapi gagal karena tak mendapat dukungan partai. Salah satunya adalah Mujahid, calon yang diusung keluarga dinasti politik di Kediri, Sutrisno. Pada pilkada Kediri, dinasti politik tumbang oleh dinasti politik yang lain.
Sempat muncul ide pemberian penalti kepada partai yang tidak mengajukan calon. Gagasan ini diusulkan masuk revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada 2015, tapi mental. Menurut Presiden Institute Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, pemberian penalti itu untuk menghindari terulangnya calon tunggal dalam pilkada (Tempo.co, 1 Maret 2016).
Tidak masuknya gagasan ini dalam revisi Undang-Undang Pilkada menunjukkan pemerintah dan DPR seperti tak memiliki iktikad baik untuk membenahi karut-marut pilkada dengan perubahan aturan main. Akibatnya, menurut Djohermansyah, demokrasi lokal, yang merupakan pendalaman dari demokrasi nasional, akan kian terpuruk. Elite lokal akan membajaknya (democracy for the few), banyak kepala daerah yang ditangkap KPK, dan kesejahteraan masyarakat kian diabaikan (Kompas.com, 12 Mei 2024).
Calon tunggal adalah duri dalam demokrasi. Fenomena ini merupakan bentuk pragmatisme partai untuk dengan mudah mendapatkan kekuasaan. Dengan makin meningkatnya jumlah calon tunggal, hal ini menunjukkan makin kuatnya kartel politik di tingkat pusat dan daerah. Partai sebagai pilar demokrasi tak lagi memandang pemilihan sebagai ajang untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas, tapi semata-mata sarana bancakan kekuasaan.
Keberadaan calon tunggal dalam sistem politik multipartai, seperti di Indonesia, adalah fenomena yang menyedihkan. Pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal pada ujungnya menghasilkan politik dagang sapi.
Fenomena calon tunggal sejatinya adalah bentuk kegagalan partai melakukan kaderisasi dan tak adanya meritokrasi. Dengan demikian, sulit berharap muncul calon-calon pemimpin politik yang baik dan diharapkan publik. Partai malah sudah seperti badan usaha milik keluarga. Kalaupun ada yang disorongkan menjadi pemimpin atau calon kepala daerah, dia adalah orang yang berada di lingkaran keluarga pendiri partai.
Praktik inilah yang kemudian menyuburkan politik dinasti. Tak ada lagi rasa malu bagi partai dan kandidat ketika pilkada menghadirkan kotak kosong. Padahal fenomena kotak kosong sesungguhnya penghinaan bagi partai politik.
Celakanya, masyarakat juga segendang sepenarian dengan partai. Kemenangan semua calon tunggal pada pilkada 2020 menunjukkan tidak adanya daya kritis publik terhadap praktik ganjil ini.
Rakyat bisa saja melawan fenomena calon tunggal dengan pelbagai cara. Bahkan Undang-Undang Pilkada memberi celah ketentuan calon tunggal tak bisa dilantik kalau suara sah tak melebihi 50 persen alias kotak kosong yang menang. Jika ini terjadi, partai politik benar-benar dipermalukan. Kemenangan kotak kosong akan menampar para politikus dan partai yang selama ini menjadikan pilkada semata-mata urusan kekuasaan.
Kemenangan Kotak Kosong
Kemenangan kotak kosong pernah terjadi di Indonesia. Peristiwanya terjadi dalam pemilihan Wali Kota Makassar 2018 yang menghadirkan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi Yustita Iqbal. Pasangan ini disokong koalisi partai yang mengontrol 43 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Makassar atau setara dengan 86 persen jumlah kursi.
Namun kekuatan tersebut ternyata tak memberikan jaminan kepada mereka. Faktanya justru kotak kosong yang menang. Perolehan suara kotak kosong sebanyak 300.795 (53,23 persen), sedangkan calon tunggal memperoleh suara sebanyak 264.245 (46,77 persen). Selisih suara antara kotak kosong yang menang dan calon tunggal adalah 36.898 suara.
Peristiwa ini memberi pelajaran berharga bahwa rakyat punya hak dan otoritas untuk menentukan pilihan. Kemenangan kotak kosong menjadi semacam alarm bagi partai dan elite politik bahwa aspirasi penolakan terhadap calon tunggal bukan hal yang mustahil terjadi. Namun sayang kemenangan kotak kosong sama sekali tak terulang dalam pilkada serentak 2020. Justru yang terjadi adalah 25 calon tunggal menang melawan kotak kosong. Bahkan sebagian besar perolehan suaranya di atas 60 persen.
Pilkada 2020 menjadi musim kemenangan calon tunggal. Situasi ini jelas mencemaskan. Apalagi ada pandangan yang muncul kemudian bahwa jika hendak menang mudah, jadilah calon tunggal. Sekali lagi, ini adalah alarm bahaya bagi demokrasi.
Pilkada 2024 semestinya menjadi momentum bagi rakyat untuk bisa melawan calon tunggal dengan kekuatan suaranya di bilik pemilihan. Berharap partai mau mengintrospeksi diri atas fenomena calon tunggal jelas tak masuk akal. Hal ini ibarat menegakkan benang basah. Karena itu, rakyat bisa mengubah centang perenang ini dengan bersikap menolak keberadaan calon tunggal menggunakan hak memilihnya.
Memenangkan kotak kosong, kalau ini terjadi di sebagian besar daerah yang kontestasinya menghadirkan calon tunggal, akan memberikan efek jera yang luar biasa. Kandidat dan partai akan merasa dipermalukan. Kemenangan kotak kosong yang serentak akan memberikan pesan bahwa rakyat sudah muak akan calon tunggal.
Senyampang dengan itu, aturan mengenai batas ambang partai bisa mengajukan calon kepala daerah diturunkan, tak sebesar seperti saat ini. Dalam pilkada sebelumnya, ada beberapa partai abstain atau memilih bergabung mendukung calon tunggal karena tak memenuhi ambang batas parlemen.
Dengan menurunkan ambang batas pencalonan, terbuka peluang bagi partai-partai tertentu, baik sendiri maupun gabungan, mengusung kandidat sehingga menghindari munculnya calon tunggal. Batas ambang yang besar justru akan memunculkan koalisi besar yang cenderung menjadi kartel politik.
Tak kalah penting, wacana pemberian penalti kepada partai yang tidak mengajukan calon juga perlu digulirkan kembali. Penaltinya adalah partai politik yang tidak mengajukan calon dilarang mengusung kandidat pada pemilihan kepala daerah berikutnya. Gagasan ini bukan hanya untuk menangkal calon tunggal, tapi juga menjadi dorongan bagi partai untuk membenahi proses kaderisasi sehingga mampu melahirkan calon-calon pemimpin yang sesuai dengan harapan publik.
Perang melawan calon tunggal tidak hanya penting bagi kehidupan demokrasi di negeri, tapi juga sebagai upaya melahirkan sistem pemilihan pemimpin dengan kompetisi yang sehat. Calon kepala daerah yang menang melawan kotak kosong hanya akan melanggengkan dinasti politik dan pemerintahan yang sarat praktik korupsi.