Perlawanan Kampus Kian Masif Mengkritik Jokowi
Kampus kian masif mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi. Perlawanan menjelang pemungutan suara pemilu.
JAKARTA – Pesan melalui aplikasi WhatsApp di telepon seluler Susi Dwi Harijanti menjadi awal mula lahirnya gerakan “Seruan Padjadjaran”. Pesan tersebut dikirim Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran (Unpad) Arief Anshory pada Jumat, 2 Februari 2024.
Dalam pesan tersebut, Arief menanyakan kepada guru besar hukum tata negara ini ihwal langkah Unpad dalam merespons situasi demokrasi dan dinamika politik yang terjadi akhir-akhir ini. "Saya jawab, ya, mesti segera bersikap. Saya sampaikan rencana seruan ini ke grup WhatsApp Guru Besar. Dan ternyata respons mereka antusias," kata Susi saat dihubungi Tempo pada Ahad, 4 Februari 2024.
Baca juga:
Susi bercerita, setelah mendapat respons yang positif dari forum guru besar, ia kemudian berbagi tugas dengan Arief. Forum guru besar juga mendiseminasikan seruan pergerakan ini kepada kalangan mahasiswa. “Hasilnya semua antusias, termasuk rektor mendukung,” ujarnya. Seruan dengan tema “Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika, dan Bermartabat” ini lahir setelah gerakan serupa yang dilakukan di sejumlah kampus, seperti di Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Khairun Ternate, dan Universitas Lambung Mangkurat.
Sikap bersama guru besar dan dosen di depan gedung Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 3 Februari 2024. TEMPO/Prima mulia
Menurut Susi, seruan ini lahir dari rasa keprihatinan civitas academica Unpad terhadap kondisi demokrasi Indonesia yang menurun selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beberapa di antaranya, skor indeks persepsi korupsi yang stagnan, dikabulkannya putusan uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh Mahkamah Konstitusi yang dinilai cacat etik, hingga penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Jokowi dalam proses kontestasi elektoral. “Keprihatinan kami mendorong lahirnya seruan yang murni dari perasaan dan hati ini,” ucapnya.
Putusan uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 merupakan putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggengkan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto. Gibran adalah anak sulung Presiden Jokowi. Putusan Mahkamah Konstitusi diputuskan dengan dissenting opinion oleh hakim konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Jokowi atau paman Gibran.
Sebelum Unpad menyampaikan seruannya, civitas academica UGM sejatinya sudah menyampaikan rasa keprihatinan dan teguran terhadap Presiden Jokowi melalui petisi yang dinamai Petisi Bulaksumur. Dalam petisi yang dibacakan pada 31 Januari 2024, para guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumnus UGM menegur Jokowi sebagai bagian dari keluarga besar UGM. Jokowi adalah alumnus UGM dari fakultas kehutanan.
Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memberikan pernyataan sikap mengawal demokrasi Indonesia di kampus UMY, Bantul, D.I Yogyakarta, 3 Februari 2024. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Civitas academica UGM mengkritik sejumlah peristiwa dugaan penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Mereka menyinggung pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi yang meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto hingga dugaan keterlibatan aparat dalam proses Pemilu 2024.
Keluarga besar UGM mendesak Jokowi menunaikan janji almamaternya, yaitu menjunjung tinggi Pancasila dan mewujudkan nilai-nilai di dalamnya. Jokowi dan pejabat negara di belakangnya dalam isi Petisi Bulaksumur didesak segera kembali pada koridor demokrasi dan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan serta keadilan sosial. “Saya bangga UGM mampu menguasai negeri ini. Hingga ada peristiwa yang membuat semuanya berbalik arah sehingga kami harus menyampaikan petisi ini sebagai peringatan,” ujar guru besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro, membacakan petisi di Balairung UGM, DI Yogyakarta.
Berselang satu hari setelah Petisi Bulaksumur disampaikan, gerakan serupa menggelinding ke beberapa kampus lain di Tanah Air. Universitas Khairun Ternate dan Universitas Islam Indonesia, misalnya, mengkritik pemerintahan Jokowi yang dianggap menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk cawe-cawe dalam proses kontestasi elektoral 2024. Di kampus UII, petisi yang dinamai Petisi Indonesia Darurat Kenegarawanan mendesak Jokowi bersikap netral dan adil dalam mengawal Pemilu 2024, termasuk tidak mempolitisasi pemberian bantuan sosial yang masif digelontorkan saat masa kampanye.
Civitas academica UII juga mendesak pejabat negara yang menjadi bagian dari tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden mundur dari jabatannya guna menghindari konflik kepentingan. Tidak terkecuali dengan DPR, dalam petisinya, UII mendesak Senayan aktif menjalankan fungsi pengawasan dan memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan koridor konstitusi serta hukum.
Gerakan yang dilakukan UGM, UII, dan Universitas Khairun Ternate ini memicu masifnya gerakan serupa di kampus lainnya. Universitas Andalas, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Indonesia, dan sejumlah kampus lainnya menyampaikan seruan serta kritik terhadap pemerintahan Jokowi.
Dewan Guru Besar UI yang dipimpin Harkristuti Harkrisnowo melalui deklarasi bertajuk “Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali” menyampaikan keprihatinan terhadap hancurnya tatanan hukum dan demokrasi di Tanah air.
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo (kedua kanan depan) serta sejumlah jajaran Sivitas Akademika UI saat menyampaikan deklarasi kebangsaan kampus perjuangan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 2 Februari 2024. ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Gerakan Kampus Sepekan Ini
UI menyoroti kondisi dan dinamika politik yang dituangkan dalam empat poin. Sejumlah poin itu di antaranya adalah mengutuk segala tindakan yang menindas kebebasan berekspresi; menuntut terselenggaranya pemilu dengan bersih tanpa adanya intimidasi dari aparat dan penyelenggara negara; serta menyerukan agar mengawasi dan mengawal pelaksanaan proses pemilu, khususnya pada proses pemungutan dan penghitungan suara demi menjaga muruah demokrasi. Gerakan ini terus meluas ke sejumlah kampus lain, seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Islam Malang, dan Universitas Sriwijaya.
Selama sepekan mendatang, gerakan perlawanan kampus makin masif, yang tampak gencar melalui tayangan gambar yang beredar di media sosial. Pada Senin ini, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Universitas Brawijaya turut melakukan gerakan serupa.
Pengajar STF Driyarkara, Setyo Wibowo, membenarkan ihwal kegiatan yang bakal dilakukannya pada hari ini. Gerakan bertajuk “Seruan Jembatan Serong II”, kata Setyo, merupakan seruan lanjutan dari gerakan yang sempat dihelat pada November 2023. “Ini suara hati mahasiswa dan kami yang sama-sama prihatin terhadap sikap Jokowi dan situasi politik saat ini,” katanya, kemarin.
Setyo bercerita, seluruh civitas academica STF Driyarkara menyambut baik gerakan perlawanan kampus yang kian masif terjadi ini. Menurut dia, keterlibatan kampus dalam merespons situasi politik dan demokrasi negara yang memprihatinkan adalah suatu upaya untuk mengembalikan kampus kepada khitahnya. “Gerakan kampus yang berwatak kritis akan lahir ketika melihat terjadinya penyimpangan,” ujar Setyo. “Sehingga ini perlu disyukuri.”
Putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggengkan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden hingga nirkonsistensi Jokowi dalam netralitas menjadi titik awal masifnya gerakan perlawanan kampus. Dalam sepekan ke depan, tercatat sejumlah kampus lainnya terjadwal bakal melakukan gerakan serupa. Kampus tersebut di antaranya, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa pada 6 Februari; Universitas Trunojoyo pada 7 Februari; dan Universitas Sanata Dharma pada 12 Februari.
Adapun Presiden Jokowi menanggapi ramainya kritik dari civitas academica berbagai kampus kepada dirinya. Dia menyatakan hal tersebut merupakan hak masing-masing orang untuk mengeluarkan pendapat. "Ya, itu hak demokrasi,” kata Jokowi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu, 3 Februari 2024, seperti disiarkan melalui keterangan video Sekretariat Presiden. Menurut Jokowi, sikap yang disampaikan para civitas academica itu tetap harus dihargai sebagai kritik.