Perlawanan dari Kampus di Tiga Orde
Petisi Bulaksumur mengawali menggemanya gerakan perlawanan kampus. Inilah perlawanan kampus dari Orde Lama hingga Reformasi.
JAKARTA – Sejumlah akademikus dan mahasiswa terus menyuarakan kritik dan keresahan mereka terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo di tengah kontestasi Pemilihan Umum 2024. Gelombang perlawanan dari sejumlah kampus menggema. Mereka menyatakan prihatin terhadap kondisi demokrasi dan politik belakangan ini.
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Setyo Wibowo, mengatakan kampusnya bakal menggelar pernyataan sikap dan tuntutan terhadap kondisi demokrasi saat ini. Aksi tersebut bertajuk “Seruan Jembatan Serong II”. Aksi serupa dihelat pada November lalu dengan melibatkan sejumlah pegiat demokrasi.
Baca juga:
Setyo mengatakan “Seruan Jembatan Serong II” ini merujuk pada lokasi kampus STF Driyarkara yang berdomisili di dekat Jembatan Serong, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan aksi perlawanan civitas academica dan alumni STF Driyarkara untuk merespons dugaan ketidaknetralan dan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam proses Pemilu 2024. “Gerakan kampus yang berwatak kritis lahir ketika melihat sesuatu yang menyimpang,” ujar Setyo saat dihubungi Tempo pada Ahad, 4 Februari 2024.
Gerakan perlawanan dari kampus sejatinya memiliki rekam jejak yang panjang. Dari rezim ke rezim, gerakan perlawanan kampus selalu mewarnai proses menjaga dan merawat demokrasi hingga menumbangkan kekuasaan. Gerakan kampus untuk pertama kali lahir pada rezim demokrasi terpimpin pada era 1960-an.
Kala itu gerakan mahasiswa dipicu oleh percobaan kup atawa kudeta yang tidak lama usianya. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding menjadi dalang percobaan kup tersebut kemudian mendapat sentimen dari masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa.
Sukarno, Presiden pertama Republik Indonesia, pun tidak luput menjadi sasaran perlawanan mahasiswa. Kedekatan Sukarno dengan PKI dan hadirnya petinggi PKI di kabinet pemerintahan Sukarno direspons oleh perlawanan gerakan mahasiswa. Lima bulan setelah peristiwa Gerakan 30 September, Sukarno memutuskan untuk mengocok ulang kabinetnya. Namun langkah ini tidak disambut baik oleh mahasiswa. Mereka bergerak memadati jalan raya untuk menggagalkan pelantikan menteri baru di kabinet Sukarno.
Berkumpulnya mahasiswa di jalan-jalan dan tempat strategis di Ibu Kota kala itu mendapat respons represif dari milisi pengawal Sukarno, yaitu pasukan Tjakrabirawa. Hari itu, 24 Februari 1966, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rachman Hakim, tewas terkena timah panas. Tidak pernah terungkap dari mana peluru yang menumbangkan Arief itu ditembakkan, meski sejarah menyebutkan berasal dari milisi Tjakrabirawa.
Tewasnya Arief menjadi martir gerakan perlawanan kampus untuk melengserkan Sukarno. Masifnya gerakan perlawanan untuk menggulingkan rezim Sukarno dimanfaatkan militer. Tidak lebih dari satu bulan, militer, melalui Jenderal Soeharto, merebut kekuasaan Sukarno dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Rezim pemerintahan Sukarno yang dikenal dengan sebutan Orde Lama lalu berganti menjadi Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto pada 1967.
Orde Lama ke Orde Baru
Gerakan perlawanan kampus kembali bergejolak setelah Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Gerakan kampus mulai terorganisasi dan menyatu dengan masyarakat sipil selalu direspons dengan tindakan respresif militer. Rentetan peristiwa penculikan aktivis mahasiswa mewarnai proses gerakan perlawanan ini.
Mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI di Jakarta, Mei 1998. TEMPO/DR/Rully Kesuma
Puncaknya terjadi pada Mei 1998. Saat itu, civitas academica Universitas Trisakti tengah menggelar aksi mimbar bebas di halaman kampus. Mereka menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi dan situasi politik di era Orde Baru pimpinan Soeharto. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan pembungkaman bereskpresi merajalela.
Beberapa jam setelah menggelar mimbar bebas, mahasiswa Universitas Trisakti berencana melanjutkan aksinya di depan gedung parlemen. Tapi rencana aksi di depan gedung MPR/DPR kala itu disambut dengan tindakan respresif aparat.
Hari itu, 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat. Korban tewas dari kalangan mahasiswa juga terjadi di Yogyakarta. Empat hari sebelumnya, di Jalan Gejayan, seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma ditemukan tewas setelah aksi demonstrasi berjalan ricuh. Tewasnya para mahasiswa itu menjadi martir gerakan perlawanan kampus. Pada 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden setelah berkuasa selama 32 tahun.
Tampuk pemerintahan diberikan kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Orde pun berganti dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi. Satu tahun berselang, gerakan perlawanan kampus kembali bergejolak. Mereka menolak sidang MPR untuk menentukan proses pemilu, adanya dwifungsi militer dalam pemerintahan, serta Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta berkumpul di Universitas Atma Jaya, Jakarta, sebelum memutuskan menggelar mimbar bebas di depan gedung parlemen. Namun aksi mereka lagi-lagi direspons dengan tindakan represif aparat.
Tindakan represif aparat itu menyebabkan sejumlah mahasiswa tewas, di antaranya mahasiswa Universitas Atma Jaya Bernardus Realino Norma Irawan dan mahasiswa Universitas Indonesia Yap Yun Hap. Peristiwa ini menjadi martir gerakan kampus dan sempat mengguncang pemerintahan B.J. Habibie.
#Reformasi Dikorupsi
Dua puluh satu tahun pasca-reformasi, gerakan perlawanan kampus kembali pecah. Terjadi konsolidasi di kampus-kampus dengan aksi turun langsung di lapangan. Gerakan kampus ini menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan rancangan undang-undang lainnya, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) saat menggelar aksi unjuk rasa mengkritik tujuh tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo,.di kawasan Patung Kuda, Jakarta, 21 Oktober 2021. TEMPO/Subekti.
Masifnya gerakan perlawanan kampus mencapai puncaknya pada 24 September 2019. Gerakan ini mendesak Jokowi menunda pengesahan revisi UU tersebut. Setahun berselang, gerakan perlawanan kampus masih bergejolak hingga di media sosial. Muncul gerakan dengan tanda pagar atau tagar #Reformasidikorupsi.
Forum mahasiwa dan akademikus dari 67 perguruan tinggi berkeberatan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Guru besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengatakan civitas academica berkeberatan atas undang-undang tersebut lantaran disahkan dalam proses yang singkat dan minim partisipasi publik. “Wajar kampus melawan karena gerakan ini lahir dari perasaan dan hati,” ucapnya.
Gerakan perlawanan kampus terus menggema setelah dua tahun pengesahan UU Cipta Kerja. Sejumlah akademikus menyatakan prihatin terhadap kualitas demokrasi yang menurun dan sikap Jokowi yang disinyalir partisan terhadap salah satu kontestan Pemilu 2024.
Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi memberi peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, melenggang dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Presiden pun terang-terangan menyatakan boleh berpihak dan berkampanye. Sikap ini dinilai ambigu karena sebelumnya dia meminta aparatur sipil negara bersikap netral.
Sikap politik Jokowi itu menuai kritik yang meluas. Pada pengujung Januari, sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada menyampaikan Petisi Bulaksumur. Dalam petisi tersebut, mereka menegur Jokowi ihwal tindakan-tindakan yang menyimpang yang terjadi pada masa pemerintahannya. Gerakan ini meluas dan diikuti oleh sejumlah kampus, seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Andalas, dalam pekan ini hingga pekan-pekan mendatang.
Susi Dwi Harijanti mengatakan gerakan perlawanan di Universitas Padjadjaran yang dinamai “Seruan Padjajaran” ini lahir sebagai bentuk keprihatinan kampus terhadap dinamika dan kondisi demokrasi saat ini, misalnya Indeks Persepsi Korupsi yang stagnan dan pernyataan Presiden soal izin berkampanye. “Atau bahkan putusan MK yang meloloskan Gibran. Ini semua bukti bagaimana demokrasi kita tengah dihancurkan."
Seruan perlawanan Universitas Padjadjaran dan kampus lainnya, kata Susi, lahir untuk mempertahankan demokrasi dan mengawal proses pemilu berjalan secara bersih. Para guru besar mendesak Jokowi dan sejumlah pejabat negara lainnya menjunjung tinggi etika dan norma hukum yang bersandar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. “Presiden dan elite politik harus menjadi contoh kepatuhan terhadap hukum dan etika,” ujarnya. Susi menambahkan, pemerintah beserta aparaturnya harus hadir sebagai pengayom, penjaga, dan fasilitator pelaksanaan demokrasi yang sedang berlangsung agar integritas dan martabat demokrasi tetap terjaga.
ANDI ADAM FATURAHMAN