Agar Tak Salah Pilih Calon Presiden
Berikut ini panduan untuk membaca janji kampanye calon presiden secara kritis agar pemilih pemula tak terbuai angin surga.
Memasuki masa kampanye Pemilu 2024, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) membanjiri publik dengan janji-janji politik lewat visi-misinya.
Capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, menjanjikan penambahan kuota haji hingga pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Sedangkan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, antara lain, mendorong penghiliran dalam bidang ekonomi dan dana abadi pesantren. Pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud Md., juga menjanjikan banyak hal, terutama distribusi pupuk dan pembangunan desa.
Dengan banyaknya paparan janji yang diterima publik, bagaimana caranya agar pemilih, terutama pemilih pemula yang belum punya pengalaman memilih, dapat menilai janji-janji tersebut secara kritis?
Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur Jakarta di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
1. Lihat rekam jejak calon (track record)
Sifat politik praktis sebagai arena dan proses negosiatif dengan tujuan utama meraih kekuasaan serta mempertahankannya membuat janji-janji politik jadi tidak pasti.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memprediksi nasib janji-janji politik adalah melihat rekam jejak calon. Dalam hal ini, para pemilih perlu melihat track record sikap, pandangan, dan kebijakan yang pernah diambil pasangan capres-cawapres.
Lihat bagaimana Anies, misalnya, ketika memimpin Kementerian Pendidikan dan Budaya (2014-2016), menjadi Gubernur DKI Jakarta, serta menjabat Rektor Universitas Paramadina (2007-2015). Lihat juga bagaimana kebijakan Gibran ketika menjadi Wali Kota Solo (2021-sekarang), atau bagaimana Ganjar ketika menjadi Gubernur Jawa Tengah (2013-2023).
Gagasan apa yang terlontar dan praktik baik apa yang dijalankan mereka selama periode tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita jadikan modal untuk memprediksi apakah janji yang ditawarkan sekarang berpeluang untuk terpenuhi atau tidak.
2. Cek sikap politik tokoh dan partai pendukung
Cara lain menilai janji-janji pemilu adalah meninjau sikap politik para tokoh dan partai penyokong ketiga pasangan capres-cawapres. Produk kebijakan apa yang didukung dan diperjuangkan mereka? Adakah kebijakan yang benar-benar memihak publik?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pendukung utama pasangan calon nomor urut 3, misalnya, selama berkuasa di parlemen mendukung penghapusan ujian nasional.
Adapun pada 2019, lima partai, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai NasDem, menjadi pengusul revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang justru berisiko melemahkan lembaga antikorupsi.
Tinjauan sikap politik ini dapat dilakukan tidak hanya di level legislatif, tapi juga eksekutif. Kita bisa melihat bagaimana sikap pemerintah pusat ataupun daerah, yang dalam beberapa kasus memunculkan kebijakan kontroversial, seperti jam masuk sekolah pukul 05.00 Wita di Nusa Tenggara Timur, ajakan minum arak pada pagi dan malam, dan salat berjemaah berhadiah.
Data dan fakta track record tersebut lebih bisa kita jadikan bahan pertimbangan daripada slogan dan jargon partai.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kiri) di Pemprov Jawa Tengah, 2023. ANTARA/HO-Humas Pemprov Jateng
3. Gunakan rasio, bukan emosi
Namun tetap perlu diingat bahwa di Indonesia batas ideologis antar-partai sering tidak jelas. Partai-partai cenderung mengutamakan kepentingan politik praktis.
Partai yang mengklaim ideologinya kerakyatan, misalnya, pada praktiknya bisa membiarkan mekanisme pasar bebas (neoliberalisme) menguasai pendidikan tinggi (sebagaimana temuan riset saya pada 2016 dan 2022).
Selain itu, perubahan situasi dan pergeseran relasi kuasa merupakan praktik lazim dalam politik Indonesia. Karena itu, rekam jejak juga perlu dipahami keterbatasannya. Hal ini sesuai dengan temuan riset Christian Staerklé, peneliti dari University of Lausanne, Swiss, tentang psikologi politik. Artinya, tetap ada kemungkinan capres-cawapres terpilih tidak melakukan hal-hal sesuai dengan track record mereka.
Karena itu, setelah melihat track record serta mengecek sikap politik tokoh dan partai pendukung, pemilih perlu mengutamakan pertimbangan rasional-ilmiah ketimbang sikap suka atau tidak suka secara subyektif.
Caranya adalah mengkaji secara kritis janji-janji yang terlontar. Janji politik, seperti makan siang dan minum susu gratis di sekolah, satu keluarga miskin satu sarjana, serta dana desa Rp 5 miliar, perlu direspons dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, dananya dari mana? Dana yang diambil apakah akan mengurangi alokasi dana lain? Program mana yang akan diprioritaskan? Prediksi dampaknya seperti apa?
Pertimbangkan juga apakah perumusan janji-janji politik tersebut menggunakan pendekatan ilmiah atau lebih kepada usaha untuk meraup suara belaka. Mengingat pilihan kita menentukan bagaimana negara ini dijalankan setidaknya dalam lima tahun ke depan, para pemilih perlu mencermati serta memahami mana janji-janji yang realistis dan mana yang tidak.
Dengan membaca janji-janji politik capres-cawapres secara kritis dan rasional, pemilih tidak sekadar menjadi obyek pasif sasaran untuk meraih suara, melainkan pelaku aktif yang berkontribusi dalam keberlangsungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.
---
Artikel ini ditulis oleh Edi Subkhan, dosen Fakultas Psikologi dan Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Terbit pertama kali di The Conversation.