JAKARTA – Pakar epidemiologi masih ragu akan klaim hasil sementara uji klinis vaksin Nusantara. Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai bahwa riset vaksin tersebut harus dilihat dari kelayakan dari sisi waktu, teknologi, ekonomi, dan efektivitasnya dalam pengendalian pandemi. “Proses penelitian vaksin ini juga terkesan diam-diam dan tidak transparan,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Kabar pengembangan vaksin Nusantara berembus setelah kunjungan mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi, Semarang, pekan lalu. Vaksin Nusantara disebut-sebut merupakan kerja sama Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, RSUP Dr Kariadi, Universitas Diponegoro, bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat.
Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, di Jakarta, 22 Januari 2020. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Vaksin Nusantara menggunakan teknologi sel dendritic, yang biasa dipakai dalam terapi penyakit kanker. Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, mengklaim bahwa vaksin Nusantara dapat memicu antibodi seumur hidup. Vaksin Nusantara telah merampungkan uji klinis fase pertama. Tim peneliti vaksin mengklaim bersiap menggelar uji klinis fase kedua. Tim juga tengah menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dapat melanjutkan penelitiannya.
Anggota tim peneliti vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, mengatakan, pada pengamatan singkat selama empat pekan terhadap 27 subyek dalam penelitian fase pertama, terjadi peningkatan antibodi pada subyek. Menurut dia, vaksin Nusantara minim efek samping karena berasal dari sel yang diambil dari tubuh subyek.
Penelitian fase kedua, kata dia, bakal melibatkan 180 subyek. “Itu juga akan meneliti keamanan ditambah pengaturan dosis dan efikasi,” ujar Yetty, Kamis pekan lalu. Kemudian, dia melanjutkan, penelitian fase ketiga melibatkan 1.600 subyek sekaligus menguji khasiat serta efek samping vaksin.
Menurut Yetty, semua proses vaksinasi memerlukan waktu sepekan, yang meliputi pengambilan sel dendritic dari darah subyek dan pengenalan dengan antibodi SARS-CoV-2. Hasilnya kemudian disuntikkan kembali ke tubuh subyek. Semua subyek yang terlibat dalam pengembangan vaksin Nusantara telah melewati penyaringan ketat.
Ihwal perkembangan penelitian vaksin Nusantara, tim peneliti enggan mengungkapkan lebih lanjut. “Untuk sementara, atas permintaan ketua tim peneliti, (kami) tidak melayani wawancara dulu,” kata juru bicara RSUP Dr Kariadi, Semarang, Parna, kemarin.
Dicky menyatakan vaksin yang menggunakan sel dendritic tidak layak karena bersifat individualistis. Selain itu, kata dia, vaksin yang menggunakan sel dendritic itu mahal lantaran untuk penggunaan pada terapi kanker juga mahal. Dengan begitu, untuk dipakai sebagai pengendalian pandemi sangat tak efektif. Menurut Dicky, untuk situasi di Indonesia, diperlukan teknologi yang sudah dikenal dari aspek keamanan, kecepatan produksi, dan kualitas, seperti vaksin yang dikembangkan Bio Farma yang memakai bahan baku dari Sinovac.
Dicky berharap Kementerian Kesehatan serta BPOM tak membiarkan hal ini. Dia juga meminta pemerintah bersikap tegas demi mencegah efek yang berpotensi merugikan dunia ilmiah dan masyarakat. “Karena ada harapan semu. Klaim berlebihan juga,” ujar dia.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban, menilai bahwa klaim yang menyatakan vaksin Nusantara bisa memicu antibodi seumur hidup masih terlalu dini. Dia mengatakan belum menemukan laporan di jurnal mengenai uji klinis tahap pertama. “Apalagi fase kedua, saya juga belum bisa mencari datanya. Ini klaim yang terlalu dini,” kata dia saat dihubungi Tempo.
Petugas kesehatan melaksanakan uji klinis fase ketiga vaksin Covid-19, Sinovac, di Klinik Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 8 September 2020. TEMPO/Prima Mulia
Guru besar Universitas Indonesia ini menegaskan, setiap penelitian tentang vaksin Covid-19 selalu dia dukung. Namun bukti ilmiah juga diperlukan dalam penelitian vaksin. Ia mengatakan, dalam ilmu kedokteran, tidak dapat membuat kesimpulan hanya berdasarkan logika, melainkan harus menggunakan bukti ilmiah. Dengan begitu, kata dia, bukti ilmiah yang menyatakan vaksin Nusantara dapat memicu antibodi seumur hidup juga perlu dibuktikan.
Sebagai pembanding, ia mencontohkan, para ahli vaksin Moderna dan Pfizer menyatakan belum bisa memprediksi berapa lama daya tahan dari kedua vaksin yang mereka produksi. Ia mengimbuhkan, mengetahui daya tahan antibodi vaksin Covid-19 sejauh ini masih merupakan hal yang sulit. “Data penelitiannya belum dipublikasikan, tapi kok sudah mengklaim bisa bertahan seumur hidup,” ujar Zubairi.