JAKARTA – Kementerian Kesehatan menyatakan vaksin Nusantara bisa saja akan diikutsertakan dalam program vaksinasi nasional jika sudah memenuhi berbagai persyaratan. Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan institusinya memberikan dukungan kepada penelitian ini. “Bentuk dukungannya adalah rapat serta surat rekomendasi bila diperlukan,” kata Nadia ketika dihubungi, kemarin.
Nadia tidak merinci rapat atau surat rekomendasi seperti apa yang dikeluarkan Kementerian dalam mendukung vaksin Nusantara ini. Ia menyatakan tidak ada syarat untuk Kemenkes mendukung suatu inovasi anak bangsa.
Nadia menuturkan vaksin Nusantara masih dalam ranah penelitian dan pihaknya tentu mendukung inovasi anak bangsa. Maka, ketika tahapan uji klinis lolos, rekomendasi para ahli terbit, dan publikasi internasional telah dilakukan, dimungkinkan vaksin ini digunakan dalam program vaksinasi pemerintah. “Bisa saja (dimasukkan ke program vaksinasi) jika sudah terbukti aman, halal, dan berkhasiat, serta ada rekomendasi ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization),” kata dia.
Tenaga kesehatan menunjukan stiker dari vial vaksin Covid-19 Sinovac di Sabuga, Bandung, Jawa Barat, 3 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pada Jumat lalu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kesehatan Kementerian Kesehatan, Slamet, mengatakan lembaganya turut membiayai uji klinis vaksin Nusantara. Namun ia tidak merinci besaran dana yang dikucurkan oleh pemerintah untuk penelitian vaksin tersebut. “Iya, kami membiayai fase pertama,” kata Slamet dalam acara diskusi daring.
Slamet menyatakan bantuan dana itu diberikan sebagai bentuk dukungan atas upaya menekan penyebaran Covid-19. Kementerian juga mengevaluasi dan ikut memantau hasil uji klinis vaksin Nusantara, tapi belum bisa memastikan penggunaan vaksin Nusantara bagi masyarakat lantaran memerlukan rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau ITAGI.
Vaksin Nusantara merupakan hasil kerja sama Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi, Universitas Diponegoro, bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat. Eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto berperan menginisasi penelitian ini.
Vaksin Nusantara menggunakan teknologi sel dendritik yang biasa dipakai dalam terapi penyakit kanker. Lantaran dipakai pada terapi kanker, teknologi vaksin Nusantara yang memakai sel dendritik dapat dibuat untuk mengobati individu, tapi dirasa tidak cocok untuk program vaksinasi massal. Terawan Agus Putranto mengklaim bahwa vaksin Nusantara dapat memicu antibodi seumur hidup.
Anggota Komisi Kesehatan DPR, Darul Siska, mengatakan, dari uji klinis tahap pertama kepada 30 orang, vaksin Nusantara terbukti aman. Ia melihat tidak ada dampak apa-apa kepada para relawan uji klinis tahap pertama. “Menurut saya, sejauh penelitian vaksin ini memenuhi kaidah ilmiah dan dinyatakan lulus oleh Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), maka itu layak digunakan,” kata Darul kepada Tempo, kemarin.
Darul Siska merupakan satu di antara sejumlah anggota Komisi IX DPR yang melakukan kunjungan kerja ke Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang pada Selasa pekan lalu. Ia bersama Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Laka Lena, memantau penelitian vaksin Nusantara di rumah sakit itu.
Tenaga kesehatan menunjukan stiker dari vial vaksin Covid-19 Sinovac di Sabuga, Bandung, Jawa Barat, 3 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Menurut Darul, pemerintah memiliki keterlibatan besar dalam program ini melalui keterlibatan Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan. Setelah melihat langsung penelitian vaksin itu, ia merasa inovasi seperti ini harus didukung guna mengurangi penggunaan vaksin impor. “Vaksin itu yang penting bermutu, aman, berkhasiat. Kalau ketiga kriteria itu dipenuhi, boleh saja jadi salah satu pilihan vaksinasi agar masyarakat imun dari Covid-19,” ucap Darul.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan vaksin Nusantara juga memiliki prospek yang bagus. Meski demikian, pemberian vaksin kepada masyarakat di tahap kedua masih akan menggunakan vaksin Sinovac. “Saya sudah dapat laporan dari Pak Terawan sejak beliau masih jadi Menkes. Saya kira prospeknya bagus,” kata dia, Jumat lalu.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan riset vaksin itu harus dilihat tentang kelayakan dari sisi waktu, teknologi, dan ekonomi, serta efektivitas dalam pengendalian pandeminya. Ia menilai vaksin yang menggunakan sel dendritik tidak cocok untuk Indonesia karena bersifat individualistik, sehingga untuk tujuan pengendalian pandemi sangat tak efektif. “Proses penelitian vaksin ini juga terkesan diam-diam dan tidak transparan,” kata Dicky kepada Tempo, kemarin.
FRISKI RIANA | ANT