JAKARTA – Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mendesak pemerintah untuk menggiatkan disiplin protokol kesehatan kepada pengungsi dan relawan gempa bumi di Sulawesi Barat. Windhu berharap para pengungsi dan relawan sadar untuk rajin mengenakan masker, menggunakan pelindung wajah, memakai sarung tangan, serta menjaga jarak ketika sedang bertugas.
Ia paham kondisi di lapangan teramat mendesak dan banyak yang kerap lupa menerapkan protokol kesehatan. "Mereka harus terlindungi dulu. Jangan sampai mereka tertular dan jadi penyebar virus di pengungsian," kata Windhu, kemarin.
Ia meminta pemerintah menerapkan protokol kesehatan ketat di pengungsian. Salah satunya adalah memperhitungkan ventilasi udara yang cukup di dalam tenda pengungsian. Lantas mengatur jarak antar-warga di dalam tenda pengungsian setidaknya antar-anggota keluarga sekitar 1,5 meter.
Selain itu, warga di pengungsian tak boleh berlama-lama di dalam tenda. Mereka harus rajin berada di ruangan terbuka untuk mengurangi risiko penularan virus. Bahkan saat di dalam tenda dilarang mengobrol. "Jadi, faktanya, pemerintah akan butuh biaya lebih besar untuk menyiapkan pengungsian. Tapi itu harus dilakukan untuk menghindari bencana penularan Covid-19," kata Windhu.
Sejumlah anak pengungsi korban gempa bumi mengikuti kegiatan "trauma healing" di lokasi pengungsian Stadion Manakarra Mamuju, Sulawesi Barat, 19 Januari 2021. TEMPO/Iqbal Lubis
Sekitar 300 relawan penanggulangan gempa bumi diduga terjangkit Covid-19. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sulawesi Barat, Safaruddin Sanusi, mengatakan para relawan itu dinyatakan reaktif setelah menjalani tes cepat antigen. "Sebagian dari mereka ada yang mendapatkan perawatan medis, ada yang sudah sembuh, ada yang isolasi mandiri, dan ada yang dipulangkan," kata Safaruddin ketika dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut Safaruddin, pemerintah provinsi sudah menggelar tes cepat antigen untuk relawan tiga hari sekali. Hal itu dilakukan untuk menekan risiko terciptanya kluster Covid-19 di pengungsian.
Bahkan, sesuai dengan aturan, para relawan harus menjalani tes cepat antigen sebelum terjun ke lapangan membantu korban gempa di sejumlah wilayah di Sulawesi Barat. Namun kewajiban tes ini hanya untuk relawan yang berasal dari lembaga, organisasi, serta badan resmi.
Faktanya, masih banyak relawan yang berasal dari komunitas dan tak tercatat oleh pemerintah Sulawesi Barat. Safaruddin maklum para relawan tak resmi itu punya niat baik memberikan pertolongan secara cepat kepada para korban gempa. "Para relawan yang tidak terdaftar itu ada yang mengalami gejala sakit. Setelah dites, ternyata reaktif," kata pria yang menjabat Kepala Dinas Komunikasi Informasi, Statistik, dan Persandian Sulawesi Barat itu.
Pemerintah provinsi khawatir terjadi penularan Covid-19 di pengungsian lantaran para relawan yang reaktif tersebut sudah turun ke lapangan membantu masyarakat. Ditambah lagi, pada hari-hari pertama pasca-gempa berkekuatan magnitudo 6,2 itu, masyarakat berkumpul di sejumlah titik pengungsian. "Saat itu kami agak susah menerapkan protokol kesehatan karena masyarakatnya banyak dan fasilitasnya minim, termasuk tes cepat," kata Safaruddin.
Menurut Safaruddin, saat ini jumlah pengungsi di sejumlah wilayah Sulawesi Barat sudah menurun. Sebab, pemerintah sudah mengimbau masyarakat yang rumahnya mengalami kerusakan kecil dan sedang untuk pulang. "Kurang-lebih setengah dari pengungsi sudah kembali ke rumah," kata Safaruddin.
Kini, pemerintah provinsi dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 bisa lebih leluasa menerapkan protokol kesehatan ketat di lokasi pengungsian. Termasuk menjaga jarak antar-warga hingga mewajibkan rutin cuci tangan.
Selain itu, pemerintah provinsi akan melakukan upaya pengetesan dan pelacakan terhadap masyarakat di pengungsian yang mengalami gejala Covid-19. Sayangnya, Safaruddin belum mengantongi informasi berapa jumlah warga yang tertular Covid-19 dari barak pengungsian.
Sabtu lalu, Gubernur Sulawesi Barat Ali Baal Masdar meminta Bupati Majene dan Mamuju menyiapkan data kebutuhan logistik untuk masyarakat yang terkena dampak gempa. Tujuannya agar pemerintah bisa menyalurkan bantuan secara tepat sasaran untuk masyarakat di pengungsian.
Bupati Majene, Lukman, mengatakan kendala terbesar di wilayahnya adalah kekurangan tenda, fasilitas sanitasi, dan kebersihan lingkungan di sekitar pengungsian. Tak sedikit masyarakat yang mulai terserang penyakit. "Bahkan kemarin ada yang meninggal setelah gempa, tapi bukan akibat gempa, melainkan kondisi yang tidak sehat di pengungsian," kata Lukman.
Sementara itu, Wakil Bupati Mamuju Irwan Pababari mengatakan tantangan di wilayahnya adalah mengajak masyarakat pulang ke rumah masing-masing. Sebab, sebagian warga masih belum merasa aman pulang ke rumah.
Mamuju membutuhkan tenda darurat untuk diberikan kepada masyarakat. Tujuannya, tenda itu bisa dipasang di depan rumah mereka sebagai antisipasi gempa susulan terjadi. "Ini jadi beban misi bagaimana mengurangi pengungsian dengan memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat," kata Irwan.
INDRA WIJAYA | ANT