Polisi harus mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap saksi ataupun tersangka dalam pemeriksaan. Untuk mendapatkan pengakuan, petugas tidak boleh memaksa, mengancam, apalagi menyiksa seseorang—betapa pun orang itu terindikasi melakukan kejahatan.
Tewasnya Herman, tersangka pencuri telepon seluler, di tahanan Kepolisian Resor Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, membuktikan bahwa praktik penyiksaan oleh polisi masih terjadi. Herman, yang dijemput paksa oleh tiga polisi berpakaian sipil pada awal Desember lalu, pulang tak bernyawa dua hari kemudian dengan tubuh penuh luka. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menduga ada pelanggaran HAM berupa penyiksaan dalam kasus tersebut.
Reformasi kepolisian yang digembar-gemborkan agaknya hanya ada di atas kertas. Setiap tahun dilaporkan masih terjadi puluhan kasus penyiksaan dalam proses hukum. Polisi menjadi aktor paling dominan dalam pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) itu.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat ada 48 kasus kekerasan oleh polisi dari Juli 2019 hingga Juni 2020. Sedangkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendata ada 1.847 korban dari 160 kasus pelanggaran hak untuk mendapatkan peradilan yang adil sepanjang 2019. Padahal pemenuhan hak atas fair trial sangat prinsipil dalam proses penegakan hukum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Pemeriksaan tersangka ataupun saksi di kepolisian sebenarnya telah diatur dengan rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, hingga Undang-Undang Polri. Polisi semestinya mengacu pada sederet aturan tersebut saat menjalankan interogasi. Penyidik juga wajib memperlakukan tersangka secara manusiawi dan memenuhi hak-haknya seperti yang diatur dalam KUHAP, termasuk membuka akses bantuan hukum.
Alih-alih memberikan hak bagi tersangka membela diri, polisi kerap mencari-cari kesalahan mereka, yang terkadang bukan pelaku kejahatan sesungguhnya. Tak mengherankan jika kerap muncul kasus kriminalisasi dan salah tangkap. Ruang tahanan yang berada di bawah pengawasan aparat seakan-akan menjadi neraka bagi tersangka atau siapa pun yang dipaksa menjadi tersangka.
Parahnya, polisi seolah-olah tidak menganggap penyiksaan sebagai sesuatu yang serius. Kasus-kasus semacam ini tidak banyak direspons dengan proses hukum. Laporan dari masyarakat umumnya ditindaklanjuti dengan sidang disiplin dan kode etik yang hukumannya ringan. Padahal kekerasan tersebut telah mengakibatkan korban cacat permanen, trauma, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa.
Dua puluh dua tahun setelah dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Polri seharusnya kian profesional dan berwajah sipil. Untuk berubah, pertama-tama polisi harus sungguh-sungguh menerapkan slogannya sendiri: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Bukan menyiksanya.
*