JAKARTA — Pemerintah Jawa Barat mengganti strategi menghadapi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Kini mereka mulai mengandalkan puskesmas sebagai ujung tombak penanganan wabah.
Untuk mengoptimalkan kebijakan terbaru tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berharap mendapat bantuan dana dari pemerintah pusat. Bantuan tersebut diperlukan karena program penguatan yang diinisiasi Jawa Barat hanya mampu menyentuh 100 puskesmas, sedangkan total jumlah puskesmas di provinsi ini lebih dari seribu unit. Alokasi anggaran untuk 100 puskesmas itu mencapai Rp 80 miliar, yang mampu mendanai program tersebut selama enam bulan.
“Kami mengharapkan dukungan pemerintah pusat karena anggaran kami terbatas, Rp 80 miliar hanya sanggup untuk 100 puskesmas, berarti butuh Rp 800 miliar untuk 1.000 puskesmas," kata Ridwan di Cikarang, kemarin.
Ridwan mengatakan bantuan dana dari pemerintah pusat akan digunakan untuk memperluas cakupan program, misalnya menambah jumlah petugas, sehingga dapat menggenjot pendeteksian, pelacakan, maupun perawatan pasien Covid-19.
Saat ini Jawa Barat menerjunkan tambahan lima petugas di setiap puskesmas yang bekerja secara khusus menangani kasus Covid-19. Mereka ditugaskan pada seratus puskesmas yang tersebar di 12 daerah dengan penularan virus tinggi di Jawa Barat.
Tenaga medis melakukan tes PCR pada pasien dengan gejala Covid-19 di tenda khusus penyakit infeksius Puskesmas Tamblong, Bandung, Jawa Barat, 4 Juni 2020. TEMPO/Prima mulia
Ridwan mengatakan, tanpa langkah strategis tersebut, puskesmas akan semakin kewalahan menangani lonjakan penularan virus. Sebab, fasilitas kesehatan primer ini juga memiliki fungsi pelayanan kesehatan dasar dan promosi kesehatan. Tugas ganda itu yang membuat rasio pelacakan kontak di Jawa Barat hanya menyentuh 4 kontak erat dari 1 kasus positif. Padahal, idealnya, pelacakan kontak fisik terhadap pasien tertular lebih dari 30 orang per setiap kasus yang ditemukan.
Program penguatan puskesmas ini bekerja sama dengan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI)—organisasi nirlaba yang mengadvokasi isu-isu kesehatan masyarakat. Sejak tahun lalu, CISDI menerjunkan 13 relawan dalam program Pencerah Nusantara ke puskesmas-puskesmas di sejumlah provinsi, salah satunya Jawa Barat. Saat ini, program tersebut telah melahirkan 313 warga setempat sebagai kader kesehatan. Mereka membantu pelacakan kasus, penelusuran kontak fisik, dan pendataan kelompok rentan, serta mengedukasi masyarakat tentang protokol kesehatan.
Serupa dengan Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah juga mengandalkan puskesmas untuk menggenjot pelacakan dan pendeteksian kasus di tingkat komunitas. Anggota tim ahli satuan tugas penanganan Covid-19 setempat, Budi Laksono, mengatakan puskesmas yang dikelola pemerintah kabupaten maupun kota terhubung dengan program Jogo Tonggo yang diawasi Pemerintah Provinsi.
Ia mengatakan sejauh ini tenaga kesehatan puskesmas daerahnya cukup berdaya untuk melaksanakan tugas ganda, yaitu menangani wabah dan memberikan pelayanan dasar. Budi Laksono mengklaim, pada Desember tahun lalu, petugas puskesmas se-Jawa Tengah mampu melacak kontak erat hingga 12 ribu orang. Angka tersebut naik dari sebelumnya yang hanya 2.500 orang.
Petugas kesehatan berjalan melewati kamar-kamar pasien positif Covid-19 di sebuah hotel yang dijadikan ruang isolasi di Bandung, Jawa Barat, 27 Januari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Budi Laksono berharap pemerintah pusat dapat memberikan peningkatan kapasitas pelacakan dan manajerial kepada petugas puskesmas agar angka pelacakan terus meningkat. "Kalaupun dibantu dari pusat itu dalam konteks manajerial, motivasi, dan evaluasi. Kuncinya seperti itu," kata dia.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Puskesmas Indonesia, Mustakim Manaf, mengatakan Kementerian Kesehatan seharusnya segera memberi perhatian serius kepada tenaga kesehatan di puskesmas. Sesuai dengan data lembaganya, masih ada puskesmas yang belum melaksanakan kegiatan pemeriksaan, pelacakan, maupun pemantauan pasien isolasi secara optimal. Bahkan ada puskesmas di beberapa daerah yang sudah tidak melakukan pelacakan kontak fisik.
Menurut Mustakim, penanganan Covid-19 di fasilitas kesehatan primer masih jauh dari maksimal karena sebagian besar petugas puskesmas belum mendapat pelatihan yang memadai. "Training and teaching ini kurang sekali. Sampai sekarang ini belum dijalankan," kata dia.
Mustakim juga meminta pemerintah menambah alat pelindung diri bagi petugas puskesmas yang menangani wabah. Sesuai dengan survei lembaganya, perlengkapan pelindung dasar, seperti masker N95, baru diterima oleh 20 persen tenaga kesehatan puskesmas.
Penguatan puskesmas ini sudah diwacanakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Ia menjanjikan puskemas akan menjadi andalan untuk menangani pandemi sekaligus memperbaiki sistem kesehatan nasional. Rencana tersebut masih dalam tahap perbaikan regulasi untuk menjadi dasar penguatan fasilitas kesehatan dasar.
“Kami sedang memperbaiki aturan-aturan yang ada agar peran puskesmas, terutama untuk sisi hulunya, ditingkatkan,” kata Budi Gunadi. Sisi hulu yang dimaksudkan adalah kampanye protokol kesehatan, pelacakan kontak fisik, pendeteksian, dan perawatan pasien.
AHMAD FIKRI (BANDUNG) | ROBBY IRFANY