JAKARTA - Sejumlah pakar epidemiologi memprediksi puncak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia masih jauh. Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan puncak pandemi di Indonesia belum bisa diprediksi lantaran data harian penambahan kasus masih berubah-ubah. "Saat ini kita masih dalam posisi menanjak dan belum ada tanda-tanda kapan mulai mendatar," kata Windhu kepada Tempo, kemarin.
Menurut Windhu, pemerintah harus terus meningkatkan pelacakan kontak dan sistem perawatan terhadap orang yang sakit agar puncak pandemi segera terlewati. Selain itu, ia menuturkan, kedisiplinan warga dalam menerapkan protokol kesehatan perlu ditingkatkan. "Dua hal itu enggak boleh kendur. Kalau kendur, puncak pandemi akan semakin jauh," ujar dia.
Ditanya soal ancaman gelombang kedua pandemi, Windhu mengaku tak bisa memprediksi. Menurut dia, ancaman gelombang kedua akan tampak jika gelombang pertama sudah terlewati. "Puncak gelombang pertama saja belum ada, kok, sudah ngomongin gelombang kedua. Enggak relevan. Nanti kalau gelombang pertama sudah selesai, baru kita pikirkan gelombang kedua," kata dia.
Senada, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan puncak pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum bisa diramalkan. Menurut dia, puncak pandemi akan semakin jauh jika masyarakat tetap tidak berdisiplin menerapkan protokol kesehatan.
Selain itu, Pandu menambahkan, wabah Covid-19 di Indonesia tidak akan segera berakhir jika keseriusan Presiden Joko Widodo dalam mengatasi pandemi tak meningkat. Ia mengatakan Jokowi seharusnya mengambil alih komando Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 seperti di banyak negara lain agar lebih efektif. "Gugus Tugas itu hanya panitia. Semestinya Presiden yang selesaikan secara kenegaraan," katanya.
Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, mengatakan pemerintah belum menerapkan komunikasi krisis yang benar, sehingga publik kesulitan beradaptasi selama masa pandemi. Menurut dia, tata kelola dan transparansi data, termasuk mengatur informasi ihwal Covid-19 yang dilakukan pemerintah, malah membuat publik kebingungan.
"Kegagalan komunikasi risiko dan koordinasi ini membuat publik semakin bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan pandemi, menciptakan persepsi risiko yang sangat rendah dan menurunkan kewaspadaan," ujar Iqbal.
Penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia masih fluktuatif. Pemerintah sempat menyatakan penambahan kasus di DKI Jakarta dan sejumlah daerah lain telah melandai pada akhir Mei hingga awal Juni lalu. Nyatanya, penurunan kasus tak bertahan lama. Pada pertengahan Juni, kasus di DKI kembali menanjak dan terus meroket hingga kemarin.
Sementara itu, di Jawa Timur, angka kasus Covid-19 mulai meningkat signifikan saat penambahan kasus di Jakarta melandai pada medio Mei hingga Juni. Angka itu terus berlipat ganda meski jumlah per harinya naik-turun. Kini, Jawa Timur menjadi daerah dengan kasus positif terbanyak.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan ada penambahan 1.639 pasien dalam sehari, sehingga jumlah total kasus positif hingga kemarin mencapai 86.521 kasus. Jumlah kasus terbanyak ada di Jawa Timur dengan total 18.308 pasien, disusul DKI Jakarta dengan 16.538 pasien.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan pemerintah sudah memeriksa 707.238 orang. Jumlah orang yang diperiksa per hari mencapai 10.195 orang. Sebanyak 37.505 orang yang menjadi suspect masih berada dalam pantauan pemerintah. "Proses penularan virus masih terjadi. Karena itu, patuhi protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun," katanya.
DEWI NURITA | MAYA AYU PUSPITASARI
Puncak Pandemi Makin Sulit Diprediksi