Mengapa Banyak Orang Terjebak Hoaks
Ancaman hoaks dan berita bohong semakin meningkat pada masa Pemilu 2024. Riset mendapati hoaks mempengaruhi keputusan politik.
Penelitian tentang hoaks dalam perilaku voter di Amerika Serikat pada Pemilu 2016 menunjukkan adanya korelasi kuat antara hoaks dan pengambilan keputusan politik. Hasil penelitian di Italia pada 2018 juga menunjukkan fenomena yang sama.
Dampak yang muncul dapat berupa sikap memilih berdasarkan emosi, bukan track record, visi, ataupun program kerja. Sikap ini dapat memperbesar peluang lahirnya pemerintahan yang tidak berkualitas, meningkatnya apatisme, dan menurunnya tingkat kepercayaan.
Berbagai dampak tersebut memperkuat urgensi untuk memahami cara kerja hoaks. Apa sebenarnya yang membuat hoaks memiliki daya pikat yang begitu besar?
Sejumlah Aktivis dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat membentangkan poster saat kampanye pemilu sehat pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, 20 Agustus 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
1. Perpaduan Teks dan Visual
Hoaks kerap berupa paduan antara teks dan grafis yang menarik. Penelitian Mafindo, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasi bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia pada 2022 mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dan gambar atau video mendominasi komposisi temuan dengan persentase hingga 79,2 persen.
Dominasi konten kombinasi ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi yang semakin memudahkan kreasi konten grafis dan video. Sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris pada 2022 bahkan menyimpulkan bahwa teknologi telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu. Selain itu, penelitian Michael Hameleers, asisten profesor di Universitas Amsterdam, Belanda, mengungkap bahwa disinformasi berbentuk visual lebih mempengaruhi audiens dibanding konten yang berupa teks saja.
2. Menyentuh Emosi
Hoaks dapat mengeksploitasi emosi audiens melalui berbagai tipe konten. Pemetaan yang dilakukan oleh Mafindo menunjukkan bahwa hoaks paling banyak menggunakan tipe narasi wedge driver, yaitu narasi yang cenderung mendiskreditkan pihak tertentu (38,3 persen), diikuti oleh tipe narasi pipe dream yang membangkitkan harapan (35,5 persen), serta bogies yang cenderung menakut-nakuti (7,4 persen). Tipe-tipe ini diadopsi dari konsep yang diperkenalkan Robert H. Knapp, mendiang profesor psikologi di Universitas Wesleyan, AS, pada 1944 tentang psikologi rumor.
Menurut sebuah penelitian tentang rumor (di AS), tipe-tipe tersebut menunjukkan cara rumor mengikat audiens melalui emosi sehingga mereka merasa hal itu penting dan lantas mempercayainya. Misalnya, tipe wedge driver yang menarasikan pihak tertentu secara negatif sehingga menimbulkan ketidaksukaan atau kebencian dapat dilihat pada hoaks yang mengklaim bahwa Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 2019, mengizinkan TNI menembaki pendemo ketika pendukung calon presiden nomor 2 waktu itu, Prabowo Subianto, mengepung KPU di Jakarta. Narasi pada hoaks tersebut dapat menimbulkan kebencian kepada Wiranto meski faktanya tidak ditemukan pernyataan seperti yang tertulis di situs web tersebut.
Sementara itu, tipe pipe dream, atau sering disebut wish-based content dan berisi informasi yang menimbulkan rasa senang atau harapan, dapat dilihat pada klaim bahwa ribuan warga suku Baduy datang ke Jakarta untuk mendukung Aksi 22 Mei 2019 dan diterima dengan hangat oleh Prabowo di Kertanegara, Jakarta.
Bagi pendukung Aksi 22 Mei, hal ini tentu memberikan harapan dan rasa senang. Faktanya, foto yang diunggah oleh sumber klaim adalah foto yang ada sejak 2016. Warga suku Baduy yang ada di foto tersebut adalah mereka yang berjualan madu hutan dan tas anyaman serta baju.
Bogies, sebagai konten yang bertipe fear-based atau menimbulkan rasa takut dan kecemasan, biasa muncul pada hoaks yang berisi ancaman bencana alam atau modus kejahatan.
Ilustrasi hoax. Shutterstock
3. Manipulasi Bukti
Hoaks kerap menyajikan bukti untuk mendukung klaimnya agar audiens yakin. Bukti yang disertakan sering kali palsu atau tidak relevan.
Ada beragam jenis bukti yang biasanya menyertai klaim hoaks, dari pengalaman langsung, kutipan (baik yang dapat diverifikasi maupun tidak), penyertaan tautan URL, penyematan gambar atau video, hingga penggunaan alasan (reasoning). Namun ada juga hoaks yang tidak menyertakan bukti sama sekali.
Bukti berupa pengalaman langsung banyak ditemui pada hoaks kesehatan. Umumnya berupa testimoni dari seseorang tentang kemanjuran pengobatan tertentu. Hoaks terkadang juga menyertakan tautan (URL) agar terkesan seolah-olah informasi di dalamnya mengacu pada sumber yang kredibel.
Cara lain untuk meyakinkan audiens adalah mencatut pernyataan pihak tertentu. Terkadang nama pihak tersebut jelas sehingga dapat dimintai klarifikasi, tapi sering kali tidak jelas. Contohnya penggunaan frasa-frasa seperti “info A1”, “info ring 1”, dan “kata profesor Amerika”.
Dari berbagai bukti yang disajikan oleh produsen hoaks, penggunaan gambar atau video merupakan cara favorit. Data dari pemetaan hoaks 2022 oleh Mafindo mengungkap bahwa jenis bukti favorit adalah penggunaan gambar atau video. Jenis bukti klaim ini ditemukan sebesar 67 persen.
4. Memanfaatkan Ketidaktahuan Audiens
Temuan penelitian kami menunjukkan adanya isu-isu dalam konten hoaks yang berangkat dari kurangnya informasi yang diterima masyarakat perihal regulasi pemilu. Termasuk kurangnya informasi tentang hak memilih yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) serta prosedur penghitungan suara berdasarkan penghitungan manual.
Produsen hoaks memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk menyebarkan klaim bahwa ODGJ dimobilisasi untuk memenangkan kandidat tertentu, perolehan suara dapat dimanipulasi melalui rekayasa siber oleh pihak tertentu, atau bahwa surat suara sengaja disimpan di kotak kardus agar mudah ditukar.
Modus ini tampaknya tetap digunakan menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi dan data kependudukan juga dimanfaatkan produsen hoaks untuk menyebarkan klaim menyesatkan terkait dengan Pemilu 2024.
Contohnya, klaim bahwa warga negara asing diberi kartu tanda penduduk (KTP) untuk memenangkan kandidat tertentu. Ada juga klaim bahwa kode 00 pada data pemilih merupakan kode KPU untuk mengkondisikan pemenang pemilu.
Faktanya, WNA memang diberi KTP berbasis elektronik, tapi tidak memiliki hak memilih. Adapun kode 00 yang dipermasalahkan tersebut merupakan kode RT sebagaimana tertulis dalam KTP serta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang kemudian dimasukkan dalam data KPU.
---
Artikel ini ditulis oleh Nuril Hidayah (STAI Miftahul 'Ula), Finsensius Yuli Purnama (Universitas Katolik Widya Mandala), Fitri Murfianti (Leiden University), dan Liona Perangin-angin (Swiss German University). Terbit pertama kali di The Conversation.