Limbah alat kesehatan menjadi isu lingkungan yang hangat pada masa pandemi Covid-19. Salah satunya masker, yang hanya bisa dipakai beberapa jam, lalu dibuang. Hal ini menggerakkan tim mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika Universitas Padjadjaran mencari solusi. “Dari situ tim berpikir bagaimana menemukan masker kain yang bisa dipakai ulang tapi berkemampuan menginaktivasi virus,” kata ketua tim, Rifky Adhia Pratama, Kamis, 25 Februari 2021.
Tim yang beranggotakan Riska Kurniawati, Farrel Radhysa Muhammad Zahdi, Didi Permana, dan Muhammad Naufal Ardian, dengan bimbingan tiga orang dosen, itu melakukan studi pustaka untuk mengembangkan idenya. Acuannya pada dua jenis masker yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu masker medis dan N-95 yang bisa menangkal droplet atau percikan air liur hingga 91 dan 95 persen. Bahan masker medis itu mengandung polimer yang bisa terurai menjadi mikroplastik.
Dari hasil beberapa penelitian di luar negeri, kata Rifky, kombinasi masker dari bahan katun 60 persen dengan poliester 40 persen punya efisiensi 87 persen menangkal droplet. Namun riset itu belum memuaskan Rifky dan kawan-kawan. Mereka ingin meningkatkan ketahanan masker itu. Dari beberapa alternatif kandidat, perhatian mereka tertuju pada grafena. Material itu tergolong superhydrophobic. “Sifatnya sangat sangat menolak air,” tutur mahasiswa jurusan kimia angkatan 2018 itu. Diperkirakan dengan tambahan lapisan grafena itu, masker buatan mereka sanggup menahan droplet hingga 95 persen.
Selain itu, pemakaian grafena bisa menghasilkan efek fototermal. Jadi, ketika masker itu terkena sinar matahari langsung saat dipakai, akan terjadi katalisis yang mempercepat suatu reaksi. Grafena akan menyerap sinar matahari hingga suhunya stabil di angka 80 derajat Celsius dalam waktu 100 detik. Adapun menurut riset yang ada, suhu 70 derajat Celsius sudah bisa menginaktivasi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19. “Besar kemungkinan masker ini bisa menginaktivasi virus dalam waktu singkat.”
Keunggulan seperti itu bisa membuat masker tidak perlu dicuci untuk dipakai berulang. Rifky menepis anggapan bahwa mulut pengguna akan kepanasan oleh suhu hingga 80 derajat Celsius yang terkumpul di masker berlapis grafena itu. “Sebab, ada bahan katun dari kapas yang tidak mengalirkan panas ke mulut,” ujarnya. Bahan grafena mereka dapatkan dari limbah sekam padi yang selama ini pemanfaatannya masih sedikit. Sekam padi mengandung 30-40 persen karbon yang menjadi sumber awal terbentuknya grafena.
Anggota tim peneliti masker konsep baru, mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran, Bandung. (Istimewa)
Tim yang dibentuk pada akhir Desember 2020 itu kemudian mengusung ide serta konsep masker tersebut ke lomba “ASEAN Innovative Science Environmental and Entrepreneur Fair” yang berlangsung pada Januari-Februari 2021 secara daring. Dimulai dari pengiriman abstrak, setelah lolos, tim mengirim karya tulis studi pustakanya hingga presentasi video. Seleksi berikutnya berupa tanya-jawab dengan dewan juri. “Sesuai dengan lombanya, kami belum melakukan uji coba riset masker ini,” kata Rifky.
Dari lomba yang diikuti 505 peserta dari 20 negara itu, tim mahasiswa Unpad berhasil meraih medali emas dan penghargaan “Best Innovation” untuk kategori inovasi sains dan lingkungan. Hasil itu diumumkan secara daring pada Selasa, 23 Februari 2021.
Rencananya, konsep masker itu ditindaklanjuti sebagai tugas akhir Rifky pada akhir semester depan. Ia juga berencana mengajukan proposal riset untuk mendapatkan dana hibah dari pemerintah. Bayangannya, dia akan meneliti lebih dulu bagaimana proses sintesis grafena dari sekam padi, berapa hasil yang akan didapat, dan karakteristik kandungan grafena dari sekam padi. Selain itu, dari literatur lain, Rifky mendapat potensi lain dari sekam padi, yaitu silika. Produk sampingan itu bersifat seperti grafena, yaitu menginaktivasi virus.
Salah seorang dosen pembimbing penelitian itu, Diana Rakhmawaty Eddy, mengatakan hal pertama adalah memastikan sumber grafena yang akan dipakai. Beberapa tim di Departemen Fisika Unpad sudah menghasilkan grafena alam non-hayati. “Sementara kami mengembangkan grafena dari limbah sekam padi,” kata Diana, Jumat lalu. Setelah itu melakukan proses pelapisan pada katun dan poliester, lalu melakukan pengujian terhadap percikan droplet dan aerosol dari luar.