Seremoni berlebihan dalam penyuntikan vaksin kepada Presiden Joko Widodo, kemarin, juga selebrasi menyambut kedatangannya, tidak menjawab keraguan sebagian kalangan soal vaksinasi Covid-19. Ketimbang sibuk menebar euforia, pemerintah seharusnya lebih berfokus pada upaya menjelaskan keamanan dan efikasi vaksin kepada khalayak ramai. Kegagalan meyakinkan publik akan pentingnya vaksinasi ini bisa berdampak buruk bagi ikhtiar mengakhiri pandemi.
Setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi kekhawatiran banyak orang belakangan ini soal vaksinasi massal Covid-19, yakni simpang-siur informasi soal angka efikasi dan cara menghitungnya, ketersediaan vaksin, serta kelancaran program vaksinasi di seluruh wilayah Indonesia.
Saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyetujui penggunaan darurat untuk vaksin Sinovac dari Cina. Angka efikasi vaksin ini memang melebihi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 50 persen. Masalahnya, sampel uji klinis vaksin Sinovac tahap ketiga di Indonesia, yang hanya dilakukan terhadap 1.620 orang, memang relatif sedikit dibanding uji klinis vaksin lainnya.
Untuk meyakinkan publik, pemerintah perlu bersikap transparan dengan membuka data sampel penerima vaksin. Jika tingkat kemanjurannya tinggi tapi sampelnya adalah mereka yang tak punya risiko tertular virus, angka efikasi yang tinggi bisa dinilai kurang representatif. Dengan dibukanya hasil riset uji klinis tahap ketiga, semua pertanyaan publik soal tingkat kemanjuran vaksin bisa dijawab dengan memuaskan.
Faktor berikutnya adalah ketersediaan vaksin dan kelancaran program vaksinasi massal di lapangan. Kementerian Kesehatan sudah menyebutkan bahwa setidaknya perlu waktu 15 bulan untuk merampungkan program vaksinasi bagi 181,5 juta rakyat Indonesia. Pemerintah tentu sadar bahwa program vaksinasi ini berkejaran dengan kecepatan infeksi virus. Hingga kemarin, dari 71.689 spesimen yang diperiksa, jumlah orang yang positif corona sebanyak 11.278 dan meninggal 306 orang. Ini merupakan rekor tertinggi baru justru ketika vaksin pertama disuntikkan ke tubuh Presiden Jokowi.
Selain soal beratnya distribusi vaksin di daerah, masalah yang menghambat program vaksinasi ini adalah ketersediaannya. Saat ini baru vaksin Sinovac yang tiba di Indonesia. Gelombang ketiga pengiriman sebesar 15 juta dosis masih harus diolah lebih dulu oleh Bio Farma. Dengan kata lain, pekan ini baru 3 juta dosis yang siap pakai. Untuk itu, pemerintah perlu memprioritaskan pengadaan vaksin lain di luar Sinovac. Hal itu juga penting agar program vaksinasi massal untuk semua kluster penduduk, terutama mereka yang berusia lanjut (di atas 60 tahun), bisa dipercepat.
Banyaknya pekerjaan rumah pemerintah soal vaksinasi ini menuntut pola komunikasi publik yang baik, jujur, dan transparan. Selebrasi yang tidak perlu, seperti upacara pelepasan vaksin dan pelibatan pemengaruh (influencer) media sosial, sama sekali tidak menyentuh hal-hal substansial yang dipersoalkan publik. Taruhannya terlalu besar jika gelombang penolakan vaksin membesar dan menghambat upaya membangun kekebalan bersama (herd immunity).