Jojo
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB
Cabai begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia yang suka rasa pedas. Bahkan angka kebutuhan cabai segar di tingkat rumah tangga hampir 61 persen dan sisanya untuk industri. Hal tersebut menunjukkan bagaimana kecenderungan masyarakat yang senang mengkonsumsi cabai segar dibandingkan dengan yang sudah diolah. Gejolak harga cabai ikut mempengaruhi perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari naiknya inflasi saat harga cabai meroket. Inflasi cabai merah menyumbang 0,03 persen pada November 2020.
Kini harga cabai kembali bergejolak. Pada pekan pertama 2021, harga cabai belum menunjukkan tanda-tanda akan turun dan bahkan tampak kian menanjak. Bahkan harga di tingkat konsumen menunjukkan angka tertinggi sejak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional per 7 Januari 2021, harga cabai merah mencapai Rp 88.750 per kilogram di Kalimantan Tengah. Sementara itu, harga cabai rawit menyentuh Rp 106.250 per kilogram di Maluku. Adapun harga cabai merah di DKI Jakarta sebesar Rp 70.400 dan Rp 87.500 per kilogram untuk cabai rawit. Padahal, pada 7 Desember lalu, harga tertinggi keduanya masih di kisaran Rp 69.100 dan Rp 83.150 per kilogram.
Gagap menghadapi siklus harga musiman membuat banyak pihak kedodoran merespons berkembangnya kondisi dinamis tersebut. Kejadian ini selalu berulang dan faktor alam sering menjadi kambing hitam. Melonjaknya harga cabai tersebut ditengarai terjadi karena terganggunya stok dan penurunan kualitas lantaran serangan penyakit dan tingginya curah hujan. Produksi turun hingga 20 persen. Situasi ini diperparah oleh fenomena La Nina yang diperkirakan berlangsung sejak Oktober 2020 hingga Maret 2021.
Hukum ekonomi menyebutkan harga akan terkerek naik ketika jumlah barang yang ditawarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan permintaan pasar. Sebaliknya, harga meluncur ke bawah saat jumlah barang yang ditawarkan lebih banyak dibanding permintaan pasar. Implikasinya, pasokan ke pasar menurun drastis. Data Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan menyebutkan produksi cabai pada akhir tahun mengalami penurunan, dari 101-105 ribu ton per bulan pada Maret-April 2020 menjadi 91-92 ribu ton per bulan. Pasokan rata-rata seminggu terakhir per November 2020 juga turun menjadi 93 ton per hari, di bawah pasokan normal yang sebanyak 125 ton per hari.
Kementerian mencatat kebutuhan konsumsi cabai besar sebesar 2,14 kilogram per kapita per tahun. Mengacu pada statistik tersebut, kebutuhan cabai mencapai 892.711 ton per tahun.
Gairah harga cabai yang naik di tingkat konsumen belum tentu otomatis bisa dinikmati petani cabai. Kenaikan harga selama ini masih belum mampu menutupi kerugian yang mereka alami akibat penurunan harga yang cukup dalam selama masa pandemi Covid-19. Penurunan harga terjadi karena anjloknya penyerapan produksi pertanian seiring dengan turunnya permintaan dan daya beli yang dihantam pandemi. PIHPS mencatat, per 20 Mei 2020, harga rata-rata cabai merah nasional di tingkat produsen turun menyentuh Rp 9.350 per kilogram. Sementara itu, harga rata-rata cabai rawit nasional di tingkat produsen merosot menyentuh Rp 14.150 per kilogram.
Gonjang-ganjing harga cabai bukan fenomena baru dan selalu berulang tiap tahun. Konsep permintaan dan penawaran sebagai penentu harga tidak selalu mutlak berlaku pada produk agrobisnis. Hal ini terjadi karena sifatnya sebagai produk musiman, tidak bisa disimpan lama dalam kondisi tetap segar, dan membutuhkan tempat banyak. Karakteristik tersebut membuatnya berbeda dengan produk industri. Ketidakpastian produksinya yang berkaitan dengan iklim dan cuaca membuat hasilnya sulit diprediksi.
Guna mengantisipasi gejolak harga cabai agar terkendali dan menguntungkan semua pihak, pemerintah bisa melakukan intervensi dalam mengendalikan harga. Pengendalian harga bertujuan mempertahankan harga pada tingkat tertentu dan menghindari membubungnya inflasi. Selama berada dalam batas-batas terjaganya harga pada tingkatan wajar dan tidak memantik anjloknya harga hingga di bawah biaya produksi, tindakan tersebut sah-sah saja dilakukan.
Bentuk intervensi itu bisa berupa kebijakan harga dasar sebagai bagian integral untuk menjaga gairah petani. Selain itu, ada harga eceran tertinggi untuk melindungi konsumen dari dampak lonjakan harga. Bila produksi dalam negeri diperkirakan tidak mampu menutup kebutuhan, pilihan terakhir pemerintah untuk menambah stok melalui instrumen impor dengan ekspektasi lonjakan harga ekstrem tinggi dapat dihindari.
Pemicu lain terjadinya gejolak harga cabai adalah informasi pasar yang tak sempurna. Hal ini akan menyebabkan pembentukan harga yang tidak baik. Akan ada kecenderungan pihak pedagang menetapkan harga yang relatif rendah di tingkat petani tapi relatif tinggi di tingkat konsumen. Hal ini terkonfirmasi dari keuntungan terbesar yang justru dinikmati pedagang, yakni hingga 30 persen. Di sini petani tidak mendapatkan keuntungan yang rasional. Ditemukan pula bahwa, dalam tata niaga ini, yang menikmati harga berlipat-lipat adalah pedagang, bukan petani.
Ketiadaan informasi yang lengkap membuat harga komoditas cabai kian tak menentu. Informasi pasar yang tidak lengkap mengakibatkan tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Ketidaksempurnaan informasi tersebut bisa juga ditimbulkan karena kurangnya koordinasi antara pemerintah dan para pelaku usaha.
Selain itu, lemahnya pengawasan yang baik oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. Untuk itu, tata niaga adalah hal yang mendesak dibenahi. Upaya pemerintah untuk memperkuat kelembagaan di tingkat petani dinilai penting dan mendesak.
Pemerintah perlu menyediakan akses informasi memadai yang diperlukan petani ihwal berbagai aspek yang berkaitan dengan cabai secara akurat, transparan, dan akuntabel. Pemerintah juga perlu mengembangkan sentra budi daya cabai rawit dan komoditas agrobisnis lainnya secara terintegrasi serta terkait dengan industri dalam bingkai tata ruang kawasan. Semua itu akan memudahkan pola pembinaan yang mengarah ke penguatan posisi tawar petani dalam semangat pembangunan berkelanjutan.
Upaya pembenahan internal di semua aspek dilakukan dalam bentuk program aksi, dari budi daya, pemasaran, kelembagaan petani, hingga riset aplikatif untuk menghasilkan benih unggul dan agroekoteknologi agar tanaman mampu menghadapi gejolak dampak cuaca. Bagi petani, selama sebuah kegiatan budi daya tanaman mampu memberikan manfaat ekonomi lebih baik, otomatis komoditas tersebut akan dia jadikan pilihan.
Hal tersebut memerlukan keseriusan pemerintah dalam membenahi pangan berkelanjutan yang tak cukup melalui sekadar imbauan, apalagi cuma wacana, terlebih lagi sekadar pencitraan. Sikap seperti itu hanya akan memperdalam persoalan pangan nasional.