maaf email atau password anda salah


Pembenahan Perguruan Tinggi Pasca-Pandemi Covid-19

Rangkaian penelitian di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, merekomendasikan tujuh perbaikan perguruan tinggi pasca-pandemi.

arsip tempo : 171489284178.

Ilustrasi kegiatan belajar mahasiswa. UNSPLASH. tempo : 171489284178.

Covid-19 telah mengubah cara kita bekerja dan belajar secara radikal. Hal itu memberi peluang bagi institusi untuk memikirkan kembali masa depan pendidikan tinggi.

Proyek Contextualising Horizon kami dengan Australasian Society of Computers in Learning in Tertiary Education (ASCILITE) mengungkap beberapa tren kuat di Asia-Pasifik, termasuk di Indonesia, untuk membantu mempersiapkan dan merencanakan apa yang menanti sektor pendidikan tinggi di masa depan.

Tujuh prioritas pasca-pandemi

Bahkan, sebelum masa pandemi, tekanan politik dan keuangan telah memotivasi institusi untuk mencari model alternatif pembelajaran, seperti kursus sertifikasi singkat dari universitas terakreditasi (kredensial mikro), untuk memperluas akses terhadap pendidikan dan menghasilkan pendapatan.

Pandemi juga memaksa universitas mengatasi permasalahan lama seputar kesehatan mental dan kesenjangan aksesibilitas digital, yang meluas selama masa pandemi ini.

Baca: Akibat Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Tren-tren ini menunjukkan adanya pergeseran dalam sektor pendidikan dan, sebagai konsekuensinya, muncul pemahaman bahwa, agar pendidikan tinggi tetap relevan, institusi harus meninjau kembali model-model pembelajaran dan desain pengalaman universitas.

Ilustrasi mahasiswa sedang belajar. UNSPLASH

Sehubungan dengan perubahan ini, proyek kami mengidentifikasi tujuh prioritas teknologi dan praktik untuk pendidikan tinggi di kawasan Asia-Pasifik.

1. Mendefinisikan ulang praktik pedagogi

Panelis mempertanyakan praktik lama, termasuk ujian dan perkuliahan, serta relevansinya dalam konteks pendidikan modern.

Pendekatan yang berpusat pada siswa, dibanding pendekatan yang berpusat pada guru, misalnya, dengan cepat menjadi sebuah norma. Proyek Transforming Exams yang berbasis di Australia, contohnya, bertujuan memberikan pengalaman autentik, memberdayakan pelajar dengan menggunakan alat elektronik terkomputerisasi khusus disiplin ilmu selama ujian berbasis kampus.

Salah satu studi menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran aktif dan penilaian autentik menghasilkan pembelajaran siswa yang lebih menarik lingkungan serta meningkatkan kelayakan kerja dan pembelajaran siswa.

Untuk mengakomodasi hal ini, kemungkinan besar peran ruang kampus akan berkembang. Pelajar dapat memanfaatkan peluang untuk berkumpul di kampus dan secara tatap muka–tapi juga memanfaatkan teknologi sosial untuk memungkinkan mereka belajar melalui jaringan dan berbagi serta berkolaborasi melalui komunitas online.

Lembaga-lembaga di Indonesia dan negara-negara Asia-Pasifik lainnya juga perlu mempertimbangkan cara-cara untuk membangun kemampuan dan kepercayaan diri dalam praktik-praktik ini serta mengadopsi kebijakan dan pedoman seputar penggunaannya untuk membantu memastikan penerapannya secara luas.

2. Perawatan diri dan kesejahteraan untuk staf dan siswa

Sepanjang masa pandemi ini, baik pelajar maupun staf institusi sering mengalami lockdown, isolasi sosial, dan berbagai dampak ekonomi, yang dapat berkontribusi pada stres mental ataupun emosional.

Kami menyoroti masalah seputar beban kerja dan kelelahan staf. Sebaliknya, siswa melaporkan mengalami isolasi selama pembelajaran jarak jauh. Hal ini penting untuk masa depan karena kita perlu memastikan beban kerja kembali ke tingkat sebelum masa pandemi, khususnya bagi staf.

3. Model pembelajaran campuran

Pembelajaran campuran terdiri atas beragam pilihan penyampaian, termasuk pembelajaran hibrida atau dual learning yang memadukan pendekatan online dan offline.

Cara-cara baru dalam memberikan peluang pembelajaran, termasuk streaming langsung dan fasilitasi online yang merupakan kombinasi aktivitas real-time, dengan waktu yang fleksibel dan mandiri, telah muncul sebagai kompetensi penting bagi guru.

Di seluruh dunia, telah terjadi diskusi tentang cara meningkatkan pengalaman siswa dengan pembelajaran campuran. Di Indonesia, perguruan tinggi terus mencoba model tersebut dengan berbagai cara.

Produksi bersama pengetahuan dan pengalaman adalah tujuan sebuah proyek di Toba, Sumatera Utara, Indonesia, yakni e-learning adaptif mempertemukan mahasiswa dan dosen sebagai bagian dari tim desain untuk meningkatkan kinerja pembelajaran dan pemasaran di seluruh institusi.

Dosen melakukan siarang langsung (live streaming) pembelajaran untuk mahasiswa di kampus AMIK Purnama Niaga di Indramayu, Jawa Barat, 2020. Antara/Dedhez Anggara

4. Infrastruktur teknologi pendidikan

Seiring dengan semakin banyaknya institusi yang menggunakan teknologi digital, infrastruktur teknologi pendidikan telah menjadi ekosistem peralatan, konektivitas, dan aplikasi yang kompleks untuk mendukung pengajaran, administrasi, serta penelitian di universitas.

Mendukung ekosistem ini memerlukan investasi dari universitas, tidak hanya dalam hal peralatan dan jaringan, tapi juga memastikan keamanan dan dukungan untuk menggunakan layanan.

Selain itu, mendukung staf dan pelajar dalam menavigasi ekosistem memerlukan pertimbangan yang cermat dalam desain mereka dan pemikiran ke depan mengenai bagaimana mempertahankan ekosistem ini di masa depan.

Gedung Universitas Teknologi Sydney Central di Australia adalah contoh pendekatan ini.Fasilitas ini dirancang dengan pembelajaran sebagai intinya, menampilkan ruang pembelajaran berkapasitas tinggi yang memungkinkan kolaborasi dan kemampuan audiovisual untuk mendukung interaksi pelajar dan fasilitasi guru dalam berbagai format campuran.

5. Konten yang dapat diakses dan kesetaraan digital

Tujuan keempat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil untuk semua.

Institusi dapat berkontribusi terhadap tujuan ini melalui penerapan prinsip desain universal untuk pembelajaran yang memastikan konten dapat diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan mereka yang berada dalam kesulitan keuangan.

Aspek penting lainnya adalah kesetaraan digital, yang didefinisikan oleh International Society for Technology in Education (ISTE) sebagai “memastikan siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi, seperti perangkat, perangkat lunak, dan Internet, serta bahwa mereka telah melatih para pendidik untuk membantu siswa menggunakan alat-alat tersebut.”

Namun Indonesia saat ini memiliki kecepatan Internet yang lambat dibanding negara lainnya secara global. Bahkan, pada 2022, hampir 50 persen orang dewasa dari 275 juta penduduk tidak memiliki akses terhadap Internet.

Mengatasi tantangan konektivitas semacam ini harus menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah dan lembaga di Indonesia.

6. Desain bersama pendidikan tinggi

Dalam praktiknya, desain bersama menyatukan industri, staf pengajar, dan pelajar untuk mendesain ulang aktivitas pembelajaran atau keseluruhan kursus. Metode dan filosofi desain bersama berpotensi memungkinkan sektor ini untuk bersama-sama menciptakan struktur, jalur, dan dukungan kelembagaan yang mengatasi tantangan serta mentransformasi lembaga dengan cara yang lebih mewakili kebutuhan organisasi, staf, dan peserta didik.

Salah satu inisiatif tersebut adalah Tahun Desain Bersama di Universitas Fulbright Vietnam, yang melibatkan mahasiswa dalam pengembangan berbagai aspek lingkungan dan pengalaman universitas.

7. Kredensial mikro

Kredensial mikro dapat mencakup kursus tanpa kredit, kursus singkat dan pembelajaran profesional serta pendidikan industri. Universitas RMIT Australia, contohnya, telah mengembangkan dan mengkurasi lebih dari 150 kursus singkat dan kredensial siap kerja, termasuk sejumlah kredensial yang dikembangkan melalui kemitraan dengan industri.

Meskipun terdapat kekurangan dalam kebijakan dan infrastruktur, baik di tingkat nasional maupun kelembagaan, peningkatan keragaman penawaran kredensial mikro oleh penyedia lokal dan internasional dapat membantu Indonesia mempercepat pemulihan ekonomi pasca-pandemi, yaitu dengan memenuhi peningkatan permintaan pelatihan kejuruan dan peluang belajar di perguruan tinggi luar negeri.

---

Artikel ini ditulis oleh Danielle Logan-Fleming (Griffith University), Chris Campbell (Charles Sturt), David Bruce Porter (University of Illinois at Urbana-Champaign), dan Hazel Jones (Griffith University). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan