maaf email atau password anda salah


Polusi Udara Merusak Kesehatan Mental

Polusi udara Jakarta bisa menyebabkan gangguan kesehatan mental, termasuk depresi. Udara kotor memicu kabut otak atau brainfog.

arsip tempo : 171421712711.

Ilustrasi seorang wanita depresi. PEXELS. tempo : 171421712711.

Beberapa bulan belakangan ini, polusi udara Jakarta memprihatinkan. Berdasarkan situs web pemantau kualitas udara IQAir.com, konsentrasi partikel debu atau particulate matter 2,5 (PM2,5) per 21 September lalu masih di angka 68 mikrogram per meter kubik (µg/m³). Angka tersebut melampaui dua kali lipat standar PM2,5 harian versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 25 µg/m3.

Akibatnya, bukan hal yang mengejutkan jika kondisi masyarakat di daerah berpolusi seperti Jakarta mengalami masalah pernapasan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, selama enam bulan terakhir, angka kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Ibu Kota melebihi 100 ribu kasus per bulan. Di Jabodetabek, kasus ISPA per Agustus melampaui 200 ribu kasus per bulan.

Baca: Lima Polutan Penyebab Polusi Udara

Dampak polusi udara terhadap kondisi fisik kita mulai tampak dan mudah diamati. Namun polusi tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik semata, tapi juga terhadap kesehatan mental kita.

Depresi dan Bunuh Diri

Semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa polusi juga berdampak mendalam terhadap kesehatan mental manusia. Sayangnya, publik masih jarang memperbincangkan hal ini.

Aktivitas pekerja di kawasan Sudirman, Jakarta, 23 Agustus 2023. Tempo/Tony Hartawan

Ekonom kesehatan dari Universitas Yale, Xi Chen, beserta rekannya, mempelajari dampak polusi terhadap kesehatan mental yang ada di Cina, negara yang kualitas udaranya sudah sangat buruk.

Dalam penelitian yang terbit pada 2017 itu, Chen menemukan tingkat polusi yang tinggi mengurangi kebahagiaan dan meningkatkan gejala depresi. Bahkan, sekalipun dalam tingkat yang ringan, polusi udara dalam jangka panjang tetap berdampak buruk bagi kesehatan mental kita.

Kita juga bisa melihat metaanalisis dari 39 penelitian terkait dengan polusi udara dan depresi yang berjudul Air pollution exposure and depression: A comprehensive updated systematic review and meta-analysis, yang terbit pada 2022 di jurnal Environmental Pollution.

Analisis tersebut memperlihatkan, peningkatan paparan PM2,5, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, berhubungan dengan depresi. Artinya, paparan kita terhadap polusi pada akhirnya akan membuat kita mudah atau rentan terhadap depresi.

Selain depresi, polusi udara berkaitan dengan beberapa masalah mental, seperti gangguan tidur, isolasi sosial, serta penurunan kognitif, khususnya anak-anak dan kelompok lansia. Ada juga gangguan kesehatan lainnya, seperti skizofrenia, bipolar, kecemasan, pemusatan perhatian (attention-deficit/hyperactivity disorder atau ADHD), autisme, dan gangguan personalitas. 

Sejumlah riset pun menggali hubungan polusi udara dengan kenaikan kejadian bunuh diri. Contohnya analisis terbaru terhadap data di Amerika Serikat (AS), yang diterbitkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional di Cambridge, Massachusetts, menemukan bahwa, setiap peningkatan partikel polusi per mikrogram/m3 di kota-kota AS, kejadian bunuh diri naik hingga 0,5 persen.

Hubungan kedua hal ini mungkin sulit dijelaskan. Namun beberapa penelitian menjelaskan bahwa, secara biologis, polusi dapat menyebabkan peradangan di otak, defisit serotonin, dan mengganggu jalur respons stres. Kondisi tersebut membuat perilaku depresi dan impulsif lebih mungkin terjadi.

Ada juga kemungkinan bahwa udara yang buruk dapat menyebabkan kabut otak atau brainfog. Otak yang berkabut mempengaruhi cara berpikir seseorang sehingga ide bunuh diri bisa menjadi lebih mudah dilakukan.

Selain aspek biologis, beban psikologis dapat mencuat ketika udara sangat tercemar. Bayangkan jika kamu seorang ibu tunggal dengan anak yang mengalami ISPA akibat udara kotor. Kamu harus menemani si buah hati berobat rutin ke dokter. Sementara itu, kamu harus bekerja, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari kian meningkat. Skenario ini berisiko membuat kamu tertekan sehingga mengalami situasi yang buruk.

Kondisi langit Jakarta diselimuti kabut polusi pada hari ketiga pelaksanaan work from home (WFH) di Jakarta, Jakarta, 23 Agustus 2023. Tempo/Tony Hartawan

Apa yang harus kita lakukan?

Kita telah memasuki masa krisis iklim yang mengerikan. Pemerintah sudah semestinya membuat regulasi yang lebih ketat perihal emisi dengan standar ketat. Mulai menerapkan di berbagai industri dan kendaraan motor. Menjalankan aturan dengan tegas, dari inspeksi rutin hingga denda bagi pelanggar.

Tanpa regulasi yang ketat, kondisi akan memburuk. Belum lagi jika pemerintah hanya membuat kebijakan tanpa berlandaskan data akurat.

Pemerintah dapat berembuk dengan para ilmuwan yang telah melakukan riset atau berfokus pada isu ini. Sudah saatnya negara mengedepankan sains dalam merancang berbagai kebijakan dan mengakui bahwa polusi udara dapat berdampak pada berbagai macam aspek kehidupan.

Hal mendasar ini mungkin bisa menjadi secercah harapan untuk menemukan langkah yang tepat.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat?

Penulis asal Kanada, Naomi Klein, dalam bukunya yang berjudul This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate, mengatakan bahwa kapitalisme pasar bebas dan upaya kita untuk terus mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya membawa kita pada kondisi yang buruk seperti ini.

Naomi mengatakan gerakan massa dalam menghadapi krisis iklim akan menjadi harapan. Dia berpendapat perubahan sebenarnya hanya akan datang jika ada tekanan dari bawah, dari rakyat biasa yang menuntut dan memilih untuk bertindak.

Klein berpendapat bahwa masyarakat perlu menghadapi kenyataan ini dengan kepala tegak dan bekerja untuk menciptakan solusi yang berarti. Langkah ini juga termasuk menagih janji pemerintah yang kerap memberikan solusi omong kosong untuk rakyatnya.

Saat dampak polusi udara mulai tampak pada kondisi fisik, pemerintah masih belum memberikan respons yang solutif. Lantas, apakah pemerintah harus menunggu dampak mental masyarakat kian nyata?

---

Artikel ini ditulis oleh Wawan Kurniawan, peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan