maaf email atau password anda salah


Melawan Kolonialisme Ibu Kota Nusantara

Jokowi menyebut Istana Negara dan Istana Bogor bau kolonialisme. Di IKN, Jokowi memperlihatkan watak kolonial.

arsip tempo : 172667514027.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172667514027.

PADA pengujung periode kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo menyampaikan pernyataan yang sangat ironis mengenai bau-bau kolonialisme (reek of colonialism) yang ada di Istana Merdeka Jakarta dan Istana Bogor. Pernyataan ini dikemukakan Jokowi beberapa hari menjelang peringatan 17 Agustus 2024 yang diperingati di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. 

Istilah "bau-bau kolonialisme" yang keluar dari mulut Jokowi penting untuk dikritik secara serius. Pasalnya, di balik nama Jakarta, sebagai kota pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada masa lampau, tersimpan aroma harum para pejuang yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan raga mereka untuk merebut kemerdekaan. Karena itu, penamaan Jakarta, yang diambil dari kata "jaya" dan "karta", menggambarkan spirit kemerdekaan melawan kolonialisme. 

Tak hanya itu, untuk menggenapi makna dan perjuangan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dicetuskanlah ide pembangunan masjid yang menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia. Pencetusnya adalah Menteri Agama pertama, yaitu KH Wahid Hasyim. Ide ini kemudian direalisasi dengan membangun Masjid Istiqlal. Secara kebahasaan, Istiqlal bermakna kemerdekaan. 

Pembangunan Masjid Istiqlal bermakna bahwa kemerdekaan Republik Indonesia diraih bukan karena keberhasilan aspek materiel semata, seperti senjata. Lebih jauh, pembangunannya menggambarkan keberhasilan para pendiri Indonesia menaklukkan ambisi pribadi dan hawa nafsu mereka sehingga mampu melawan kolonialisme serta mendirikan negara yang didesain untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat. 

Inilah inti terpenting dari spiritualitas yang terkandung di balik nama Istiqlal. Hanya tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa, anti terhadap penjajahan, dan melayani kepentingan bersama tanpa membeda-bedakan.  

Lebih dalam lagi, pembangunan Masjid Istiqlal menjadi penanda bahwa mengisi kemerdekaan tidak hanya berhenti pada perayaan materiel semata. Kemerdekaan wajib diwujudkan dengan cara menciptakan keadilan dalam semua aspek kehidupan publik di Indonesia. 

Begitu pula dengan Istana Bogor. Jokowi wajib dikritik karena, setelah dua periode menikmati Istana ini, ia menyebutnya berbau kolonialisme. Jokowi lupa bahwa nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial, yaitu Gemeente Buitenzorg, telah diubah menjadi Bogor pada 1950. Pengubahan nama ini jelas menunjukkan bahwa pengaruh kolonial telah dihilangkan oleh para pendiri republik ini.

Kolonialisme IKN

Pernyataan Jokowi mengenai "bau kolonialisme" seolah-olah membuka kotak pandora. Bau kolonialisme yang ia sebut ada di Istana Jakarta dan Bogor sesungguhnya ia hidupkan di istana baru di jantung lokasi IKN. Meminjam pandangan Naomi Klein, kolonialisme selalu memandang dunia ini sebagai ruang kosong dan karena itu diperlakukan sebagai wilayah penaklukan, bukan rumah bersama. Pikiran kolonial memupuk keyakinan bahwa selalu ada tempat lain untuk dituju dan dieksploitasi begitu saja.

Pandangan Klein tersebut dapat kita temukan di IKN dalam sejumlah bukti sebagai berikut. Pertama, wilayah IKN dan sekitarnya diperlakukan sebagai ruang kosong tanpa masyarakat yang hidup dan mengelola sumber daya alam yang ada. Padahal masyarakat adat sudah eksis di sana, baik di darat maupun di pesisir Balikpapan, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945. 

Karena wilayah IKN dianggap kosong, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN. Perpres ini memberikan konsesi hak guna usaha (HGU) yang sangat panjang bagi pengusaha untuk berinvestasi selama 190 tahun. 

Selain HGU, perpres tersebut memberi konsesi hak guna bangunan selama 160 tahun. Perpres ini menjelaskan bahwa di IKN hanya ada kepastian hukum untuk investor, tapi tak ada kepastian hukum untuk masyarakat. 

Kedua, kawasan Teluk Balikpapan, yang merupakan perairan tradisional bagi lebih dari 10 ribu nelayan tradisional, dianggap sebagai ruang kosong. Pembangunan IKN terbukti mengancam ekosistem Teluk Balikpapan yang memiliki luas 16 ribu hektare serta 33 pulau kecil. 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 menyebutkan, untuk mendukung proyek IKN, akan dibangun dua pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Semayang di Teluk Balikpapan dan Terminal Kariangau. Pelabuhan Semayang berfungsi sebagai pelabuhan umum yang memiliki jalur pelayaran internasional serta melayani rute penumpang jarak jauh. Adapun Terminal Kariangau berada lebih jauh ke pedalaman di Teluk Balikpapan dan berfungsi sebagai pelabuhan kargo internasional.

Rencana pembangunan dua pelabuhan skala besar tersebut akan makin memperburuk daya dukung dan daya tampung bentang alam Teluk Balikpapan, yang kini telah dibebani izin industri seluas 3.917 hektare. Dalam narasi pembangunan IKN, Teluk Balikpapan hanya ditempatkan sebagai pelengkap, bahkan obyek eksploitasi. Nasibnya tak jauh berbeda dengan Teluk Jakarta. Lebih jauh, UU IKN tidak memasukkan Teluk Balikpapan sebagai kawasan perlindungan yang dikelola masyarakat. 

Sebelumnya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2021-2041 (Perda Zonasi Kalimantan Timur) telah mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan. Akibat regulasi tersebut, keluarga nelayan yang tinggal di 27 desa pesisir di sepanjang Teluk Balikpapan dipaksa menangkap ikan lebih jauh ke Laut Jawa atau Selat Makassar.

Merujuk pada Perda Zonasi Kalimantan Timur Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2021-2041, permukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 31,80 hektare. Ini merupakan peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan.

Pembangunan IKN juga terbukti mempercepat hilangnya ekosistem bakau. Perda Zonasi Kalimantan Timur Tahun 2021 bahkan tidak mengalokasikan 1 hektare pun bakau. Padahal di kawasan perairan ini terdapat bakau seluas 16.800 hektare yang terdiri atas 33 spesies. Berbagai kajian yang disusun oleh aliansi masyarakat sipil di Kalimantan Timur menyebutkan setidaknya 1.800 hektare ekosistem bakau di Teluk Balikpapan hilang akibat aktivitas industri dan pembangunan dua pelabuhan besar untuk mendukung IKN. 

Demikianlah, watak kolonialisme selalu memandang dunia sebagai ruang kosong. Di situlah ia melakukan reteritorialisasi dan reorganisasi ruang untuk melayani kepentingan modal dengan menyingkirkan masyarakat dan menghancurkan lingkungan hidup. Di titik ini, Jokowi sedang menghidupkan kolonialisme di IKN. 

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan