maaf email atau password anda salah


Nilai Ekonomi Masyarakat Adat: Perspektif dari Enam Komunitas

Masyarakat adat mampu menjalankan perekonomian lokal dengan nilai mencapai puluhan miliar per tahun. Tak didukung kebijakan.

arsip tempo : 172667470350.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172667470350.

MASYARAKAT adat sesungguhnya punya kemampuan menghasilkan produk dengan nilai keekonomian mencapai miliaran rupiah bahkan ratusan miliar dalam setahun. Hebatnya, hal ini dilakukan dari tempat mereka hidup di dekat kawasan hutan yang jauh dari hiruk-pikuk investasi korporasi besar.

Pernyataan itu bukan asal omong atau klaim membabi buta. Sebab, hal ini merupakan salah satu kesimpulan dari Konsolidasi Hasil Studi (Nilai) Ekonomi Sumber Daya Alam dalam Pengelolaan Lanskap yang Berkelanjutan Kasus 6 Wilayah Masyarakat Adat yang disusun tim bidang ekonomi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Namun potensi itu belum tergali secara optimal. Persoalannya, para penentu kebijakan di tingkat nasional dan daerah yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan arah serta orientasi pengelolaan hutan kurang paham secara menyeluruh tentang nilai hutan yang sesungguhnya. Mereka juga kurang paham adanya pilihanā€pilihan ekonomi yang tersedia di lanskap hutan di mana masyarakat adat hidup sehari-hari.

Masyarakat adat lebih sering dipandang sebagai penghambat pembangunan di Indonesia. Pandangan ini muncul terutama ketika penentu kebijakan bicara soal pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan lingkungan. Mereka lebih melihat investasi korporasi besar sebagai solusi utama, mengabaikan opsi ekonomi lebih berkelanjutan yang dihasilkan masyarakat adat. 

Situasi dan pandangan tersebut berkontribusi pada lambatnya proses pengakuan dan pelindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini juga terlihat dari Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) yang masih terus tertunda.

Studi yang dilakukan AMAN ini bisa dipakai untuk membuka mata para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan. Studi ini dibuat dengan tujuan meningkatkan pemahaman tentang nilai ekonomi di enam komunitas masyarakat adat di Indonesia guna memperbaiki kebijakan yang ada serta memastikan pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan. 

Enam komunitas masyarakat adat yang menjadi fokus studi adalah

  1. Komunitas masyarakat adat Karang di Kabupaten Lebak, Banten.
  2. Komunitas masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
  3. Komunitas masyarakat adat Kaluppini di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
  4. Komunitas masyarakat adat Seberuang di Desa Riam Batu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
  5. Komunitas masyarakat adat Saureinu di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
  6. Komunitas masyarakat adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa setiap komunitas masyarakat adat memiliki keunggulan ekonomi signifikan yang sering tidak dipertimbangkan dalam kebijakan pengelolaan hutan. 

Valuasi ekonomi menunjukkan masyarakat adat di enam wilayah tersebut menikmati berbagai manfaat dari sumber daya alam. Misalnya produk sumber daya alam, seperti padi, cabai, jengkol, ikan, dan tanaman obat-obatan, yang memberikan manfaat ekonomi langsung. Di sisi lain, jasa lingkungan, seperti fungsi hidrologi hutan, pengendalian banjir, dan penyediaan air untuk irigasi, memberikan manfaat ekonomi tidak langsung yang sangat berharga.

Dalam studi ini, nilai ekonomi yang bisa dihasilkan masyarakat adat berkisar Rp 28,92 miliar per tahun di Kajang hingga Rp 41,23 miliar per tahun di Moi Kelim. Nilai-nilai ini memperlihatkan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola lingkungan mereka.

Nilai ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat adat sering melampaui indikator ekonomi arus utama, seperti produk domestik regional bruto (PDRB) dan upah minimum regional (UMR). Nilai ekonomi di Seberuang dan Moi Kelim, misalnya, menunjukkan angka yang lebih tinggi dibanding PDRB dan UMR lokal. Ini menunjukkan masyarakat adat tidak hanya berkontribusi pada kesejahteraan mereka sendiri, tapi juga pada ekonomi lokal secara keseluruhan.

Peran Kearifan Lokal

Selain kontribusi ekonomi, hasil studi menyoroti kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat. Budaya dan kearifan lokal ini sering berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan dan praktik yang melibatkan aspek keberlanjutan serta konservasi alam. Contohnya sistem zonasi adat yang diterapkan di komunitas Kajang dan Kaluppini untuk mengatur penggunaan lahan dan sumber daya secara terencana guna memastikan keberlanjutan. Ritual religi dan aturan adat juga berfungsi menjaga ekosistem serta mencegah perusakan.

Kearifan lokal tidak selalu bersifat statis. Di beberapa komunitas, seperti Moi Kelim, pengetahuan dari luar telah diadaptasi untuk melindungi ekosistem, seperti sistem sasi laut yang diperkenalkan untuk mengelola tangkapan ikan dan mencegah kerusakan terumbu karang.

Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat adat serta peluang yang dapat dimanfaatkan. Beberapa tantangan internal yang terlihat antara lain kualitas sumber daya manusia, resistansi terhadap advokasi luar, serta perubahan persepsi mengenai hubungan antara adat dan pengelolaan hutan. Sedangkan tantangan eksternal meliputi tekanan dari investasi besar, seperti kebun sawit dan tambang emas, yang dapat mengubah pola hidup serta mengancam sumber pendapatan dan ekosistem.

Meskipun menghadapi tantangan, masyarakat adat juga memiliki peluang untuk berkembang dengan dukungan kebijakan yang tepat. Berfokus pada infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan serta penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan. Kepastian hukum mengenai hak dan akses terhadap wilayah adat juga merupakan faktor krusial.

Atas dasar itu, AMAN merekomendasikan adanya upaya meningkatkan pemahaman dan literasi ekonomi bagi para penentu kebijakan. Mereka harus lebih memahami nilai ekonomi dan budaya masyarakat adat untuk membuat kebijakan yang lebih adil serta berkelanjutan.

Penentu kebijakan juga harus mengintegrasikan kearifan lokal dalam kebijakan ekonominya. Karena itu, pemerintah perlu menegaskan kepastian hukum atas hak dan akses masyarakat adat terhadap wilayah serta sumber daya mereka. Pada gilirannya, para penentu kebijakan pembangunan berfokus pada pengembangan infrastruktur dasar dan fasilitas pendidikan serta kesehatan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adat.

Dengan demikian, diharapkan pengelolaan hutan dan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat dapat dilakukan dengan lebih berkelanjutan dan adil, serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 September 2024

  • 17 September 2024

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan