maaf email atau password anda salah


Menyelamatkan Bumi dengan Agama

Kelompok agama dan kepercayaan berpeluang besar menjadi motor upaya menyelamatkan bumi dari krisis iklim. 

arsip tempo : 172921657948.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172921657948.

KENAIKAN suhu bumi yang tercatat menyentuh angka 2,06 derajat Celsius pada 11 November 2023 menunjukkan kegagalan komitmen 196 negara dalam Conference of the Parties (COP) 21 di Paris pada 2015. Waktu itu negara-negara peserta COP 21 setuju bergerak bersama mengatasi krisis iklim dan sepakat menjaga rata-rata suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius.

Sementara itu, laporan kesenjangan emisi tahunan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 20 Oktober 2023 juga memperlihatkan, sepanjang tahun lalu, bumi mengalami kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celsius selama 86 hari. 

Meskipun data itu tak menunjukkan suhu rata-rata bumi, perubahan iklim ekstrem tersebut mengindikasikan kondisi bumi tidak makin membaik pada abad ini. Laporan UNEP juga mengungkapkan bahwa pemerintah dunia sedang tidak berada di jalur yang tepat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. 

Bumi bukan lagi berada di kondisi “panas” (global warming), melainkan sudah berada dalam kondisi “mendidih” (global boiling), sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Juli lalu. Badai, banjir, dan peningkatan permukaan laut makin banyak dijumpai akibat perubahan iklim. 

PBB dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menekankan kepada berbagai negara supaya menangani masalah krisis iklim ini secara radikal karena suhu bumi terus mengalami peningkatan. Berdasarkan COP 21 di Paris, negara-negara maju akan membantu negara berkembang mengatasi masalah iklim dengan bantuan pendanaan, pengembangan dan transfer energi, serta pengembangan kapasitas negara-negara berkembang untuk melakukan aksi-aksinya.  

Sejak saat itu, beberapa negara menetapkan target dan melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi karbon. Jepang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 46 persen pada 2030 dan karbon netral pada 2050. Selandia Baru menargetkan memangkas emisi karbon sebanyak 50 persen pada 2030 dan bebas emisi sebelum 2050. Sedangkan Inggris berambisi bisa mengurangi emisi karbon sebanyak 68 persen pada 2030. 

Negara-negara maju perlu banyak bertanggung jawab atas anomali iklim ini karena mereka menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang bersumber dari batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Data Lembaga Global Project menyebutkan negara penyumbang emisi karbon terbesar sepanjang 2022 adalah Cina (11,4 gigaton), Amerika Serikat (5,1 gigaton), India (2,9 gigaton), dan Uni Eropa (2,8 gigaton). 

Adapun berdasarkan data yang sama, terdapat 36,6 gigaton karbon yang dihasilkan bahan bakar fosil. Batu bara menjadi penyumbang karbon terbesar, yaitu 15,1 gigaton polutan atau 41 persen dari jumlah keseluruhan. Urutan kedua ditempati minyak bumi dengan besaran karbon 12,1 gigaton, gas alam menyumbang besaran karbon 7,9 gigaton, dan industri semen menyumbang 1,5 gigaton karbon. 

Dalam COP 28 of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang digelar pada 30 November-12 Desember 2023 di Uni Emirat Arab, sejumlah topik yang menjadi bahasan adalah penghapusan bahan bakar fosil; desakan untuk mengakhiri deforestasi; serta memprioritaskan hak-hak kelompok dan komunitas rentan, masyarakat adat, masyarakat iklim, dan para pembela iklim. 

Di konferensi tersebut, gerakan untuk menyelamatkan bumi makin luas dengan keterlibatan kelompok lintas kepercayaan. Ditandai dengan adanya Faith Pavilion. Paviliun ini diadakan sebagai media penyelesaian masalah, kemitraan, dan berbagai usulan rekomendasi yang bersifat holistik untuk meningkatkan keadilan lingkungan. Program ini juga mempertemukan perwakilan agama, masyarakat adat, pemimpin politik, pemuda, dan masyarakat sipil lainnya.

Peran Agama dalam Transisi Energi

Kehadiran Faith Pavilion dalam COP 28 membuka peluang bagi tokoh-tokoh agama untuk mengambil keputusan tindakan iklim yang cepat dan efektif. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya melibatkan agama dan kepercayaan dalam upaya mengatasi masalah krisis iklim. 

Gerakan penyelamatan bumi berbasis agama atau kepercayaan penting dilakukan untuk memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik yang merugikan kestabilan iklim. Komunitas keagamaan dan kepercayaan akan sangat efektif dalam melakukan usaha pendidikan terhadap pengikut masing-masing karena mereka jugalah yang sangat terkena dampak krisis iklim. 

Di sisi lain, organisasi keagamaan punya otoritas yang kuat dalam mengkritik praktik-praktik yang melenceng dari ajaran agama atau kepercayaan yang dianut. Para pemimpin atau tokoh agama berperan sebagai penjaga moral, mentor akhlak, dan katalisator perubahan. Institusi agama sejauh ini punya pengaruh besar plus kekuatan finansial sehingga berpotensi dimanfaatkan dalam bekerja sama perihal aksi-aksi meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Agama juga mempunyai pengaruh kolektif yang mencakup banyak orang, terutama kepada penganutnya. Pengaruh inilah yang digunakan komunitas tersebut untuk memberikan inspirasi konkret, memajukan keadilan lingkungan, atau aksi-aksi beralih ke energi bersih. Dalam setiap agama, ada berbagai pijakan yang bisa dijadikan landasan dalam melakukan aksi-aksi iklim, khususnya transisi energi.  

Dalam Islam, misalnya, memanfaatkan bahan fosil hukumnya boleh. Tapi, bila penggunaan bahan bakar fosil ini mendatangkan keburukan bagi orang banyak, baik karena penambangan maupun proses kegunaannya, hukumnya bisa menjadi tidak boleh. Aspek keburukan yang lebih banyak daripada kebaikannya menjadi alasan hukum perubahan hukum itu. Dengan demikian, peralihan ke energi hijau merupakan sebuah keharusan bila ditinjau dari hukum Islam ini. 

Demikian juga dalam perspektif Katolik, yang berpandangan bahwa bumi adalah rumah bersama (domus communis) yang harus dijaga. Manusia tidak berhak memboroskan dan merusak alam serta sumber-sumbernya dengan alasan apa pun. Sejalan dengan perspektif itu, gereja Protestan, seperti yang terlihat dalam Konfesi Huria Kristen Batak Protestan pada 1996, menghasilkan kesepakatan untuk ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan dengan mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan.

Pandangan serupa juga ada dalam agama Hindu, melalui istilah Sanskerta yang berbunyi “vasudhaiva kutumbhakam”. Artinya, “seluruh dunia adalah satu keluarga”. Agama Hindu punya ajaran tentang lima unsur penting pembentuk lingkungan, yakni Panca Mahabhuta: pertiwi (unsur padat/bumi), apah (unsur cair/air), teja (unsur cahaya/api), bayu (udara), dan akasa (ruang). Lima unsur ini saling berhubungan dan bergantung sehingga harus dijaga dengan baik. Konsekuensinya, transisi energi bersih perlu dilakukan untuk menjaga kelima unsur itu tetap seimbang.

Agama Buddha juga memandang ekosistem sebagai sesuatu yang interdependen dan integratif yang tidak boleh dieksploitasi. Manusia tidak boleh menganggap alam sebagai obyek inferior dan entitas mati. Etika buddhis menekankan pada usaha aktif menggunakan sumber daya alam yang terbatas ini dengan bijaksana. Perilaku menjaga alam menjadi salah satu fondasi spiritual dan etika bagi penganut Buddha. Spirit agama ini jelas mendukung transisi energi dari energi kotor ke energi bersih. 

Adapun dalam pandangan Khonghucu, terdapat Kitab Zhong Yong yang salah satunya berisi tantangan bagi manusia untuk hidup dalam "tengah sempurna". Ajaran itu berbunyi: “Sungguh sempurna hidup di dalam Tengah Sempurna; sayang sudah lama jarang di antara rakyat yang dapat melaksanakannya!” (Zhong Yong II:1). Untuk dapat hidup dalam kondisi itu, setiap perilaku harus dilandasi oleh kebajikan yang benih-benihnya dianugerahkan Tian kepada kita. Dalam hubungannya dengan semangat transisi energi, umat Khonghucu dapat mengedepankan kegiatan konservasi energi yang berlandaskan kesadaran untuk mengembangkan benih-benih kebajikan.

Posisi agama dalam upaya menyelamatkan bumi adalah sebagai pendukung kuat karena aktor utamanya adalah pemerintah dunia dan negara. Agama dengan spirit yang dikandung di dalamnya punya peran sangat penting dalam menjalankan aksi iklim. Perintah agama punya tempat yang besar di hati pemeluknya sehingga spirit itu bisa menjadi pendorong yang sangat kuat bagi mereka untuk bergerak bersama-sama melakukan perubahan dan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. 

Karena itu, alih-alih mengelola tambang yang justru akan menimbulkan banyak mudaratnya, lebih baik kelompok religius menginisiasi model transisi energi berkeadilan demi kelestarian alam dan keberlangsungan generasi. 

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 18 Oktober 2024

  • 17 Oktober 2024

  • 16 Oktober 2024

  • 15 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan