maaf email atau password anda salah


Eco-anxiety dan Kekhalifahan Ekologis

Organisasi keagamaan dan kepemudaan harus menjadi motor gerakan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

arsip tempo : 172204048559.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172204048559.

DALAM Fikih SDGs—kajian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang disusun Nahdlatul Ulama (NU) bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 2022—Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan Islam memandang manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan

Pandangan tersebut merupakan manifestasi dari visi Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang menempatkan akses terhadap lingkungan harus dilakukan secara merata dan seimbang. Keseimbangan itu kemudian ditegaskan dalam konsep manusia sebagai khalifah.

Dalam konsep itu disebutkan bahwa manusia saat ini merupakan pengganti dari penghuni bumi sebelumnya (yakhlufu ba’dlukum ba’dlan) yang telah purnatugas menjaga keseimbangan tersebut. Dengan demikian, generasi saat ini memiliki tugas untuk melanjutkan tugas tersebut.

Upaya menjaga keseimbangan lingkungan merupakan bagian untuk mencapai tujuan syariat (maqasid as-syari’ah). Tujuan syariat bagi kemaslahatan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan ambisi manusia, tapi juga bagi semua makhluk (mashalih al-ibad). Tujuan syariat juga bukan hanya untuk kemaslahatan saat ini (maslahah dunyawiyyah), tapi juga untuk masa yang akan datang (maslahah ukhrawiyah).

Pandangan Islam terhadap pelestarian lingkungan menjadi satu gambaran yang menempatkan tafsir terhadap nilai-nilai agama harus bersifat pembaruan dan bisa merespons gejala kerusakan yang terjadi.

Sementara itu, dalam agama Katolik, Paus Fransiskus juga mengajak manusia berintrospeksi dan mendengarkan rintihan Ibu Bumi serta merasakan kemanusiaan yang terluka hebat (Dialog Agama Melalui Praksis SDGs, 2024).

Perhatian dan keprihatinan Paus Fransiskus terhadap kerusakan lingkungan ini menyentil pendekatan isu lingkungan yang melulu tersentralisasi pada dimensi sains, politik, dan ekonomi. Sebab, pada dasarnya lingkungan tidak bersifat mekanik yang hanya terkonsentrasi sebagai tempat kehidupan berlangsung. Lingkungan merupakan hal organik yang menentukan kehidupan manusia serta masa depannya.

Anak Muda dan Eco-anxiety 

Di sisi lain, menurut David Wallace-Wells dalam The Uninhabitable Earth (2023), dampak kerusakan lingkungan, seperti pemanasan global, bukanlah utang moral dan ekonomi yang menumpuk sejak awal Revolusi Industri, serta jatuh tempo sesudah beberapa abad.

Kerusakan lingkungan bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia merupakan dampak dari proses cacat yang tidak integral antara lingkungan, ketamakan manusia, dan sistem pembangunan ekonomi yang egosentris.

Nahasnya, kita seperti gagap menghadapi perubahan iklim yang telah mengubah arsitektur lingkungan. Akibatnya, kecemasan dan ketakutan terhadap dampak kerusakan lingkungan menjadi fenomena baru. Gejala kecemasan atas kerusakan lingkungan dan perubahan iklim itu disebut eco-anxiety dan menjangkiti banyak generasi muda yang khawatir akan masa depannya. 

Peneliti dan ahli psikologi dari The United Nation University, Sanae Okamoto, menemukan bahwa eco-anxiety terjadi akibat kurangnya keberpihakan pemerintah dalam membuat kebijakan komprehensif untuk menangani dampak krisis iklim. Dalam risetnya, Sanae menyebutkan 60 persen dari 10 ribu anak muda berusia 16-25 tahun di sepuluh negara merasa sangat khawatir akan perubahan iklim.

Gejala eco-anxiety yang dialami sebagian besar anak muda harus dijawab dengan lekas dan kolaboratif. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama bagi komunitas-komunitas kepemudaan yang mempunyai struktur kelembagaan luas dengan limpahan kepesertaannya. Termasuk organisasi kepemudaan berbasis keagamaan.

Salah satu inisiatif itu muncul dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang pada Mei lalu mendeklarasikan gerakan Ansor Go Green di Palopo, Sulawesi Selatan. Melalui gerakan ini, organisasi kepemudaan yang baru saja genap berusia 90 tahun itu menelurkan gagasan untuk menjadikan lingkungan sebagai sahabat generasi muda.

Namun kesadaran dan gagasan itu harus diikat dalam tali kebatinan yang solid. Dengan demikian, gagasan tersebut dapat menjadi sebuah gerakan yang tak hanya berada pada tataran organisasi, tapi juga hingga tingkat individu para kadernya, sehingga mereka mampu bersikap adil terhadap alam raya dan isinya. 

Selain itu, Ansor dapat menjadi hub anak muda yang memayungi gagasan sadar lingkungan itu sebagai gerakan bersama. Sebagai organisasi yang mempunyai akar tradisi dan nilai keagamaan kuat, ditambah infrastruktur kelembagaan yang menyentuh seluruh pelosok negeri bahkan dunia, GP Ansor berpeluang besar menjadi bagian ijtihad global dalam menjaga lingkungan dari distorsi ketamakan pembangunan dan ambisi manusia.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Juli 2024

  • 26 Juli 2024

  • 25 Juli 2024

  • 24 Juli 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan