maaf email atau password anda salah


Izin Tambang untuk Ormas, Masalah Besar Bukan Maslahah Besar

Pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan lebih besar keburukan ketimbang manfaatnya. Tak sejalan dengan fikih Islam modern.

arsip tempo : 171990622253.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171990622253.

PERDEBATAN mengenai izin tambang batu bara untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan kian hangat setelah banyak tulisan yang mendukung ataupun menolak muncul di ruang publik. Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk ormas keagamaan, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, memang memicu kontroversi.

Di antara tulisan terbaru yang mengangkat masalah ini adalah opini berjudul "Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih" yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 20 Juni 2024). Dalam artikel itu, Ulil berpendapat tentang adanya perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh para pencinta lingkungan (environmentalist) dengan para kiai di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 

Menurut Ulil, para kiai menggunakan pendekatan fikih. Pendekatan hukum Islam ini, menurut dia, lebih fleksibel dan tidak kaku dalam melihat persoalan pemanfaatan izin tambang tersebut. Persoalan lingkungan diposisikan dengan kalkulasi maslahah-mafsadat (keuntungan-kerugian) yang terbuka pada perbedaan pandangan. 

Sebaliknya, pada saat yang sama, para environmentalist melihat isu lingkungan secara ideologis. Dengan sudut pandang itu, para aktivis lingkungan dinilai kaku karena menggunakan kacamata hitam-putih. Lebih jauh, hal ini dianggap sebagai “teologinya” kaum environmentalist.

Benarkah klaim dalam tulisan tersebut? 

Ada beberapa hal penting yang harus diluruskan seputar penggunaan fikih untuk menjustifikasi eksplorasi tambang batu bara oleh ormas keagamaan. Sebab, sejak awal 2000-an, diskursus fikih dan ushul fikih (logika hukum Islam) memiliki warna baru. Sejumlah ulama besar, baik di Indonesia maupun di luar negeri, telah memasukkan masalah lingkungan hidup dalam ranah fikih dan ushul fikih.

Adalah Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekaligus ulama besar Nahdlatul Ulama, yang dalam bukunya, Merintis Fikih Lingkungan Hidup (2006), memasukkan isu pelindungan lingkungan hidup ke dalam maqashid syariah yang bersifat primer (dharuri). 

Maqashid syariah secara tekstual berarti tujuan hukum. Maksudnya adalah hal-hal yang menjadi tujuan utama dari ditetapkannya hukum Islam. Contoh, larangan mencuri ditetapkan karena mencuri bertentangan dengan salah satu maqashid syariah, yaitu melindungi harta. Larangan membunuh, misalnya, ditetapkan karena membunuh bertentangan dengan maqashid syariah yang lain, yaitu memelihara kehidupan.

Sebelumnya, maqashid syariah (dharuri) hanya berisi lima hal primer: melindungi kehidupan (hifzhun nafs), memelihara keturunan (hifzhun nasl), memelihara harta (hifzhul mal), memelihara agama (hifzhud din), dan memelihara akal pikiran (hifzhul aql). Di tangan Ali Yafie, jumlahnya menjadi enam dengan ditambahkannya hifzhul bi’ah atau memelihara lingkungan.

Sebelumnya, Yusuf Qardhawi, ulama asal Mesir yang cukup disegani, mengemukakan pendapat sama. Dalam kitabnya, Ri’ayatul Bi’ah fi Syariatil Islam (Memelihara Lingkungan dalam Syariat Islam, 2001), Qardhawi menegaskan, menjaga lingkungan hidup sama dengan menjaga agama dan menjaga hal primer lainnya yang disebutkan dalam maqashid syariah

Berdasarkan dua pandangan ini, menjaga lingkungan hidup, lebih jauh menjaga planet bumi, memiliki justifikasinya dalam fikih Islam, bahkan inilah diskursus terbaru dan penting dipertimbangkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan oleh berbagai pihak. 

Jika diskursus hak asasi manusia yang dibangun untuk melindungi kehidupan manusia adalah puncak dari kemajuan pemikiran modern, diskursus hak asasi alam yang dirumuskan dalam wacana keadilan ekologis dan atau keadilan iklim dapat dikatakan sebagai perkembangan terbaru dalam pemikiran termutakhir yang sejalan dengan prinsip utama maqashid syariah.

Dengan demikian, diskursus yang meminggirkan upaya pelindungan lingkungan hidup, lebih jauh planet bumi yang menjadi rumah bersama, dapat dianggap sebagai gerak mundur pemikiran Islam.

Lalu, apakah fikih atau ushul fikih masih bisa dipakai untuk memberikan justifikasi pada kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas tambang batu bara? Ada yang mengatakan para kiai di PBNU memakai salah satu kaidah ushul fikih untuk memberikan justifikasi itu. 

Perlu diketahui, untuk sampai pada satu kesimpulan hukum atau fatwa, para ahli hukum Islam berpedoman pada sejumlah kaidah ushul fikih. Kaidah-kaidah ini dipakai untuk memahami dengan tepat teks Al-Quran dan hadis (sabda dan perbuatan Nabi Muhammad) sebagai sumber hukum. 

Kaidah yang dipilih oleh para kiai dalam hal ini adalah “Idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iya akhaffuhuma”. Yang maknanya, jika ada dua keburukan yang tersaji, pilihlah yang paling ringan dampaknya. Jika diterapkan dalam penerbitan IUPK untuk ormas keagamaan, dapat dimaknai bahwa pemanfaatan IUPK memiliki dampak lebih ringan dibanding tidak memanfaatkannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa tidak mempertimbangkan kaidah lainnya? Seperti kaidah “Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih”. Yang artinya, menghindari berbagai kerusakan harus diutamakan dari memanfaatkan kebaikan. Artinya, meski ada maslahat atau kebaikan yang mungkin dapat dimanfaatkan dari IUPK itu, hal tersebut kalah oleh keburukan yang ditimbulkan dari tambang batu bara. Atau kaidah lainnya, "adh-dhararu yuzalu" (keburukan atau bahaya harus dihilangkan).

Selanjutnya tuduhan kepada para environmentalist yang melihat persoalan ini secara hitam-putih, bahkan sampai pada level teologis. Pada titik ini, penting dipahami bahwa planet bumi tidak dapat dibayangkan dengan imajinasi bumi yang hidup 1.000 tahun lalu, ketika planet ini belum mengalami eksploitasi sumber daya alam secara masif dan eksesif. 

Suara kritis para pencinta lingkungan harus diposisikan dalam konteks terkini, bahwa semua makhluk, termasuk manusia, kini hidup di era krisis atau dalam bahasa agama di era fasad. Fasad oleh Al-Isfahani didefinisikan sebagai keluarnya sesuatu dari keseimbangan (khuruj asy-syai anil-i’tidal). Hari ini bumi telah memasuki fase pendidihan global yang mengancam seluruh makhluk hidup. Inilah bentuk fasad yang sangat nyata. 

Pertambangan batu bara akan melanggengkan krisis serta menempatkan masyarakat sebagai korban paling depan. Ini adalah masalah besar, bukan maslahah besar. 

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Juli 2024

  • 1 Juli 2024

  • 30 Juni 2024

  • 29 Juni 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan