maaf email atau password anda salah


Bubarkan BUMN yang Terus Merugi

Pemerintah tak perlu ragu mengubur BUMN yang terus merugi. Hentikan bagi-bagi kursi komisaris untuk balas budi politik.    

arsip tempo : 171974318763.

Ilustrasi: Tempol/Kuswoyo. tempo : 171974318763.

LANGKAH pemerintah merampingkan badan usaha milik negara yang terus merugi belumlah cukup. Seharusnya pemerintah berani membubarkan BUMN yang berada di ambang kebangkrutan.

Baru-baru ini pemerintah merampingkan delapan BUMN yang megap-megap menanggung kerugian. Mereka adalah PT Industri Sandang Nusantara, PT Kertas Kraft Aceh, PT Industri Gelas, PT Istaka Karya, PT Pabrik Kertas Leces, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional, dan PT PANN Multi Finance. Di luar itu, kondisi keuangan 14 BUMN lain dikabarkan terus memburuk.

Langkah Kementerian BUMN menunda penutupan delapan perusahaan tersebut hanya memperdalam kerugian negara. Pemerintah seharusnya langsung mengubur BUMN yang hampir bangkrut itu. Pada saat yang sama, tanpa menunggu selesainya proses pembubaran delapan BUMN tersebut, pemerintah seharusnya segera membubarkan 14 BUMN lain yang rapor keuangannya terus merah. Tidak ada gunanya mempertahankan perusahaan yang merugi dan tak layak secara bisnis.

Pembubaran BUMN yang sekarat penting untuk menghentikan akumulasi kerugian yang lebih besar. Langkah itu juga bisa menjadi alarm bagi BUMN yang tidak memiliki prospek bisnis dan mulai sakit-sakitan. Pemerintah seharusnya hanya mempertahankan BUMN yang menghasilkan produk atau layanan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Itu pun dengan catatan: kondisi finansialnya harus baik.

Faktanya, masih banyak BUMN yang sakit-sakitan tetap dipertahankan dengan berbagai cara, misalnya menjadikan BUMN tersebut sebagai anak usaha perusahaan milik negara lainnya. Padahal akrobat itu ibarat menyemai sel kanker yang bisa membahayakan BUMN induknya.

Tata kelola banyak BUMN juga sangat buruk, umumnya karena harus menanggung beban politik. Misalnya, BUMN dipaksa menampung ratusan komisaris dari kalangan “tim sukses” atau barisan koalisi pendukung dalam kontestasi politik. Alih-alih diisi oleh orang yang kompeten, kursi komisaris malah dibagi-bagikan kepada pendukung presiden terpilih.

Akhirnya bisa ditebak, BUMN tidak hanya terbebani gaji para komisaris yang superbesar, tapi juga makin kerepotan karena para komisaris kerap meminta proyek ini dan itu. Tata kelola BUMN yang sarat kepentingan elektoral seperti itu dipastikan makin jauh dari manajemen bisnis yang profesional.

Bila data pemerintah bisa dipercaya, semua BUMN mengelola kekayaan negara dengan nilai aset sekitar Rp 10 ribu triliun. Seharusnya kekayaan sebesar itu dikelola untuk menyejahterakan rakyat, bukan malah menjadi bancakan atau alat balas jasa buat barisan “tim sukses” saja.

Masalah lain, banyak BUMN yang terseok-seok karena ditugasi mengerjakan berbagai proyek mercusuar untuk meningkatkan citra pemerintah. Penugasan yang tidak terencana dengan baik pada akhirnya menelan banyak korban. BUMN dipaksa berutang dengan berbagai skema, antara lain melalui pembiayaan sindikasi dari bank-bank milik negara. Ketika proyek bermasalah, bank pelat merah pun menghadapi risiko kredit macet.

Walhasil, sembari mengakhiri politisasi, pemerintah semestinya membubarkan perusahaan pelat merah yang terus merugi.*

Konten Eksklusif Lainnya

  • 30 Juni 2024

  • 29 Juni 2024

  • 28 Juni 2024

  • 27 Juni 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan