Dilema Kekinian Gerakan Perempuan
Refleksi Hari Kartini: sejauh mana gerakan perempuan beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang kian kencang?
HARI Kartini, yang diperingati setiap 21 April, meski tak semua orang sepakat merayakannya, kerap dijadikan sebagai momentum ruang refleksi bagi gerakan perempuan. Salah satu topik yang relevan untuk kita renungkan pada Hari Kartini tahun ini adalah sudah sejauh mana gerakan perempuan merespons perubahan zaman dan persoalan perempuan yang kontekstual?
Dalam beberapa dekade, gerakan perempuan mengalami proses transformasi. Terus bergerak dan bertumbuh meski kadang gagap menyikapi situasi dilematis. Menguatnya semangat kebebasan dan anti-penindasan pada saat bersamaan adalah salah satu contoh bagaimana isu mengenai hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan gender ditempatkan pada dua posisi: sebagai alat pemberdayaan, tapi juga penundukan; dan sebagai alat pembebasan sekaligus alat kolonialisasi. Situasi ini menyebabkan gerakan perempuan harus terus-menerus merefleksikan diri, membangun berbagai strategi relevan dan kontekstual demi perubahan sosial.
Sejarah mencatat perjuangan Kartini dan banyak perempuan lain dalam membangun kesetaraan serta keadilan menghadapi berbagai situasi dilematis. Kartini tumbuh pada masa penjajahan, kemiskinan dan feodalisme, serta akutnya kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dan penyingkiran mereka dari ruang publik.
Kartini berjuang untuk mengeluarkan dirinya dan banyak perempuan lain dari dunia sempit itu. Pendidikan literasi adalah strategi paling pas. Dia membuka gerbang pengetahuan bagi banyak perempuan. Kartini muda keluar dengan banyak ide brilian. Juga menghubungkan dirinya dengan dunia lebih lebar lewat korespondensi dengan beragam tokoh perempuan. Kegelisahan, keprihatinan, sekaligus impiannya terhadap pembebasan perempuan dan masyarakat setara dituangkan dengan runut dan antusias.
Kartini memposisikan dirinya dalam kesadaran penuh bahwa hanya kesetaraan dan pembebasan melalui pendidikan yang menjadi kunci lahirnya manusia bermartabat. Namun upaya tersebut bukanlah tanpa tantangan. Kartini banyak menghadapi penolakan, terutama karena keperempuanannya. Bahkan, karena hal itu pula, dia harus mengalami penjajahan atas tubuhnya melalui perkawinan yang tidak dikehendaki dan poligami.
Kartini bertarung di antara impian pembebasan dan kesetaraan dengan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat feodal pada masa penjajahan. Pada akhirnya, pertarungan tersebut menggerogoti diri dan pikirannya yang kemudian mematikan seluruh idealismenya.
Dilema Gerakan Perempuan
Pada konteks kekinian, situasi dilematis itu muncul tidak hanya di ruang luring, tapi juga di ruang daring. Dunia maya menjadi ruang kebebasan berekspresi sekaligus menjadi tempat tergerusnya sikap empati dan kepedulian. Bagi gerakan perempuan, dunia maya menjadi ruang pengembangan gerakan dan pemberdayaan sekaligus memperbesar celah kekerasan berbasis gender.
Serangan ofensif dan stigmatik bagi gerakan perempuan, terutama feminisme, kerap muncul di dunia maya, terutama di media sosial. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara virtual, tapi juga fisik dan mental dalam keseharian. Sayangnya, kebijakan pelindungan di ruang daring belum tersedia secara optimal sehingga upaya mandiri perlu dilakukan sebagai antisipasi.
Literasi digital menjadi ruang dialektika yang penting untuk dibangun terus-menerus dengan semangat kesetaraan dan keadilan gender. Seluruh implikasi keterlibatan perempuan di dunia maya penting dikenali. Mengingat berbagai implikasi itu sebagian besar akan menyasar pada kesehatan mental yang tidak bisa disembuhkan dalam jangka pendek. Ada banyak kasus kekerasan seksual di dunia maya yang sulit ditangani dan melahirkan banyak korban karena terbatasnya pengetahuan serta kebijakan pelindungan digital.
Dilema lainnya adalah soal posisi isu keragaman seksual dan gender. Di satu sisi, semangat HAM memberikan ruang ekspresi dan pengakuan. Namun, di sisi lain, semangat ini juga menjadi sumber stigma dan persekusi, mengingat kuatnya masyarakat dan kebijakan homofobik yang terus melingkupi.
Perlunya Kesadaran Ruang
Gerakan perempuan pada akhirnya harus berkompromi dalam setiap advokasinya untuk menempatkan isu ini pada daftar terakhir perjuangan. Belum lagi karena isu keragaman seksual dan gender dianggap mengancam konsep "keluarga heteroseksual" yang selama ini dibangun.
Ruang keluarga menjadi ruang dilematis pula. Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) hingga kini masih terus dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ini menimbulkan pro dan kontra karena justru berisiko mendomestifikasi perempuan karena urusan reproduksi dan pengasuhan anak masih dipusatkan pada perempuan. Sementara itu, para pengusaha merasa terancam karena khawatir gulung tikar akibat harus membayar pekerja perempuan sembari memberikan hak cuti melahirkan selama enam bulan.
Pada saat bersamaan, pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) juga mangkrak karena stigma yang disematkan padanya. RUU KKG dituduh membawa semangat kebarat-baratan, bertentangan dengan nilai agama dan adat istiadat ketimuran.
Kartini telah memberikan inspirasi dan memulai perjuangan kesetaraan serta keadilan gender melalui pendidikan. Ia tidak hanya mendorong kemampuan baca-tulis bagi perempuan, lebih dari itu, ia membangun kesadaran berbangsa dan atas identitas perempuan. Perempuan sebagai konco wingking, bergulat dengan seluruh problem perkawinan dan keluarga, tapi pada saat yang sama tersingkir dari ruang publik dan layanan kesehatan atas tubuhnya.
Karena itu, dalam konteks kekinian, gerakan perempuan penting menempatkan kesadaran pada ruang, di mana perubahan-perubahan terjadi begitu cepat serta masif, seakan-akan tidak ada hal yang tetap dan stabil. Pun pada posisi non-biner yang penuh tantangan. Kesadaran inilah yang akan membuat gerakan perempuan dapat membangun berbagai strategi kontekstual dalam bingkai HAM dan keadilan gender.
Kita memahami bahwa perubahan sosial dan teknologi tidak jarang menuntut banyak korban akibat ketidakadilan, diskriminasi, marginalisasi, dan opresi. Namun, di sisi lain, perubahan itu juga melahirkan aktor-aktor baru. Hal ini berarti gerakan perempuan tidak akan pernah mati, melainkan terus bertransformasi, menemukan bentuk baru atau merekonstruksi bentuk lama agar lebih relevan dan kontekstual. Gerakan perempuan hanya perlu terus berefleksi agar memiliki daya tahan dan kelentingan dalam merespons berbagai dilema.