Bagong Suyanto
Dekan FISIP Universitas Airlangga
Dalam pergerakan aksi radikalisme dan teror, peran perempuan belakangan ini cenderung lebih aktif. Mereka tidak lagi hanya menjadi sosok di balik layar atau sekadar pendamping kaum laki-laki yang menjadi pengebom. Perempuan tidak jarang menjadi pelaku bom bunuh diri dan bahkan menyerang aparat kepolisian.
Aksi yang dilakukan Zakiah Aini, mantan mahasiswa berusia 26 tahun yang menyerang Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta, 31 Maret lalu, adalah salah satu bukti peran aktif perempuan dalam aksi terorisme. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlah perempuan yang terlibat dalam tindakan terorisme di Indonesia cenderung bertambah. Selain Zakiah, tercatat beberapa nama lain, seperti Dian Yulia Novi, Ika Puspita Sari, Umi Delima, Munfiatun, dan Arina Rahma.
Jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme selama kurun waktu dua dekade terakhir (2000-2020) mencapai 39 orang. Daftar itu bukan tidak mungkin terus bertambah panjang, karena penyebaran paham radikalisme yang makin luas berkat dukungan media sosial dan bujuk rayu melalui berbagai akun di dunia siber.
Sejumlah Faktor
Artikel yang ditulis Tunde Agara (2017) berjudul "The Role of Woman in Terrorism and Investigation of Gendering Terrorism" menyatakan, keterlibatan perempuan dalam aksi militan dan terorisme sejak dulu tidak lagi hanya sebagai personel pendukung dan bagian logistik, tapi juga sebagai penyerang, penculik, dan martir. Keterlibatan mereka juga bukan hanya di gerakan garis keras Islam, tapi juga di organisasi lain, seperti Macan Tamil Eelam di Sri Lanka, Zapatista di Meksiko, dan Taliban di Afganistan (Gentry & Sjoberg, 2011).
Di Indonesia, pergeseran peran perempuan dalam berbagai gerakan terorisme secara garis besar tampaknya dipengaruhi sejumlah faktor. Pertama, makin mandiri dan soliternya posisi perempuan dalam gerakan terorisme. Ketika mekanisme rekrutmen yang dilakukan kelompok radikal tidak lagi mengandalkan cara-cara tradisional, melainkan lebih banyak secara daring, tidak sedikit perempuan muda yang teperdaya.
Perempuan yang kesepian, tidak memiliki hubungan erat dengan keluarganya, dan yang mengalami tragedi atau korban tindak kejahatan, seperti korban pemerkosaan, umumnya lebih mudah tertarik pada tawaran gerakan radikalisme (Agara, 2017). Keterlibatan mereka dalam aksi teror biasanya menjadi sarana ekspresi dari aksi balas dendam terhadap musibah yang mereka alami, sekaligus protes terhadap struktur sosial yang dinilai tidak adil.
Kedua, posisi perempuan sebagai istri dari pasangan atau keluarga yang terlibat dalam aksi terorisme. Perempuan yang suaminya menjadi korban penangkapan, bunuh diri, ataupun kekerasan aparat keamanan dalam aksi terorisme biasanya mudah terjerumus untuk melakukan aksi yang sama atas nama kesetiaan kepada suami yang menjadi imamnya.
Keterlibatan Puji Kuswati dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 2018 adalah contohnya. Sebagai istri sekaligus ibu, dalam menjalankan aksinya Puji membawa serta anak perempuannya yang masih berusia sembilan dan 12 tahun dan kemudian meledakkan diri dalam serangan terhadap tiga gereja di Surabaya yang diinisiasi suaminya.
Ketiga, berkurangnya keterlibatan kaum laki-laki dalam gerakan radikalisme dan aksi terorisme. Ketika sejumlah laki-laki tersangka teroris ditangkap polisi, tidak ada pilihan bagi gerakan radikalisme selain melibatkan perempuan, yang dinilai memiliki keunggulan dalam beberapa hal.
Dalam berbagai aksi itu, perempuan sering kali tidak diduga dan lebih fleksibel untuk masuk ke wilayah target, karena masyarakat dan aparat keamanan lengah. Kasus serangan Zakiah Aini ke Markas Besar Kepolisian RI adalah contohnya. Perempuan muda ini dengan leluasa masuk ke wilayah yang seharusnya dijaga ketat karena berpura-pura hendak mengurus surat sehingga tidak dicurigai polisi.
Keempat, kurangnya pemahaman perempuan terhadap ajaran agama yang benar. Sejumlah perempuan yang belajar agama hanya melalui pengajian-pengajian majelis taklim atau pengajian daring biasanya hanya memahami ajaran agama secara tekstual dan dangkal. Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2018) di tujuh kota di Indonesia menemukan bahwa banyak perempuan muda sengaja diarahkan dalam proses penelusuran informasi yang berkaitan dengan agama, sehingga tidak memperoleh kesempatan untuk memahami informasi keagamaan yang benar.
Seperti juga anak-anak muda yang teperdaya oleh paham radikalisme melalui situs-situs di Internet, tidak sedikit perempuan yang juga menjadi korban bujuk rayu organisasi dan gerakan radikal yang mencari mangsa untuk meraih simpati para simpatisan baru (Hidayat dkk, 2020). Kondisi sosial-ekonomi dan politik yang dinilai tidak adil, timpang, diskriminatif, dan bahkan eksploitatif, menjadi latar belakang sosial yang memudahkan perempuan menjadi korban propaganda kelompok garis keras.
Peran Perempuan
Pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme sudah tentu sangat memprihatinkan. Ada indikasi makin banyak perempuan yang memilih menjadi pelaku bom bunuh diri, penyedia senjata, perakit bom, atau peran-peran lain yang mereka rasa akan mendapat balasan yang besarnya berkali lipat di akhirat. Di kalangan simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan gerakan perlawanan di berbagai negara, bukan rahasia lagi bahwa kelompok garis keras ini memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam perencanaan ataupun eksekusi bom bunuh diri.
Untuk mencegah agar tidak makin banyak perempuan yang teperdaya dan menjadi pemain aktif dalam aksi terorisme, yang dibutuhkan sesungguhnya bukan sekadar pemberdayaan dan peningkatan literasi keagamaan. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana membatasi godaan paham radikalisme yang menyasar perempuan, dengan cara menempatkan sesama perempuan dalam memberikan narasi tandingan.
Upaya mencegah keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme niscaya akan lebih efektif jika muncul pengawasan dan penyadaran dari dan oleh sesama perempuan. Meskipun Tunde Agara (2017) telah mengingatkan bahwa tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas terorisme, suara dan peran perempuan tetap penting dikembangkan dalam upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia.*