Aplikasi digital layanan kesehatan atau telemedis menjadi primadona baru di sektor ekonomi digital dalam setahun terakhir. Pandemi Covid-19, yang membatasi interaksi masyarakat sekaligus mendorong kebutuhan akan konsultasi kesehatan, melampangkan jalan bagi berbagai platform telemedis di Tanah Air.
Salah satu perusahaan penyedia layanan kesehatan yang bermain di segmen ini adalah Good Doctor Indonesia. Aplikasi yang awalnya bernama GrabHealth ini beroperasi sejak 10 Desember 2019 dan menawarkan aneka layanan dokter spesialis. Layanannya beragam bentuknya, dari konsultasi kesehatan secara online, pembelian obat dan produk kesehatan, pemesanan janji temu dokter, hingga aneka konten kesehatan dan gaya hidup. “Kami berusaha menyiapkan layanan satu dokter untuk setiap keluarga," kata Managing Director Good Doctor, Danu Wicaksana.
Seperti apa strategi Good Doctor? Berikut ini petikan wawancara jurnalis Tempo, Ghoida Rahmah, dengan Danu pada akhir Maret lalu.
Apa strategi Anda untuk mendorong pasar Good Doctor dalam bisnis telemedis?
Sejak awal, layanan kami tidak cuma melayani orang yang sakit, tapi juga untuk orang-orang yang sehat dan ingin menjaga kesehatannya atau wellness. Strategi kami adalah melihat apa yang disebut healthcare triangle, yaitu akses, kualitas, dan biaya. Jadi, prinsip kami adalah bagaimana kami bisa memberikan layanan kesehatan yang bisa diakses semua kalangan di semua provinsi, dengan kualitas yang bagus dan biaya yang terjangkau.
Danu Wicaksana (kanan), Raisa, Hamish Daud dan Dr Daeng saat Grand Launch Good Doctor. Dok Good Doctor
Apa keunggulan Good Doctor dibanding aplikasi sejenis?
Kami selalu mengatakan keunggulan kami yang pertama adalah kualitas, biaya, dan kelengkapan layanan. Kami memiliki layanan yang lebih holistis. Kualitas layanan selalu terjaga karena dokter umum kami 100 persen in house atau dedicated, bukan dokter yang nyambi. Kami mengharuskan setiap dokter memiliki response time di bawah 1 menit. Mereka juga bekerja dalam tim, di dalamnya ada team leader dan medical steering committee. Mereka yang melakukan quality control real-time, mantengin dokter ngomong apa, jawaban yang diberikan dokter benar apa tidak. Jadi, ada pressure pada dokter untuk memberikan konsultasi yang baik, berempati, dan memberi rekomendasi yang tepat. Dari sisi biaya, obat kami affordable, bisa dibandingkan dengan aplikasi sejenis. Kami percaya bahwa hal ini untuk memerdekakan akses kesehatan masyarakat. Soal kelengkapan layanan, kami memiliki jumlah departemen spesialisasi layanan yang lebih banyak dibanding yang lain, misalnya ada spesialis andrologi, spesialis hewan, spesialis olahraga, dan masih banyak lagi. Semua ini agar pengguna kami happy.
Penggunaan aplikasi telemedis meningkat pesat selama masa pandemi Covid-19, bagaimana penilaian Anda?
Trennya berubah. Pada tiga bulan awal masa pandemi, persentase yang menanyakan tentang Covid-19 di aplikasi kami sangat tinggi, mungkin 30-40 persen. Jumlahnya terus turun di semester II hingga ke awal tahun ini. Sekarang orang pindah ke topik lain, seperti bagaimana menjaga kebugaran dan kesehatan di rumah. Ada juga soal vaksinasi, apakah mereka bisa mendapatkan vaksin, dan semacamnya.
Berapa luas jangkauan layanan Good Doctor saat ini?
Kami sudah bekerja sama dengan lebih dari 2.000 apotek resmi di 33 provinsi dan lebih dari 100 kota/kabupaten. Untuk pengiriman obat, kami bekerja sama dengan GrabExpress. Kami sudah melayani lebih dari 10 ribu konsultasi.
Mengapa pada awalnya Anda memilih bekerja sama dengan Grab?
Ketika kami memutuskan bekerja sama dengan Grab, kami bisa masuk ke ekosistem milik Grab. Dan Grab sangat membuka pintu, karena mereka memiliki visi ingin menjadi super-apps di Asia Tenggara. Mereka melihat sektor kesehatan bagus dan prospektif. Apalagi Grab punya lebih dari 20 juta pengguna.
Setelah memakai nama GrabHealth, Good Doctor akhirnya meluncurkan aplikasi sendiri tahun ini. Apa alasannya?
Aplikasi sendiri memang menjadi prioritas kami. Sebab, kami membidik segmen yang belum ada di Grab. Kami ingin membuat layanan yang semakin lengkap, seperti mom and parents, orang-orang dengan penyakit kronis, serta beauty enthusiast. Fitur-fiturnya harus disesuaikan. Misalnya, untuk segmen mom and parents, kami akan membuat semacam childhood tracker yang membantu orang tua muda untuk cek anaknya apakah sudah menjalani fase tumbuh-kembang yang sehat.
Fitur Good Doctor. Dok Good Doctor
Apa pertimbangan saat menjalin kerja sama dengan perusahaan asuransi?
Kami melihat pasar Indonesia ada dua, yaitu business to customer (B2C) dan business to business (B2B). Untuk asuransi ini, kami menyasar segmen korporat. Saat ini kami sudah bekerja sama dengan asuransi AXA dan Ad Medika. Karyawan yang menjadi nasabah asuransi tersebut dapat melakukan konsultasi dan membeli obat secara nontunai di aplikasi Good Doctor, karena di aplikasi kami ada menu benefit asuransi perusahaan, sehingga bisa langsung didaftarkan. Saat ini coverage-nya lumayan.
Menurut Anda, bagaimana prospek aplikasi telemedis?
Prospeknya sangat cerah. Sekarang waktu yang baik untuk memulai. Kenapa peluangnya prospektif? Karena regulasi mendukung dan customer behavior sudah berubah. Demikian pula dengan teknologi. Pelan tapi pasti, pemerintah sudah melihat ini sebagai sesuatu yang tidak bisa terhindarkan lagi. Mulai dari Kementerian Kesehatan, lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), semuanya sepakat teknologi bisa membantu memperluas akses kesehatan. Pandemi Covid-19 juga membuat masyarakat semakin yakin dengan aplikasi telemedis, dan teknologi yang terus berkembang berpotensi memberikan pelayanan medis yang semakin baik.
Apa visi Anda untuk Good Doctor ?
Visi kami adalah menyiapkan satu dokter untuk setiap keluarga. Kami ingin memberikan akses seluas-luasnya, kualitas yang baik, dan biaya yang terjangkau. Kami berharap bisa bersinergi dengan pemerintah, seperti dalam program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Profil
Danu Wicaksana. Dok Good Doctor
Nama lengkap: Danu Wicaksana
Pendidikan:
SMU Kolese Loyola Semarang (1999-2002).
Sarjana teknik kimia, Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (2002-2006)
Master teknik kimia, University of Birmingham (2006-2007)
Master administrasi, Bisnis Wharton Business School (2011-2013)
Karier eksekutif:
Chief Executive Officer (CEO) Tcash Telkomsel (2017-2019)
CEO LinkAja (2019-2020)
Managing Director Good Doctor (2020-sekarang)