Jalan Memutar Meredam Gerakan Kampus
Sejumlah gerakan perlawanan kampus ditengarai mulai digembosi. Mengganti menyebut nama Presiden Jokowi dengan pemimpin negara.
SURABAYA – Gelombang perlawanan dari sejumlah kampus yang mengkritik sikap dan kebijakan politik pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi kian menggema. Namun ditengarai ada upaya penggembosan dengan menyebut aksi mereka tidak mewakili kampus.
Civitas academica Universitas Airlangga menggelar aksi keprihatinan di selasar Gedung Pascasarjana Kampus B pada Senin, 5 Februari 2024. Guru besar, dosen, mahasiswa, dan keluarga alumni universitas di Surabaya, Jawa Timur, itu menggelar deklarasi bertajuk “Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik”.
Koordinator aksi deklarasi Mochammad Yunus mengatakan aksi tersebut tidak mendapat izin rektorat. Gelaran deklarasi tersebut juga diminta tidak mewakili kampus sebagai institusi. ”Kegiatan ini cenderung dialihkan ke luar kampus karena kampus tidak mendukung,” ujarnya kepada Tempo pada Senin, 5 Februari 2024.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu mengatakan, sebelum kegiatan berlangsung, mereka telah memberitahukan dan menyampaikan surat izin penyelenggaraan kegiatan kepada pengelola kampus. Hingga aksi deklarasi itu berlangsung, surat tersebut tidak berbalas.
Sejumlah akademikus dan mahasiswa lantang menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Jokowi di tengah kontestasi Pemilu 2024. Mereka menilai banyak penyimpangan yang terjadi selama pemerintahan Jokowi.
Guru besar Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, membacakan manifesto akadimikus didampingi sejumlah civitas academica serta keluarga besar dan alumni Unair saat menggelar aksi "Unair Memanggil: Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik", di depan Gedung Pascasarjana Unair, Surabaya, Jawa Timur, 5 Fberuari 2024. ANTARA/Moch Asim
Dalam deklarasi “Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik” itu, civitas academica Unair mengecam sikap Jokowi yang dinilai melegitimasi pelemahan demokrasi. Presiden semestinya merawat prinsip dan etika Republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan, alat, dan fasilitas negara bagi kelompok tertentu. “Kami mendesak Presiden tidak berpihak dalam politik elektoral dan menghentikan segala praktik pelanggengan politik kekeluargaan,” ujar guru besar sosiologi Unair, Hotman Siahaan.
Unair, kata Hotman, mendesak Presiden dan aparat negara menghormati hak-hak serta kemerdekaan masyarakat sipil atas sikap politik, sosial, ekonomi, budaya, dan berekspresi. Dia mengecam adanya intervensi dan intimidasi yang menyasar kebebasan akademik dan berekspresi di kampus-kampus. “Perguruan tinggi senantiasa menjaga muruah rasionalitas dan kritisisme insan civitas academica demi tegaknya Republik,” ujarnya.
Mochammad Yunus menuturkan seorang pejabat kampus sempat mengimbau agar civitas academica Unair tidak terlibat deklarasi tersebut lantaran menggantungnya status perizinan dari rektorat. Menurut dia, para dosen muda merasa tertekan akibat belum adanya izin dari rektorat untuk kegiatan itu. “Mereka ingin mendukung aksi, tapi secara struktural menjadi terancam,” ujarnya.
Para dosen muda di Unair, Yunus melanjutkan, berstatus dosen tetap. Skema rekrutmen sebagai dosen yang mereka lewati adalah sebagai pekerja kontrak. Dosen-dosen ini sebelumnya sempat antusias ikut dan menyambut deklarasi. Beberapa dari mereka bahkan sudah mendaftar dengan membubuhkan tanda tangan untuk menyatakan sikap. Namun beberapa dari mereka terpaksa dikeluarkan dari daftar. “Sebab, ada imbauan dari kampus untuk tidak bergabung,” kata Yunus.
Adapun Rektor Unair Mohammad Nasih membantah tudingan bahwa rektorat tidak mengizinkan civitas academica menyampaikan pendapat. Dia mengatakan rektorat tidak pernah menerima surat permohonan izin sebelum dan sesudah terselenggaranya kegiatan deklarasi tersebut. ”Kami juga tidak tahu kegiatannya apa, konsepnya seperti apa,” ujarnya.
Dia mengklaim rektorat dipastikan akan memfasilitasi kegiatan dan perizinan apabila menerima permohonan dan informasi aksi itu sebelumnya. “Kalau permohonan izinnya memenuhi ketentuan, kenapa tidak kami dukung?” ujarnya. Rektorat, dia menegaskan, tidak pernah membatasi hak civitas academica di lingkungan kampus untuk menyampaikan ekspresi.
Nasih menampik tudingan adanya larangan bagi dosen muda di Unair ikut serta dalam aksi deklarasi. “Saya tidak tahu siapa yang mengintimidasi dan seperti apa intimidasi terhadap dosen muda,” ujarnya. “Silakan ditanyakan, siapa pihak kampus yang mengintimidasi.”
Sudah hampir sepekan, tercatat belasan kampus di Tanah Air menyampaikan keprihatinan mereka menyikapi dinamika politik belakangan ini dengan beragam deklarasi. Dalam kesempatan terpisah, aksi juga berlangsung di kampus Institut Teknologi Bandung.
Komunitas guru besar dan dosen ITB mengikuti deklarasi akademik mendukung pilpres yang jujur, adil, dan damai pada Pemilu 2024 di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Jawa Barat, 5 Februari 2024. TEMPO/Prima mulia
Komunitas guru besar ITB menyampaikan rasa keprihatinan mereka terhadap situasi politik dan demokrasi meski tidak didukung rektorat. Guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Yasraf Amir Piliang mengatakan civitas academica ITB mendorong pemerintah bersikap netral dalam Pemilu 2024. “Kami mendukung pemimpin dan pihak-pihak yang terlibat untuk menempatkan diri di atas kepentingan semua kelompok dan golongan dalam pilpres 2024 ini,” katanya.
Komunitas guru besar ITB menggelar aksi bertajuk “Mencegah Kemunduran Demokrasi”. Menurut seorang civitas academica ITB, aksi ini ditengarai sempat diwarnai upaya pembatalan. Dia bercerita, sejak Kamis lalu, sejumlah guru besar ITB berkonsolidasi untuk membuat kegiatan serupa, seperti yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada pada akhir Januari lalu. Keluarga besar UGM menyampaikan Petisi Bulaksumur sebagai respons terhadap mundurnya kualitas demokrasi di era pemerintahan Jokowi.
Menurut civitas academica ITB itu, para guru besar menemui Forum Guru Besar, Rektorat, Senat Akademik, dan Majelis Wali Amanat ITB untuk menyampaikan rencana kegiatan. Persamuhan itu berlangsung pada Sabtu dan Ahad lalu. Namun usulan para guru besar tidak disambut antusias oleh forum tersebut. Walhasil, deklarasi tersebut diminta tidak mencatut nama kampus Ganesha—begitu julukan ITB—sebagai institusi.
Selain tidak mencatut nama ITB, civitas academica ini melanjutkan, komunitas guru besar dan sejumlah mahasiswa yang hendak menyelenggarakan deklarasi diminta tidak secara langsung menyebut nama Presiden Jokowi dalam aksinya. Deklarasi ini diizinkan terselenggara dengan syarat mengganti narasi kalimat Presiden Jokowi menjadi pemimpin negara. “Kami diminta tidak menyerang secara spesifik seperti yang dilakukan di UGM dan kampus lainnya,” ujarnya.
Adapun Kepala Biro Komunikasi dan Hubungan Masyarakat ITB Naomi Sianturi membantah tuduhan adanya intervensi yang dilakukan Rektor, Senat Akademik, dan Majelis Wali Amanat ITB terhadap kegiatan deklarasi komunitas guru besar ini. Dia mengatakan Rektor tidak pernah melarang deklarasi tersebut. Bahkan, kata dia, Rektor sempat berbincang dengan guru besar yang menginisiasi kegiatan itu. “Rektor memfasilitasi kegiatan tersebut di Gedung Sasana Budaya Ganesha,” ujarnya.
ITB memang meminta agar deklarasi yang disampaikan tetap menghormati pihak mana pun. ITB menjunjung tinggi muruah demokrasi dan kebebasan berpendapat. Dalam menjaga netralitas dan obyektivitas, rektorat meminta nama ITB tidak dicatut sebagai institusi dalam gerakan tersebut. “Kegiatan itu juga bukan digagas oleh pimpinan ITB sehingga perlu ditekankan bahwa pendapat tersebut tidak mewakili ITB sebagai institusi,” ujar Naomi.
Dugaan Intervensi Kembali Menyasar Kampus
Di tengah masifnya gerakan kampus mengkritik Jokowi, dugaan keterlibatan polisi mendelegitimasi aksi di kampus tampaknya menguat. Kepolisian disinyalir menggerakkan anggotanya untuk menekan kampus membuat pernyataan yang mengapresiasi pemerintahan Jokowi.
Rektor Universitas Katolik Soegijapranata, Ferdinandus Hindarto, bercerita sempat dihubungi oleh seseorang yang mengaku sebagai anggota kepolisian pada Jumat lalu. Dalam percakapan lewat aplikasi WhatsApp di telepon selulernya itu, Ferdinandus menuturkan, orang tersebut mengaku mendapat instruksi dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Dia meminta Ferdinandus membuat video yang mengapresiasi kinerja pemerintahan Jokowi. “Dia mengaku dari Polrestabes Semarang dan meminta saya membuat video yang kemudian direkam," katanya kepada Tempo, kemarin.
Ferdinandus tidak menanggapi permintaan tersebut. Polisi itu lantas kembali meneleponnya. Ferdinandus tidak menjawab. Dia kemudian dikirimi sejumlah contoh rekaman video dari beberapa pimpinan perguruan tinggi lain yang sudah membuatnya. Hingga kemarin, kata Fernandinus, nomor dari orang yang mengaku polisi itu masih mencoba menghubunginya. "Tadi terakhir kali dia menelepon sekitar pukul 11.42,” ujarnya.
Aksi serupa dialami Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang, Jawa Tengah, Hardi Winoto. Hardi menyebutkan disambangi dua polisi ke rumahnya dengan alasan untuk mewawancarai. Materi wawancara adalah soal kinerja pemerintahan Jokowi. Hardi tak menyangka wawancaranya dengan polisi itu muncul di portal media nasional. “Karena polisi yang datang, saya pikir wawancara itu hanya untuk kepentingan internal mereka," ujarnya.
Adapun Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Komisaris Besar Satake Bayu Setianto, belum menjawab pesan permintaan konfirmasi Tempo yang dikirim melalui nomor telepon selulernya itu. Hingga semalam, pesan tersebut hanya menampilkan notifikasi terkirim. Tempo juga belum mendapat konfirmasi dari Mabes Polri.
ANDI ADAM FATURAHMAN | HANAA SEPTIANA (SURABAYA) || JAMAL ABDUN NASHR (SEMARANG)