maaf email atau password anda salah


Konsolidasi Gerakan Kampus Kritik Jokowi

Lebih dari 40 kampus menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Gelombang gerakan akan terus bertambah.

arsip tempo : 172852124158.

Sejumlah Sivitas Akademika dan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan pernyataan sikap mendesak Presiden Jokowi dan para aparat pemerintah, termasuk TNI-Polri agar bersikap netral pada Pemilu 2024 di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 5 Februari 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis. tempo : 172852124158.

JAKARTA – Guru besar lintas kampus terus mengkonsolidasi gerakan mereka untuk menghindari operasi penggembosan. Para guru besar lintas kampus itu membuat grup WhatsApp untuk memudahkan komunikasi mereka dalam menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“(Grup) itu baru dibuat kemarin sesudah deklarasi,” kata guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Arief Anshory Yusuf, Senin, 5 Februari 2024.

Arief tidak menjelaskan lebih detail mengenai grup WhatsApp tersebut. Seorang guru besar lainnya dari kampus berbeda juga membenarkan adanya grup WhatsApp itu. Grup itu beranggotakan guru besar dari banyak kampus.

Di samping itu, mereka sesungguhnya mengkonsolidasi gerakan lewat grup WhatsApp yang sudah dibuat sejak 2019. Grup komunikasi tersebut di antaranya bernama “Guru Besar Antikorupsi”. Grup percakapan ini sengaja dibentuk untuk menentang revisi kedua Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang hasilnya melemahkan KPK. “Kami berkomunikasi dalam grup tersebut, selain ada grup WA lainnya,” kata seorang guru besar salah satu kampus di Semarang, Jawa Tengah, ini.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, membenarkan konsolidasi gerakan dilakukan melalui beberapa grup WhatsApp. Salah satunya grup percakapan Constitutional and Administrative Law Society (CALS), yang beranggotakan pakar hukum tata negara serta hukum administrasi negara dari berbagai kampus. 

CALS sendiri lebih dulu mengkritik pernyataan Presiden Jokowi tentang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu pada 24 Januari lalu. Hasil kesimpulan mereka ikut menjadi pijakan gerakan kampus di berbagai daerah.

“Dari situ, kami secara person to person kembali ke masing-masing kampus untuk menginisiasi sikap yang lebih luas,” kata Herdiansyah, kemarin.

Ia mengatakan sikap koalisi dosen di Universitas Mulawarman serupa dengan kampus lainnya, yaitu mengkritik situasi demokrasi pada era pemerintahan Jokowi.

Gerakan perlawanan kampus ini berawal dari petisi civitas academica Universitas Gadjah Mada pada 31 Januari lalu. Dalam petisi yang dinamai Petisi Bulaksumur itu, mereka menegur Jokowi sebagai bagian dari keluarga besar UGM. Jokowi adalah alumnus UGM dari fakultas kehutanan.

Guru besar, dosen, dan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memberikan pernyataan sikap agar Presiden Joko Widodo mencabut pernyataan yang menunjukkan keberpihakan serta keterlibatannya dalam kampanye politik pada Pemilu 2024 di gedung Isola kampus UPI, Bandung, Jawa Barat, 5 Februari 2024. ANTARA/Raisan Al Farisi

Petisi Bulaksumur ini menjadi pemantik civitas acadamica di kampus lainnya untuk bersikap serupa. Mereka secara terpisah, dalam waktu yang berbeda, mendeklarasikan sikapnya terhadap penurunan demokrasi pada era pemerintahan Presiden Jokowi. Rata-rata mereka merujuk pada pernyataan Jokowi tentang presiden boleh berkampanye dan memihak. Mereka juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu, yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka—putra sulung Jokowi—menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto.

Hingga Senin kemarin, tercatat lebih dari 40 kampus yang mendeklarasikan keprihatinan mereka terhadap kondisi politik terkini serta menyerukan pemilu berjalan jujur, adil, dan pemerintah harus netral dalam pemilu. Khusus Senin kemarin, civitas academica dari 16 perguruan tinggi negeri dan swasta mendeklarasikan sikapnya. Kampus tersebut di antaranya Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Airlangga, Universitas 17 Agustus 1945, Institut Teknologi Bandung, Universitas Muhammadiyah, Universitas Jember, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Riau, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Janabadra, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Komunitas guru besar dan dosen ITB mendeklarasikan agar Pemilu 2024 berjalan jujur, adil, dan damai, serta menjunjung hak asasi setiap pemilih. Deklarasi mereka digelar di selasar Gedung Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Jawa Barat. 

"(Kami) mendukung pemimpin dan pihak-pihak yang terlibat untuk menjunjung sikap netral dan non-partisan dalam proses demokrasi yang berada di atas semua kelompok dan golongan," kata Nedina Sari, dosen ITB yang membacakan Deklarasi Akademik ITB. 

Guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Yasraf Amir Piliang, mengatakan deklarasi ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi demokrasi Indonesia yang berjalan mundur. Indikasinya, adanya keberpihakan pemerintah kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu 2024

"Kami khawatir pemilu nanti menjadi pemilu yang tidak berkeadaban, curang, dan tak didasari dengan keterbukaan, tapi pemilu yang didasari oleh akal-akalan," kata Yasraf, setelah deklarasi, kemarin. 

Yasraf menegaskan bahwa deklarasi mereka merupakan sikap akademikus dan tidak mengatasnamakan lembaga ITB. 

Di Yogyakarta, puluhan guru besar, dosen, dan mahasiswa berkumpul di halaman kampus Universitas Ahmad Dahlan, kemarin. Mereka menyampaikan seruan moral terhadap pemerintahan Jokowi. 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Immawan Wahyudi, mengatakan mereka tidak ingin jika usaha berpuluh tahun institusi pendidikan dalam menjaga muruah dan peradaban bangsa terdegradasi oleh sikap serta ambisi segelintir elite politik yang tidak elok dipertontonkan kepada rakyat Indonesia, terutama dalam Pemilu 2024 ini.

“Kami mendesak Presiden, menteri, dan seluruh penyelenggara negara menjaga netralitas, tidak menggunakan fasilitas negara, dan tak mempolitisasi segala bentuk bantuan pemerintah yang dikaitkan dengan kontestasi Pemilu 2024,” kata Immawan.

Pemantik Gerakan Kampus

Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Agus Wahyudi, mengatakan petisi Bulaksumur yang digelar guru besar, dosen, dan mahasiswa UGM merupakan sebuah akumulasi catatan tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. Agus mengatakan, setelah Petisi Bulaksumur itu, memang banyak kampus yang juga bergerak melakukan seruan moral serupa. Namun gerakan puluhan kampus itu dilakukan secara sendiri-sendiri dan tanpa didesain dari pihak eksternal.

“Apa yang terjadi di universitas, institusi, atau organisasi lain setelah Petisi Bulaksumur bukan rencana atau desain kami,” kata Agus. 

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rimawan Pradiptyo, mengatakan munculnya gerakan di banyak kampus setelah Petisi Bulaksumur berjalan atas inisiatif masing-masing. Meski begitu, ia mengaku sempat menyebarkan usulan petisi ke koleganya di kampus lain. “Ya, kami saling forward (informasi) saja sebenarnya waktu itu,” kata Rimawan.

Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengatakan seruan civitas academica di kampusnya merupakan wujud keprihatinan terhadap penurunan demokrasi selama pemerintahan Presiden Jokowi. Indikasi penurunan demokrasi itu di antaranya ketika putusan Mahkamah Konstitusi yang memuluskan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden.

Susi mengatakan gerakan di Universitas Padjadjaran berasal dari keprihatinan bersama. Ia mengakui bahwa deklarasi keprihatinan di kampusnya berawal dari gerakan kampus yang lebih dulu dihelat, baik di UGM, di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, maupun di Universitas Indonesia. 

“Kami berkomunikasi, baik dengan mahasiswa dan mereka memiliki keprihatinan yang sama sehingga diputuskan untuk melahirkan gerakan ini,” kata Susi. 

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, memantau gerakan kampus tersebut ataupun narasi tandingan terhadap mereka. Ia mendapati adanya serangan pendengung di media sosial terhadap gerakan kampus ini. Berdasarkan pantauan KIKA, serangan buzzer itu dilakukan secara masif dan terstruktur. “Serangan tersebut lebih kepada framing bahwa aksi itu partisan,” katanya.

EKA YUDHA SAPUTRA | ANDI ADAM FATURAHMAN | EIBEN HEIZAR | ANWAR SISWADI | PRIBADI WICAKSONO

Konten Eksklusif Lainnya

  • 10 Oktober 2024

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024

  • 7 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan