JAKARTA – Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa proyek Mandalika, Nusa Tenggara Barat, telah merampas tanah warga setempat secara agresif. Proyek Mandalika juga menggusur paksa masyarakat adat Sasak dan mengintimidasi pembela hak asasi manusia.
United Nations Special Rapporteur atau Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrem dan Hak Asasi Manusia, Olivier De Schutter, mengatakan para petani dan nelayan tergusur dari tanah yang mereka tinggali. Selain itu, rumah serta ladang mereka rusak. “Petani dan nelayan terusir dari tanah yang mereka tinggali. Rumah, ladang, sumber air, peninggalan budaya, serta situs religi mereka mengalami perusakan karena pemerintah Indonesia dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) menjadikan Mandalika sebagai Bali baru,” kata Olivier dalam keterangan tertulis, kemarin.
Para ahli itu menyatakan masyarakat setempat menjadi sasaran ancaman dan intimidasi. Warga juga diusir paksa dari tanah mereka tanpa mendapat pengganti yang sepadan. Para pakar juga mengkritik kurangnya uji tuntas oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan perusahaan swasta untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggungjawabkan dampak buruknya terhadap hak asasi manusia. Hal ini diatur dalam UN Guiding Principles atau Prinsip Panduan PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia.
Olivier De Schutter mengatakan proyek Mandalika menguji komitmen Indonesia terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) serta kewajiban hak asasi manusia yang mendasarinya. Pembangunan pariwisata berskala besar yang menginjak-injak hak asasi manusia ini secara prinsip bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Sejumlah warga mengumpulkan "Nyale" (cacing laut warna-warni) di Pantai Seger, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kuta, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), 4 Maret 2021. ANTARA/Aprillio Akbar/rwa.
Para pakar mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ITDC menghormati hak asasi manusia dan hukum. Adapun kepada AIIB dan perusahaan swasta, para pakar berpesan agar tidak mendanai ataupun terlibat dalam proyek dan kegiatan yang berkontribusi kepada pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia.
Mandalika terletak di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan direncanakan diubah menjadi kompleks pariwisata terintegrasi. Kawasan ini akan memiliki sirkuit balap motor Grand Prix, taman, hotel, dan resort mewah, termasuk Pullman, Paramount Resort, dan Club Med. Sebagian proyek ini dibiayai oleh AIIB dan telah menerima investasi lebih dari US$ 1 miliar dari pebisnis swasta. Grup asal Prancis, VINCI Construction Grands Projets, merupakan investor terbesar yang akan bertanggung jawab atas pembangunan Sirkuit Mandalika, hotel, rumah sakit, water park, dan fasilitas lainnya.
Staf Khusus dan juru bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Teuku Taufiqulhadi, mengatakan pendapat Pelapor Khusus PBB itu tendensius dan sama sekali tidak berdasar. Ia menyatakan bahwa tuduhan telah terjadinya perampasan tanah dan penggusuran itu tidak benar. “Jika ada (perampasan tanah), tentu sudah terjadi gejolak di sana. Masyarakat akan protes beramai-ramai,” kata dia, kemarin.
Taufiqulhadi menuturkan Komnas HAM telah datang ke lokasi untuk memantau jalannya pembebasan lahan. Menurut dia, Komnas HAM tak pernah menyatakan ada pelanggaran HAM dalam proyek Mandalika. Di sana, kata dia, terjadi proses pembebasan tanah yang berlangsung adil dan transparan.
Menurut Taufiqulhadi, proses pembebasan tanah itu dilakukan melalui mediasi publik dengan menghadirkan tim penilai independen. Terakhir, terdapat 29 kepala keluarga yang telah menyetujui pembebasan lahan. Pada empat kepala keluarga lainnya, pembebasan tanah belum selesai lantaran ada sengketa waris. Mereka, kata Taufiqulhadi, akan menyelesaikan sengketa ini secara internal.
Taufiqulhadi melihat pendapat pelapor khusus itu bernuansa politis. Ia menilai pelapor khusus itu berusaha membawa kepentingan pihak luar untuk menggagalkan proyek kebanggaan bangsa Indonesia ini. “Dari cara-caranya yang menyatakan kekhawatiran, saya anggap dia pelapor khusus yang tidak kredibel,” tutur dia.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan pihaknya sudah menerima aduan dari 16 warga Mandalika pada September lalu. Terdapat tiga pokok masalah yang diadukan. Pertama adalah pembebasan lahan. Kedua, perihal hak atas rasa aman dan jaminan bebas dari kekerasan atau intimidasi. Dan terakhir, akses terhadap hak-hak lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan. “Soal lahan, ada sebagian yang selesai. Ada yang sampai saat ini belum selesai terkait dengan luasan lahan,” kata Beka saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, terjadi saling klaim tanah antara warga dan ITDC, sehingga akan dilakukan pengukuran ulang. Ihwal adanya ancaman dan intimidasi, Beka menyatakan hal itu berkaitan dengan proses land clearing yang memakai aparat keamanan.
Kondisi ini sudah diperbaiki dan aparat hanya berjaga dari jauh dalam proses land clearing. Pihak ITDC juga menyiapkan hunian untuk warga yang terkena dampak yang tidak terlalu jauh dari lokasi awal rumah mereka. Ia meminta pemerintah tidak bereaksi berlebihan terhadap laporan ini. Menurut dia, jika merasa yakin bahwa semua proses dilakukan dengan standar HAM yang baik, pemerintah dapat menjawab laporan ini. “Sampai saat ini, kami belum sampai menyatakan ada pelanggaran HAM,” kata Beka.