JAKARTA – Sejumlah pegiat kesehatan masyarakat yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan Sosial menyatakan menolak dibukanya skema vaksinasi mandiri atau vaksinasi gotong royong. Mereka menilai dibukanya skema vaksinasi mandiri melanggar prinsip keadilan sosial, kesetaraan, non-diskriminasi, dan membuka ketimpangan akses serta distribusi vaksin yang tidak merata.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda, mengatakan kebijakan vaksinasi mandiri terlalu prematur. CISDI merekomendasikan agar pemerintah menunda program ini. Olivia menilai program vaksinasi pemerintah yang telah berlangsung dua bulan ini masih ada celah dalam sistem registrasi dan verifikasi. Dia mencontohkan, ada orang yang menerima vaksin, meski bukan target sasaran.
Olivia menilai kejadian seperti itu harus dibereskan terlebih dulu sebelum memulai program vaksinasi mandiri. Jika tidak, menurut dia, vaksinasi mandiri akan berdampak pada semakin meningkatnya ketimpangan akses penerima vaksin dan berpotensi tidak tepat sasaran. “Kelompok lanjut usia dan kelompok rentan juga bisa bergeser prioritasnya jika ada vaksinasi mandiri,” kata Olivia dalam konferensi pers daring, kemarin.
Dia juga khawatir program vaksinasi mandiri akan menambah beban atau disrupsi pada layanan milik pemerintah, yaitu sistem suplai dan distribusi untuk program vaksinasi gratis dari pemerintah. Olivia meminta pemerintah berfokus pada upaya pengadaan vaksin bagi kelompok rentan dan lanjut usia.
Seorang warga lansia menunggu giliran untuk mendapat vaksinasi di Puskesmas Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu lalu, mengatakan vaksinasi mandiri bisa dilaksanakan pada akhir Februari atau selambatnya awal Maret 2021. Ia menjelaskan bahwa langkah ini dilakukan demi mempercepat terwujudnya kekebalan komunitas (herd immunity) di masyarakat. Pemerintah menyatakan vaksinasi gotong royong rencananya dilakukan oleh para pengusaha kepada para karyawan dan keluarga karyawan. Sejumlah rambu perihal vaksinasi gotong royong antara lain jenis vaksin harus berbeda dengan yang dipakai pemerintah, dilakukan di jalur berbeda dari program pemerintah, dunia usaha harus bekerja sama dengan fasilitas kesehatan yang ditunjuk, dan tidak untuk diperjualbelikan.
Senior Advisor on Gender and Youth Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Diah Saminarsih, mengatakan WHO telah meluncurkan kampanye tentang keadilan vaksin (vaccine equity) pada 18-19 Februari lalu. Dalam kampanye itu, WHO menyuarakan lima hal, antara lain meminta pemerintah semua negara memberikan vaksin Covid-19 secara gratis di fasilitas kesehatan.
Pendistribusian vaksin Sinovac untuk dimasukkan ke dalam mesin pendingin di Gudang UPTD Farmasi Kabupaten Bekasi, Tambun, Jawa Barat, 27 Januari 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Diah menyebutkan alasan dan pertimbangannya. Pertama, keadilan antara negara dan di dalam negara. Kedua, kelompok populasi rentan, seperti tenaga kesehatan, harus didahulukan. Selanjutnya, fokus investasi ke layanan kesehatan primer agar pemberian vaksin dapat gratis dan sesuai ke populasi rentan. “Kemudian memastikan semua populasi rentan bisa menerima (vaksin) terlebih dulu sesuai dengan rekomendasi Strategic Advisory Group of Expert (SAGE) WHO,” kata dia dalam konferensi pers daring, kemarin.
Menurut Diah, konsep keadilan vaksin bisa diaplikasikan dalam sejumlah kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut merefleksikan prinsip bahwa kelompok populasi rentan dapat divaksin terlebih dulu, baru kemudian bergerak ke kelompok populasi lain. Kelompok populasi rentan adalah mereka yang perlu dibantu untuk bisa mendapat akses pada vaksin.
Diah mengemukakan, diselesaikannya vaksinasi bagi kelompok rentan akan mendorong terbentuknya kekebalan komunitas (herd immunity). “Bukan malah dari semua orang, dari mana-mana dikumpulkan, kemudian mencapai herd immunity. Bukan begitu. Bila ingin mencapai herd immunity, ya, harus menyelesaikan populasi rentan lebih dulu,” ujar dia.
Elina Ciptadi dari KawalCovid19 mengatakan pihak swasta boleh saja dilibatkan, tapi tetap harus mengikuti prioritas pemerintah yang mengedepankan kelompok populasi yang rentan terpapar. Menurut dia, kalangan swasta dapat membantu percepatan vaksinasi untuk kelompok prioritas.
Ia mengimbuhkan, jika vaksinasi mandiri jadi dimulai pada Maret dan pada saat itu vaksinasi terhadap kelompok lansia serta tenaga kesehatan masih dilakukan, pemantauannya akan sulit. “Ini seperti mobil yang belum sampai pada kecepatan penuh. Lalu, apakah bijak menjalankan skema lain yang berbeda?” ujar dia. “Memonitor satu sistem saja masih ada banyak gap untuk perbaikan.”
Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan belum mengetahui secara detail keberatan kelompok masyarakat sipil terhadap vaksinasi mandiri. Meski begitu, dia menilai pendapat dari para pegiat tersebut akan menjadi masukan bagi pemerintah.
Dalam kesempatan berbeda, Siti Nadia menyatakan pemerintah sudah masuk tahap kedua pemberian vaksinasi sesuai dengan prioritas, yakni kepada warga lansia dan petugas pelayanan publik. Pemerintah mengklaim sudah memiliki data yang terverifikasi sebanyak 8 juta. “Data tersebut masih terus bergerak dan dalam proses rekonfirmasi dengan data Kementerian,” ujar dia dalam konferensi pers Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, kemarin.
DIKO OKTARA