BOGOR – Pengembangan Lido, Bogor, sebagai kawasan ekonomi khusus atau KEK disambut cibiran sebagian masyarakat setempat. Bukan apa-apa, kendaraan berat yang hilir mudik di area yang dulunya hijau itu membuat rumah warga Kampung Ciletuh Hilir, Wates Jaya, Cigombong, retak-retak.
Total, terdapat 40 rumah yang rusak, tersebar di tiga rukun tetangga di Rukun Warga 06. Bagi mereka, penyebutannya bukan lagi retak. "Tembok menganga, sampai tangan bisa masuk," kata Yudi Irawan, warga RT 03, kepada Tempo di lokasi pada Sabtu lalu.
Warga telah lama berupaya mengadukan kerusakan tersebut kepada PT MNC Land selaku pengembang kawasan khusus pariwisata itu. Hasilnya, petugas perusahaan tersebut datang untuk mendata. Sebagian diperbaiki, tapi tidak dengan rumah Yudi. "Sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Mungkin menunggu rumah saya roboh," ujarnya.
Ketua RW 06 Ciletuh Hilir, Djaja Muljana, mengatakan mayoritas rumah yang retak-retak tersebut berada di pinggiran kampung. Ciletuh Hilir merupakan satu-satunya permukiman yang tersisa di lokasi kawasan ekonomi Lido. Sebanyak 300-an keluarga bertahan di tanah leluhur mereka, meski terkepung proyek bernilai investasi Rp 34 triliun itu.
Djaja mengatakan alat berat di proyek Lido membuat guncangan di rumahnya layaknya gempa bumi dan sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Menurut dia, warga tidak menuntut uang kepada perusahaan. "Tapi perbaikan rumah dengan material dan pekerja dari perusahaan," katanya.
Konflik warga Ciletuh Hilir dan MNC Land berlangsung sejak perusahaan itu mengelola kawasan wisata Lido pada 2014. Masyarakat yang telah puluhan tahun menjadi petani penggarap langsung kehilangan lahan garapan mereka. Menurut Djaja, masyarakat mulai menggarap lahan tidur milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) pada awal 1990-an. Setelah PTPN melepas hak garap ke perusahaan swasta, PT Pengembangan Agrowisata Prima, masyarakat masih mendapat lahan garapan meski luasnya menciut akibat pembangunan properti.
Pada 1998, saat PT Pengembangan Agrowisata melepas hak ke PT Lido Nirwana Parahyangan milik Grup Bakrie, masyarakat juga masih kebagian. Setelah beralih ke MNC Land pada 2014, Djaja melanjutkan, perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo itu menguasai sepenuhnya lahan tersebut. "Sumber ekonomi kami habis," kata Djaja.
Terakhir, per dua tahun lalu, MNC Land memagari Ciletuh Hilir. "Kami jadi terisolasi," kata Djaja.
Foto udara Kampung Ciletuh Hilir, Wates Jaya, Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tempo/M.A. Murtadho
Ketua Karang Taruna Kecamatan Cigombong, Deny, mengatakan kerusakan yang ditimbulkan proyek Lido jauh lebih luas dari rumah retak. Dia menyebutkan adanya pendangkalan Sungai Ciketug dan Danau Konservasi Lido. "Karena banyak tanah jatuh ke sungai dan danau," ujarnya. Deny mengatakan warga telah melaporkan kerusakan lingkungan ini kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor.
PT MNC Land belum berkomentar terkait dengan persoalan ini. "Maaf, saya no comment," kata Antoni Haposan Simanjuntak, penanggung jawab pelaksana proyek, kepada Tempo.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor, Heri Aristandi, mengatakan pembangunan kawasan wisata Lido seharusnya tidak terkendala konflik dengan masyarakat setempat. Menurut anggota Dewan dengan daerah pemilihan Cigombong itu, perusahaan dan perwakilan warga bisa duduk bersama untuk mencari solusi. Pemerintah Kabupaten Bogor, dia melanjutkan, harus dilibatkan dalam pembicaraan tersebut. Sebab, megaproyek ini melibatkan pemerintah pusat. "Masyarakat setempat seharusnya menikmati keuntungan atas pembangunan tersebut," ujar Heri.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor Burhanudin mengatakan sejauh ini pemerintah daerah sebatas menjadi pengawal kebijakan dan perizinan dalam proyek KEK Lido. Meski demikian, dia melanjutkan, pemerintah siap memfasilitasi sengketa warga dan perusahaan tersebut. "Kalau diminta, why not," katanya kepada Tempo.
M.A. MURTADHO (BOGOR)